Your Words Limit Your Ability to Think

2.3K 407 44
                                    

Hembusan angin dari luar balkon kamar lantai 2 rumahnya tak mampu menyapu hawa panas di kepala Sasuke saat Naruto menatapnya tanpa tanpa rasa hormat. Tatapan itu serasa mengejeknya. Mengejek keadaannya yang kini kalah dengan Naruto. Ia ingin untuk malam ini mereka tidur bersama layaknya keluarga, tapi Naruto bersikeras untuk kembali ke rumahnya. "Apakah karena kehidupanmu jauh lebih baik, kau merasa di atas angin dan tak ingin lagi menuruti perintah suamimu?"

"Bukan masalah hidupku yang sekarang jauh lebih baik. Aku hanya ingin menghindarkan anak-anakku dari hubungan kurang sehat yang kau jalani. Kau tau sendiri, bukan? Istri-istrimu selalu merasa kurang senang satu dengan yang lainnya. Aku tidak ingin anak-anakku tumbuh di sekitar orang-orang seperti itu."

"Apakah kau beranggapan aku tidak mampu mengurus anak-anak?"

Naruto membuang napas kasar. Ditatapnya Sasuke sekali lagi dengan pandangan kesal. "Masalah itu kau bisa berkaca pada dirimu sendiri, kesadaran dirimu dengan apa yang kau jalani selama ini." Naruto melirik kedua putranya yang terlelap karena kelelahan.

"Mereka sudah tidur dan hari sudah malam."

"Belum terlalu malam."

"Aku baru tau kau begitu keras kepala."

Naruto tersenyum mengejek. "Lebih baik keras kepala daripada egois."

"Oke. Aku ikut. Selama 5 hari aku akan bersamamu dan 2 hari aku akan berada di sini."

Naruto menggeleng tak setuju. "Tidak. Kau harus adil. Kau seorang pemimpin, maka kau harus bersikap adil, baik untuk keluargamu maupun warga desa. Desa ini tidak akan berubah jika pemimpinnya tidak mengenal keadilan."

"Tapi kau sudah menyetujuinya."

"Aku hanya bercanda. Aku hanya ingin melihat reaksi keluargamu saja. Apakah mereka masih seperti dulu atau sudah berubah." Naruto mengedikkan bahu. "Sepertinya aku terlalu banyak berharap."

Naruto berjalan ke arah ranjang yang belum berubah dari semenjak kepergiannya dari rumah Sasuke. Perlahan ia meraih tubuh Izuna ke dalam dekapannya. Meski bocah itu merasa terganggu karena terusik dan ingin merengek, Naruto dengan cepat menenangkannya dengan mengusap punggung Izuna. 

"Apakah kau akan terdiam dan tidak berniat membantuku membawa Menma?"

Dengan tidak rela Sasuke menghampiri ranjang dan mengambil tubuh Menma dalam dekapannya. Berbeda dengan Izuna, meski Menma sempat membuka mata, bocah itu hanya terdiam memandang Sasuke, kemudian menyandarkan kepalanya di dada Sasuke. Sasuke yang merasakan perbedaan antara Menma dan Izuna serasa ingin mengenal mereka lebih jauh. 

Naruto melangkah meninggalkan kamar begitu Menma sudah berpindah tempat diikuti Sasuke. Sepanjang perjalanan, Naruto dibuat heran dengan keadaan rumah yang begitu sepi. "Apakah istri-istrimu tidak berkumpul untuk makan malam? Biasanya kalian di saat seperti ini sedang makan malam bersama."

"Sejak aku kehilangan dua istri sekaligus, aku merasa kurang semangat menjalani hidup."

"Oh, jadi karena kurang semangat, kau berencana menikah lagi dengan wanita yang kau bawa ke pernikahan Ino?"

"Kau cemburu?"

Naruto menghentikan langkahnya di jalan setapak menuju mobil diikuti Sasuke. "Setiap manusia memiliki rasa cemburu. Begitupun denganmu. Jika kau berniat menikah lagi atau berselingkuh dari istri-istrimu, aku tidak akan segan-segan menceraikanmu."

"Kau tau 'kan, akibatnya jikaー"

"Aku bisa memulai dari awal. Selama masih sanggup kenapa tidak." Naruto berbalik kembali melanjutkan perjalanan menuju mobil, tidak ada lagi pembicaraan setelahnya. Keduanya terdiam seolah mereka orang asing yang bertemu secara kebetulan.

***

Sasuke hanya terdiam dengan bibir sedikit terbuka. Ia pikir Menma masih tertidur saat meletakkannya di bangku belakang kemudi, nyatanya bocah itu kini berjalan beriringan dengan Naruto memasuki rumah. Bahkan Menma menolak digendong olehnya saat menaiki anak tangga menuju rumah. Setelah masuk ke dalam rumah, Menma menuju kamar lantai 2 dan menyiapkan 2 futon.Menma langsung merebahkan tubuh mungilnya begitu futon siap. 

