Within a Time Limit

2.7K 430 119
                                    


Layaknya terpidana mati, Naruto tertunduk tak berkutik melawan kedua mertuanya. Ah! Naruto tidak bisa menganggap kedua orang tua Sasuke adalah mertuanya. Mereka tidak pernah setuju dengan pernikahan penuh aib putranya. Andai saja  Sasuke tak mengancam ingin mengoleksi wanita kembali untuk dijadikan ajang bercocok tanam, mungkin mereka tidak akan mengizinkan.

Mereka mengizinkan Sasuke menikah dengannya karena Sasuke memberi pilihan, dia menjadi istri terakhirnya atau Sasuke akan menikahi gadis-gadis lain untuk memenuhi libidonya. Wanita hamil sangat rentan jika harus melayani libidonya yang tak terbendung. Dalam semalam, ia mampu menggauli istrinya dua sekaligus. Apalagi ia adalah tipe yang tidak suka melihat wanita sedikit gemuk. Alhasil saat istrinya hamil ia merasa istri-istrinya kurang menarik akibat kelebihan berat badan.

Naruto jadi kesal sendiri memikirkan nasibnya yang selalu tidak beruntung. Menikahi pria arogan, mempunyai mertua seperti algojo. Belum genap seminggu sudah berada di arena pancung. Perasaannya sudah tak karuan melihat ekspresi mertua serta ucapan tajamnya yang setiap saat mencabik perasaannya.

"Kau tahu, wanita hamil rentan dengan perasaannya yang sensitif. Mereka bisa saja keguguran karena depresi. Tidak bisakah kau memonopoli Sasuke untukmu sendiri? Jangan karena Sasuke memilihmu, kau bisa bertindak seenaknya."

Mendengar penuturan mikotoーibu mertuanyaーNaruto kian menunduk di kursinya. Tangannya saling bertaut untuk melampiaskan kekesalannya. Bisa saja ia membalas ucapan tersebut, tapi sebagai seorang menantu, ia harus bersikap baik pada mertua. Tidak menyela ucapan yang belum usai. Mendengar wejangan yang mungkin itu memang kesalahannya.

"Aku tak ingin calon cucu-cucuku mengalami hal buruk. Aku tahu kalian pengantin baru dan sedang dalam masa-masa ingin bersama, tapi ingatlah suamimu bukan hanya milikmu. Mereka semua butuh perhatian lebih dari Sasuke."

Naruto menghela napas kecil. Mungkin benar ucapan Fugaku. Meski hanya Sasuke yang menginginkan mereka selalu bersama-sama, tapi harusnya ia mampu bersikap tegas untuk menolaknya. Jika sudah begini, siapa yang menanggungnya? Dirinya sendiri.

"Tumben ... kalian datang di saat aku tidak ada."

Semua yang duduk di ruang makan menoleh ke arah pintu masuk dapur. Di sana Sasuke dengan wajah lelahnya berdiri memandang bergantian antara kedua orang tuanya serta Naruto.

"Naruto, siapkan makan siang."

"Ya." Naruto berdiri dari kursinya. Belum juga sampai di konter dapur, Sasuke mencekal lengannya. Sebuah kecupan ringan di bibir ia terima.

"Tadaima!"

"Okaeri."

Sasuke mengernyit heran mendapati Naruto yang terlihat lesu. Melihat keadaan Naruto, Sasuke memicing, menatap kedua orang tuanya yang duduk bersebrangan dengan Naruto sebelumnya. "Apakah kalian ada keperluan penting dengan Naruto?"

Sasuke duduk di tempat Naruto terakhir kali berada. Sorot matanya tajam menatap kedua orang tuanya. Beginilah sikap Sasuke. Terlalu dimanja membuatnya berani menantang jika itu berurusan dengan keinginannya.

"Kami hanya menasehati Naruto agar tidak memonopoli dirimu sendiri hanya untuk dirinya."

Sasuke mengerutkan dahi mendengar ucapan ibunya. "Sejak kapan Naruto bersikap seperti itu? Kenapa kalian berbicara seolah mengerti dengan keadaan kami. Bisakah kalian tidak ikut campur urusan masalah rumah tanggaku?"

Naruto memasang pendengarannya dengan baik. Apalagi saat Sasuke berbicara dengan nada tak sukanya. Baru kali ini ia mendapati Sasuke berinteraksi seperti ini dengan kedua orangtuanya. Biasa mereka datang hanya sekedar makan bersama atau acara tertentu seperti ulang tahun istri-istri Sasuke. Berbicara pun sekenanya saja tidak sampai berdebat seperti ini.

LimitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang