Pernah di sebuah sore, Putra duduk menatap sisa-sisa awan putih yang melebur. Dulu, Putra menganggap hidupnya membosankan, hanya seputar belajar, musik, puisi dan saudaranya yang cerewetnya minta ampun. Sampai pada akhirnya, ia bertemu Nata di rumah sakit. Anak itu pendiam, jadi harus Putra yang membuka percakapan.
Entah bagaimana, mereka bisa sedekat itu. Dimana hampir setiap hari mereka bertemu, menghabiskan sisa hari dengan petikan senar yang membentuk melodi awur-awuran. Dia dan Nata itu sama-sama gengsi, tidak mau mengakui bahwa mereka saling menyayangi— layaknya saudara sendiri.
Kala itu, matahari bergerak menyingsing. Mengundurkan diri, mempersilakan rembulan mengambil alih bumi. Di teras rumah Putra, Nata duduk tegak. Tangannya mengotak-atik senar gitar Putra yang rusak. "Siapa yang ngerusakin?" tanyanya kala itu.
Sepasang mata Putra hanya berkedip sesaat. Lalu, ia menyesap secangkir teh manisnya. "Gue."
"Namanya siapa, kelas berapa, dan anak mana?"
"Hah?"
"Yang ngerusakin gitar lo."
Nata tau. Dia selalu tau. Bahkan, saat Putra memilih diam. Entah bagaimana, Putra selalu merasa terlindungi oleh Nata. Sempat Putra berpikir, mana mungkin anak seperti Nata bisa mempedulikan orang lain. Mana mungkin anak seperti Nata mau menghargai orang lain. Rasa-rasanya mustahil. Tapi itu dulu, karena pemikiran itu runtuh seiring berjalannya waktu.
Nata ada sebagai temannya. Nata ada sebagai sahabatnya. Nata ada sebagai kakaknya. Nata ada sebagai pelindungnya dan Nata yang selalu mau mengerti Putra. Nata anak baik, saking baiknya dia menipu semua orang dengan diamnya. Nyatanya, jiwa Nata hancur. Dunia tidak memperlakukannya dengan adil.
Putra ikut terjatuh. Bagaimana ia terlambat mengetahui luka Nata? Sedangkan Nata selalu mengerti sakitnya. Bolehkah Putra membenci fakta itu?
Malam itu, Nata meringkuk sendiri di atas kasurnya. Dia menangis pilu. Bahkan nafasnya sampai tersenggal-senggal. Tangannya meremas kepalanya sendiri. Dia kesakitan. Dia tersiksa. Nata mengerang, menahan sesuatu di kepalanya. Entah apa itu, tapi yang Putra lihat, Nata sangat tersiksa.
Darah mengucur dari pergelangan tangannya. Kamarnya berantakan. Dan lagi-lagi Putra membenci dirinya, sebab alih-alih berlari menghampiri sahabatnya, Putra justru mematung di tempat. Kakinya seakan tertanam dalam, hingga rasa-rasanya berat untuk ia angkat. Tubuhnya bergetar. Bagaimana pun, mereka masih remaja di sekolah menengah pertama. Terlalu kejam untuk luka seperti ini.
Putra tidak pernah memberikan apapun untuk Nata. Putra tidak tau cara memulainya. Karena, sedari dulu hanya Nata yang berani melindunginya terang-terangan. Bahkan Putra tidak pernah memberi sepatah kata semangat untuk Nata, mungkin sekedar berkata, "lo hebat, Bang. Lo orang hebat." nyatanya itu hanya sampai di kerongkongannya saja. Hanya dengan melihat sorot mata Nata, hati Putra mencelos perih.
Sampai akhirnya, Putra memilih berpura-pura. Dia menolak fakta bahwa ia mengetahui luka sahabatnya. Hingga tiba saatnya mereka harus berpisah, Nata harus ikut ayahnya pindah. Harapan Putra kala itu hanya satu, Nata mampu menemukan bahagia di tempat barunya. Ia mau Nata sembuh. Ia mau luka Nata mengering. Dan ia mau, Putra menemukan seseorang yang mampu mengerti dirinya. Tidak seperti Putra— si pengecut dan si egois.
Detik, menit, hari dan bulan terus bergulir. Takdir pun kembali mempertemukan keduanya. Ketika itu, Putra sempat menghindari Nata beberapa kali. Ditambah lagi, saat dirinya tau mengenai Elzi dan Nata. Putra kembali membenci dirinya sendiri— mereka mencintai gadis yang sama. Mengapa Putra begitu naif, dia tampak seperti pemeran antagonis di sana. Walau siapa pun tau, Putra tak pernah berniat menyakiti Nata.
Dentingan jam menginvasi. Di bawah hamparan bintang, sepasang obsidian Putra mengamati layar ponsel yang menyala terang. Lambat laun, ia menunduk lemah, bahunya bergetar, air matanya luruh tanpa mampu di cegah. Putra mengacak-acak rambutnya, "Bang, maafin Putra." lirihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skema Nestapa [Selesai]✓
Novela Juvenil𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚 𝐍𝐀𝐓𝐀 : 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐤𝐮, 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐫𝐞𝐭 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮. (Boleh dibaca terpisah tanpa membaca Nata terlebih dahulu) Hari-hari suram terus berlalu. Bayang-bayang masa lalu masih melek...