Sedangkan Naruto hanya tinggal meletakkan tubuh Izuna di samping tubuh Menma. Ia berpikir apakah Menma tidak merasa iri dengan perlakuan Naruto pada bocah tersebut?

"Sebaiknya kita keluar. Biarkan mereka istirahat."

Sasuke tersadar dari rasa syoknya begitu Naruto menghampirinya dan mengajaknya keluar. Dengan kepala penuh dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk, Sasuke terus melangkah mengikuti Naruto melalui lorong lantai dua menuju tangga turun.

Sesampainya di bawah, Naruto menuju dapur yang berada di samping tangga. Perutnya terasa kosong karena belum terisi. Ia tidak mengkhawatirkan anak-anak, karena mereka sudah makan di tempat jamuan pernikahan sebelum pulang ke tempat Sasuke di sore hari. Paling-paling jika mereka lapar, mereka akan membangunkannya.

Naruto mengambil panci di gantungan sebelah tempat cuci piring dan mengisinya dengan air. Ia ingin memakan ramen cup instan untuk sekedar mengganjal perut.

"Kau tidak berubah. Meski sudah memiliki harta berlimpah, kau masih hidup sederhana. Sasuke memperhatikan punggung Naruto dari kursi meja makan yang berada di belakang tubuh Naruto.

"Aku lebih suka hidup sederhana. Daripada menghamburkan uang untuk keperluan tidak penting, mending kupergunakan untuk hal-hal yang lebih berguna. Aku ingin membangun sekolah di lahan kosong yang berseberangan dengan persawahan. Jika kau ingin dihormati, maka jangan sungkan membantu orang-orang yang membutuhkan."

"Bukankah mereka tidak pernah menganggapmu ada saat kau tidak memiliki apa pun?"

"Justru karena aku dianggap tidak ada, jiwaku tertantang untuk membuat mereka menyadari keberadaanku di sekeliling mereka. Jika aku membantu orang lain, setidaknya jika anak keturunanku suatu saat membutuhkan bantuan, mereka tidak akan sungkan untuk memberi bantuan." Naruto berbalik menghampiri meja makan dengan 2 buah cup ramen instan. Satu ia letakkan di depan Sasuke dan satu lagi untuknya. 

Naruto mengambil tempat di samping Sasuke. "Jangan protes. Aku sudah cukup lelah jika harus memasak." Naruto perlahan memakan ramen di depannya. Ia mengatakan hal seperti itu karena ia masih hafal betul kebiasaan Sasuke yang tidak suka memakan makanan instan. "Sekali-kali memakan makanan seperti ini tidak akan membunuhmu."

Sasuke bungkam mendengar ucapan Naruto. Meski tidak terbiasa, namun ia berusaha memakan makanan yang disiapkan Naruto untuknya. Lagi pula ia juga lelah jika harus terus-terusan memprotes tindakan Naruto. "Naruto … apakah kau tidak berpikir Menma akan cemburu karena sepertinya kau terlihat lebih menyayangi Izuna?"

Naruto menelan makanan di tenggorokannya. Tangannya bergerak mengaduk-aduk ramen yang tinggal sedikit. "Kau tidak mengenal sifat Menma sebenarnya, jadi aku tidak menganggap jika perlakuanku kurang adil pada Menma. Menma tidak suka dianggap kekanakan dan diperlakukan seperti anak-anak. Ia beranggapan seorang kakak adalah pelindung bagi adik serta orangtua. Ia bersikap layaknya superhero meski aku tau terkadang anak itu terlihat cengeng jika dihadapkan dengan penderitaan orang-orang di sekitarnya. Jika aku memperlakukan Menma seperti bagaimana memperlakukan Izuna, maka ia akan beranggapan jika harga dirinya sedang diinjak-injak. Sama seperti dirimu." 

"Jadi kau mengakui mereka anak-anakku?"

Naruto menoleh ke arah Sasuke dengan tatapan datar. "Memangnya sejak awal aku menolak bahwa mereka bukan anak-anakmu? Aku tidak pernah lari dari kenyataan, tapi menghadapinya dengan segala resiko." Naruto kembali memakan ramennya dan terdiam sampai ia menghabiskannya.

"Jika ingin menginap, kamarku ada di sebelah kamar anak-anak." Naruto bangkit menuju tempat sampah di depan lemari keramik penyangga rak piring dan membuang bungkus cup di tangannya. Setelah itu ia melangkah meninggal Sasuke sendirian.

Sedangkan Sasuke hanya menghela napas setelah kepergian Naruto. Entah mengapa ucapan Naruto serasa tepat menghujam jantungnya. Ucapan Naruto menjadi tamparan keras baginya. Selama ini ia bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. Hanya saja ia tidak nyaman jika harus melakukan hal-hal yang benar.

TBC

LimitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang