2.1

26 10 3
                                    

Tiga hari sudah kami di Kota Nadir. Rena membasuh mukanya dengan air yang mengalir jernih di belakang penginapan. Sayang sekali dia tidak bisa menikmati masa-masa indah di Kerajaan Bulan dengan tenang. Mengikutiku bukan sesuatu yang mudah. Andaikan Rena tinggal di dalam kastel megah istana kami sudah barang pasti dirinya menjadi putri nan cantik jelita dengan gaun-gaun yang indah serta mahkota yang berkilauan.

"Hari ini Raja meminta kita ke istana. Mau datang atau tidak?" Aku tidak menjawabnya. Ragu. Rasa itu mulai tertanam kuat di lubuk hatiku. Dahulu, keraguan itu hanya sebesar biji jagung. Kini biji itu telah berubah menjadi tanaman yang mulai memenuhi ruang kalbu dengan perlahan.

"Rema!"

"Tidak, Ja–" Astaga! Aku salah berbicara.

"Ja? Apa? Apa yang kau pikirkan?" Rena terlihat sedikit curiga. Cepat atau lambat Rena pun akan tahu. Namun aku akan terus memperlambatnya. Bagaimanapun caranya. Cukup aku yang mengetahui rahasia kecilku. Kecil namun sangat berbahaya.

"Rema!" Teriakan Rena menyadarkanku dari lamunan singkat yang mendebarkan. Tangannya meraba dahi dan leherku. "Kau baik-baik saja? Tubuhmu sedikit hangat." Wajahnya terlihat begitu manis ketika menampilkan kepeduliannya.

"Iya, lah. Kan aku baru saja selesai mandi air hangat." Aku terkekeh kecil sembari mencubit pipinya. Balasan yang sama diberikannya kepadaku. "Aduh, duh! Sakit, Nona!"

"Siapa suruh kamu cubit dulu, ha? Sakit juga ini!" ketusnya sembari memalingkan muka ke arah halaman belakang. Suasana yang begitu indah. Bunga-bunga yang mulai bermekaran di awal bulan. Seindah senyuman Rena.

"Ih! Kamu sangat-sangat menyebalkan! Coba sesekali kalau aku bicara itu didengarkan. Melamun melulu," ucap Rena dengan wajahnya yang merah. Wah sepertinya singa kecil ini akan segera menghujaniku dengan ceramah panjang.

"Jadi, bagaimana?" tanyaku di sela-sela penjelasannya. Lucu melihatnya marah seperti ini. Namun agak menakutkan juga. Jika amarahnya memuncak sudah pasti aku akan dilumat menjadi bubur.

"Kalian lama sekali." Sebuah suara mengejutkanku. Sontak aku menoleh ke arah datangnya suara.

Berdiri Jason, Karin, dan Iris dengan tangan di pinggang. Apa mereka akan membuatku menjadi Rema giling? Tatapan Jason terasa begitu aneh. Tidak seperti biasanya, senyum cerianya tak terbit hari ini.

"Oh, kalian. Jadi Raja Aaron memanggil kami ke istana. Tapi kami masih belum tahu apakah kami harus datang atau tidak." Rena terlihat santai dan mulai menguasai topik hari ini. "Bagaimana menurut kalian? Apa aku dan Rema harus datang?"

Hening. Mereka saling beradu pandang satu sama lain. Semilir angin yang berembus halus menjadi latar suara yang membuat suasana ini semakin mencekam. Mereka hanya beradu gerakan kepala dan mimik muka tanpa suara sedikit pun. Menggeleng, mengangguk, mengernyit, gerakan bibir, gerakan mata, sungguh menyebalkan.

"Kalian sedang makan sesuatu?" tanyaku memecah hening. Mereka tertawa kencang. "Lah? Bisa tertawa? Lalu kenapa sedari tadi kalian hanya beradu gerakan kepala tanpa suara?" Rena turut memainkan perannya. Adik yang pintar.

"Hahaha! Kami berdiskusi dengan cara kami, Rena." Aku bersyukur bisa melihat senyum Jason kembali. "Aku rasa kalian harus memenuhi panggilan Raja Aaron," tutur Jason dengan senyumannya. Tangannya menepuk bahuku seolah memberikan energi tambahan.

"Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Kalau kalian bisa menemukan jawaban atas pertanyaan kami semalam kan bagus itu nanti," timpal Iris dengan kedipan nakalnya.

"Ya! Itu benar. Aku rasa kalian akan mendapatkan sesuatu setelah kembali dari sana. Coba saja pergi ke istana. Bukankah itu impian setiap ksatria?" Karin memandang kami satu persatu. Gadis yang begitu ekspresif ini apakah mengetahui sesuatu? Tidak, tidak. Mungkin ini hanya bentuk harapannya sebagai seorang ksatria.

Behind The Moonlight (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang