X-tra Limit (End)

2.8K 352 45
                                    

Mengarungi hidup bersama dengan segala sesuatu yang tercukupi tak selamanya akan membawa kedamaian. Nyatanya ruangan luas yang menjadi saksi cinta yang tumbuh perlahan, kini berusaha memutus ikatan tersebut. Duduk saling membelakangi, keduanya teguh pada egonya. Salah satu menginginkan sesuatu, namun keinginan itu tak selamanya akan dituruti. Terkadang menghancurkan ego itu sulit.

"Tidakkah semuanya sudah cukup?"

"Tidak ada kata cukup bagiku, Naruto."

Menghela napas, kedua matanya menatap kosong jajaran buku dalam rak di samping pintu geser menuju balkon. Biasanya di malam seperti ini, Suaminya akan mengambil salah satu buku itu untuk menemani waktu senggang menunggu dirinya pulang. Apa salahnya jika ia sedikit meminta kebebasan? "Bisakah kita membicarakannya besok? Aku lelah."

"Inilah yang kutakutkan, Naruto."

Naruto menunduk. Hantaman kuat serasa mengenai tepat di dadanya. Rasa sesak menyalurkan kesakitan di sekujur tubuhnya saat Sasuke keluar kamar dengan membanting pintu. Apakah ia terlalu terlena hingga membuatnya tersesat tanpa sadar?

Naruto menjauhkan tubuhnya ke atas kasur, kemudian meringkuk, meremas erat alas kasur dengan erat. Sebisa mungkin ia meredam suara isak tangisnya agar anak-anaknya tak mendengarnya menangis. Menghadapi ego Sasuke bukanlah hal yang mudah. Terkadang ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menghadapinya. Dan anak-anaklah yang akan menjadi sebuah energi besar untuk menghadapi Sasuke.

***

"Mama, selamat pagi!"

Naruto tersenyum cerah melihat gadis cantik yang baru saja memasuki jenjang sekolah menengah atas. "Selamat pagi, Naori. Di mana Sarada?" Naruto meletakkan piring berisi omelet di depan Naori.

"Sedang memarahi Izuna karena sulit dibangunkan."

Naruto terkikik geli sebelum berlalu meninggalkan Naori untuk memperingatkan Sarada agar tidak mengomeli adiknya sampai lupa waktu. Kakinya terus melangkah melewati ruang tamu, menuju lorong di samping tangga menuju lantai dua, di mana kamar kedua putranya berada. 

"Sudah Neechan peringatkan, jangan bermain game sampai larut!"

Naruto menggeleng mendengar suara tinggi Sarada. 

"Menma-Nii yang mengajakku!"

"Jangan menyalahkan orang lain!"

Naruto melongok ke dalam kamar luas dengan dua ranjang bersebelahan dengan jarak dua meter antara satu sama lainnya, memastikan Sasuke tak berada di sana. "Apa kalian berniat untuk membolos? Sudah siang, jangan buang-buang waktu!" Dirasa tak menemukan Sasuke di salah satu ranjang putranya, Naruto pun menunjukkan diri di ambang pintu.

Seperti biasa, jika pawangnya sudah mengeluarkan suara, maka semuanya akan terdiam. Bukannya mereka takut pada Naruto, hanya saja mereka tidak ingin membuat Naruto marah, dan berakhir mereka tidak bisa menikmati senyuman ceria Naruto. 

"Mama sudah menyiapkan makanan. Sebaiknya kalian cepat sarapan lalu berangkat se …." Naruto sedikit terkejut saat melihat Sasuke ternyata berada di kamar putranya. Ia tak melihatnya karena terhalang ranjang Menma yang berada tak jauh dari pintu masuk. Ternyata Sasuke tidur di atas lantai entah beralaskan apa. Sesaat rasanya ia ingin menangis saat Sasuke hanya menatapnya dengan tatapan dingin sekilas, lalu berbaring kembali di atas tempat tidur Menma. 

Naruto berbalik, melangkah meninggalkan kamar kedua putranya diikuti Menma dan Izuna, sedangkan Sarada terdiam sejenak. Kepalanya menoleh ke arah ranjang Menma. Dipandanginya punggung sang Papa dengan perasaan sendu. Semakin bertambah tua, papanya semakin posesif terhadap Naruto. Terkadang ia merasa khawatir jika kebahagiaan yang ia dapatkan hanyalah mimpi sesaat yang tak mampu memuaskan dahaganya.

LimitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang