"Yang terjadi biarlah terjadi, begitulah hati kita seharusnya menerima segala yang terjadi di muka bumi ini."
***
Genangan air di lubang jalan yang rusak perlahan beriak begitu rintik hujan perlahan turun menghujam permukaan bumi. Langit yang sedari tadi telah muram perlahan meneteskan rintik hujannya. Seorang gadis cilik yang tengah duduk di halte bus itu nampak mendongakkan kepalanya ke arah langit.
Hujan semakin deras dan ia semakin merasa cemas mengetahui seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang. Ia telah berada di tempat ini lebih dari satu jam dan hal itu cukup membuatnya lelah. Menunggu memang tak melakukan banyak hal yang bisa menghabiskan tenaga namun justru dengan tak melakukan apa-apa itu yang membuatnya lelah dengan rasa jenuh. Menatap jam di pergelangan tangan dan menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya.
Tak akan ia pungkiri, jika saja seseorang yang ia tunggu kali ini mengingkari janji dan tak bertemu dengannya maka ia akan marah. Ia telah menunggu lebih dari satu jam dengan jenuh namun seseorang yang ia tunggu justru tak datang, tentu hal itu akan membuatnya merasa marah.
Besok ia akan pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkan kota kelahirannya, kota masa kecilnya, kota ia memulai hidupnya, Bandung. Tapi ia lebih ingin mewujudkan keinginannya untuk tinggal di kota metropolitan.
Auristela Agni Rosalie, gadis berumur dua belas tahun itu kembali menghembuskan nafas panjang begitu mengetahui lima belas menit kembali terbuang. Ia beranjak dari duduknya, menatap hujan yang kian deras membasahi jalanan.
Ia memutuskan untuk beranjak pergi, namun perhatiannya teralihkan pada seorang gadis seumurannya yang nampak melambaikan tangan dari seberang sana dengan sebuah senyum lebar. Itu Hilda, Hilda Steaphanie Elkaza, sahabat karib yang Auris tunggu sedari tadi. Gadis itu terlihat tersenyum lebar meski hujan membasahi seluruh tubuhnya. Tak ada payung dan tak ada mantel hujan, Hilda sama halnya dengan Auris yang sedari tadi berteduh di halte bus.
Decakan pelan keluar dari bibir Auris. Ia merasa kesal melihat senyum lebar yang Hilda tampakkan dari seberang sana. Tidak tahukah seberapa kesalnya dirinya sekarang karena telah menunggu lama di tempat ini?
Hilda segera berlari menyebrang jalan begitu melihat Auris yang mulai beranjak pergi meninggalkan halte. Tak ingin melewatkannya, Hilda segera mengejar Auris dan menarik sahabatnya itu untuk kembali berteduh.
"Auris, aku minta maaf." Hilda segera membuka suara, ia merasa bersalah karena telah membuat Auris menunggunya terlalu lama di tempat ini. Terlebih dengan hujan yang turun dengan deras.
"Hari semakin sore, aku harus pulang sekarang dan beristirahat untuk perjalanan besok," balas Auris dengan rada kesalnya yang masih terasa menggebu-gebu. Ia beranjak kembali dan Hilda segera menarik lengannya untuk mencegahnya.
"Masih hujan deras, Auris. Kita tunggu hujan reda dulu nanti kamu bisa sakit kalau hujan-hujanan."
"Lalu apa bedanya denganmu?"
Hilda menatap tubuhnya yang telah basah kuyup begitu mendengar kalimat yang Auris lontarkan. Ia lantas tersenyum tipis. "Aku memang suka hujan," balasnya.
Auris berdecak sebal. "Kalau kamu tetap disini silahkan, aku cape dan aku butuh istirahat. Aku mau pulang sekarang."
Hilda tersenyum kecut, ia paham, Auris pasti marah kepadanya sekarang. "Auris, aku benar-benar minta maaf karena telah membuatmu menunggu terlalu lama. Tapi-"
KAMU SEDANG MEMBACA
The False Reality (TELAH TERBIT)
Teen FictionHirap. Segala hal yang telah berlalu kini perlahan hirap ditelan masa. Menyisakan segala kehancuran yang abadi dalam ingatan setiap orang yang melaluinya. Luka akan kehancuran, luka akan kehilangan, semuanya akan tetap abadi meski sekeras apapun ber...