"Argh! Kepalaku sakit!" Rasanya benar-benar akan meledak. Semua yang ada di sekitarku mendadak buram. Adapun suara Ratu Arthania tak lagi kudengar.
Seberkas cahaya terang terasa menghantamku. Semua menjadi serba putih. Tiba-tiba sosok bayangan abu-abu menghampiriku. "Segera pergi dan temukan jawabannya. Kamu dalam bahaya." Aku tak mengerti. Suaranya mirip denganku hanya saja lebih lembut. Siapa gerangan sosok itu?
Gelap. Seketika gelap seiring lenyapnya sosok tersebut. Pandanganku mulai pulih. Semua mulai kembali seperti semula. Aku masih bingung, cairan apa yang tadi aku minum? "Katakan apa pun yang ingin kau ungkapkan. Ikuti apa kataku." Suara itu kembali muncul.
"Ibunda, cairan apa tadi?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Beliau tersenyum simpul. "Bukan apa-apa, Nak. Tenang saja, itu hanya bertahan tiga hari. Kecuali jika kamu sudah mengaktifkan kuasa itu sebelumnya." Aku terdiam mendengarnya. Apa aku akan baik-baik saja dengan hal ini?
"Suara itu adalah suaramu. Ikuti apa kata hatimu, niscaya engkau akan mendapatkan hal terbaik untukmu." Ratu Arthania tersenyum manis. "Pergilah segera ke Tanah Wijil. Aku akan mengabari Raden Sura. Seperti yang dulu aku ajarkan, gunakan cara kuno agar kau senantiasa aman." Usapan lembut di kepalaku menghadirkan rasa nyaman dan energi besar. Seakan ada batu bara yang mulai dibakar dalam jumlah banyak di tubuhku sehingga badanku mengeluarkan panas yang akan memacu diri lebih dan lebih lagi.
"Baik, Ibunda. Saya pamit undur diri." Aku memeluknya sebagai salam perpisahan untuk sementara waktu. Selepasnya aku segera menuju kamar Rena, mengatakan kalau satu minggu ke depan aku akan mengambil cuti dari serikat dan digantikan Saga. Beruntungnya Rena tak banyak bertanya. Hanya saja ia terlihat sedikit murung. Mungkin dirinya menyadari sesuatu.
Siangnya kami berpamitan kepada kedua ratu dan para anggota kerajaan, tak terkecuali Raja Aaron. Saga akan menyusul kami pada sore nanti setelah latihannya selesai. Dia berpesan kepadaku untuk tetap tenang dan selalu mengabarinya setiap enam jam sekali atau ketika hal darurat sedang terjadi. Aku paham bagaimana perasaannya. Pasti berat bagi Safir dan Saga untuk tetap hidup dalam kekangan orang-orang seperti Raja Aaron.
Rena dan aku menuju Kota Nadir dengan arta teleportasi. Seketika kami disambut pemandangan kota yang asri di pusat kota. Tetumbuhan yang rimbun begitu menyejukkan. Meskipun suasana kelam akan selalu menghiasi setiap sudut kota ini, tetapi kota ini tetap menjadi lokasi paling sempurna selama perjalanan kami di Tanah Rembulan.
Ketiga rekan kami menyambut kami di pelataran penginapan. Karin begitu antusias menyambut kami. Ia langsung memeluk Rena begitu kami menginjakkan kaki di area penginapan. Aku menghampiri Jason, mengajaknya bicara di atap. Iris hendak mengikuti kami, tetapi Jason mengatakan hal yang tak kusangka. "Ini urusan lelaki. Kau tidak akan suka kami membicarakannya," tutur Jason dengan wajah mesumnya. Bukan itu maksudku! Ah, sudahlah. Asalkan dapat menahan Iris, itu tak mengapa.
Sesampainya di atap, kami membisu. Tak ada satu kata pun yang keluar mulus. Kami asyik dengan dunia masing-masing. "Katakan saja." Suara itu kembali terdengar. Aku tersenyum kecil. "Maaf," ucapku sembari mengulurkan tangan. Jason terlihat agak terkejut. "Ini Rema?" Kami tertawa bersama. Tak hanya berjabat tangan, Jason segera menarikku ke dalam pelukannya. Ia menepuk punggungku beberapa kali sebelum melepas pelukan dan berpidato seperti biasanya. "Tak apa. Aku mengerti, kadang ada hal-hal yang memang tak dapat kita bagi dengan siapa pun. Tenang saja, aku akan tetap menjadi sahabatmu." Jason tersenyum dengan indahnya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu." Raut mukanya berubah seketika. "Apa?" tanyanya dengan alis bertaut satu sama lain.
Aku berdiri di tepian. Menikmati embus angin yang menerpa wajah dengan lembutnya. Pepohonan rimbun di Kota Nadir begitu indah tertata. "Aku akan mengambil cuti dari serikat selama beberapa waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Moonlight (END)
FantasiAku terlalu percaya diri hingga melupakan hal-hal penting di dunia ini. Ikatan dan kepercayaan adalah salah satu kunci hidup yang bermakna. Dahulu aku melakukannya, kini mereka berbalik arah. Inikah yang kalian sebut sebagai karma? Ini perjalananku...