1.2

32 13 15
                                    

“Maaf.” Suara lembut itu...

Aku berbalik badan ke arah datangnya suara. Astaga! Kau tahu? Ya! Rena tertangkap pasukan kerajaan! Lengkap dengan segala peralatan yang dibawa dan juga ... arta pelindung! Tubuhnya sudah dililit rantai besi lengkap dengan penjagaan ketat.

Sebuah benda runcing terasa menyentuh bahuku. Aku hendak menoleh namun benda runcing lainnya menyentuh pipi. Sial! Tidak ada pilihan lain selain menyerahkan arta pelindung.

Kuangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah. Orang-orang berjubah ini segera menggeledah badanku. Tak lupa mencari barang bawaan yang tadi aku sembunyikan. Rena terus menatapku. Beberapa kali bibirnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu tapi aku tak bisa mendengarnya sedikit pun. Dia banyak tersenyum. Sebuah cara meyakinkanku bahwa kami akan baik-baik saja.

Tak lama kemudian datanglah raja kami. Senyumnya sangat menjijikkan. Seakan dia berkata bahwa kami akan tetap kalah tak peduli seberapa kerasnya perjuangan yang telah kami lakukan.

“Berikan batu itu.” Lantas seorang pria yang membawanya segera menghadap Sang Raja. Picik. Senyum picik. Seolah dia menang. Seakan mematikan harapan. Bodoh. Sangat bodoh. Bodoh kalau dia berpikir bahwa kami akan berhenti. Tidak. Tidak akan pernah.

“Ini bukan senyum picik, Rema. Saya tidak bodoh. Tentu saja saya tahu bahwa ini tidak akan menghentikan kalian. Saya sudah tahu sedari awal, dari penolakan-penolakan yang Anda lakukan. Seharusnya Anda tidak perlu bersusah payah melakukan pelarian seperti ini. Ada baiknya Rena memilih takdirnya sendiri dan tidak bergantung pada orang seperti pangeran kita.” Lagi-lagi senyum menjijikkan itu harus kulihat.

“Saya akan kembali ke Kerajaan Bulan. Pikirkanlah sekali lagi. Istana kita masih menunggu Tuan Putri Rena serta Pangeran Rema. Oh, tidak, tidak. Bukankah namamu Tuan Putri Avaron Evangelista Nadir dan engkau adalah Pangeran Muda Avaron Delvan Marvin? Para penerusku? Hahaha!”

“Aku tidak akan sudi jadi penerusmu! Raja biadab yang tak tahu bagaimana cara menghargai rakyatnya! Rakyatmu kelaparan! Rakyatmu penuh luka! Kau pula yang membuang ksatria hebat ke Kota Nadir! Kau tidak seperti seorang ayah yang benar-benar menjadi ayah untuk putrinya! Kau terus mengkhianati kami!” Air matanya berderai. Seolah Rena tengah membuang batu besar yang selama ini dipikulnya sendiri.

Aku? Aku hanya diam. Aku pikir percuma kami berontak untuk saat ini. Arta pelindung sudah ditangannya. Sudah barang pasti kami akan dibawa ke istana. Menyaksikan raja mengaktifkan arta tersebut.

“Ayahmu melakukan ini untuk kalian ju–”

“Tidak untuk kami! Hanya untuk kekuasaanmu! Cepat kalau memang ingin membawa kami! Segera ke Kerajaan Bulan!” Aku memotong kalimat raja serta memerintahkan seluruh prajurit yang ada di sini.

Lagi-lagi pria tua itu tersenyum menang.

Sesampainya di Kerajaan Bulan kami hanya diminta berdiri di hadapan raja dan para petinggi kerajaan. Seperti kebiasaan-kebiasaan yang lalu. Hadir pula beberapa petinggi serikat-serikat ternama. Tak lupa kedua permaisuri raja, Ratu Arthania dan Ratu Archie, yang mana salah satu di antaranya adalah ibuku.

“Ada baiknya arta kali ini saya simpan. Mungkin bisa kita gunakan ketika negeri kita terdesak kelak. Terima kasih atas perjuangan kalian para ksatria tangguh. Tanpa adanya kalian, Negeri Bulan yang tercinta tidak akan mencapai masa jaya seperti saat ini.”

Omong kosong! Negeri ini pernah lebih makmur daripada saat ini.

“Ucapan terima kasih terbesar kami sampaikan kepada Nona Rena dan Tuan Rema yang telah berhasil memperoleh arta pelindung. Hidup Mooniyan! Jaya abadi Tanah Rembulan!”

Behind The Moonlight (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang