EPILOG

66 13 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Suara debur ombak yang terdengar membuat siapapun merasa ingin menghabiskan waktu di bibir pantai sembari sesekali membasahi permukaan kaki dengan air pantai. Deru ombak adalah satu-satunya berisik yang membawa ketenangan. Setenang keadaan Auris sekarang.

Ia sungguh mengira akan benar-benar hancur saat itu. Ia bahkan sampai tak mengira teman-temannya dan ibunya akan datang di saat yang tepat seperti tadi. Itu bagaikan kejutan yang begitu membuatnya bahagia hingga mampu membuatnya bangkit dari keputusasaan.

"Hufft! Kalau nggak di keadaan kek gini, mungkin kita nggak bisa liburan sampai ke  Bali gini, yah." Fara membuka suara sembari menikmati udara pantai yang menyapu wajahnya.

"Lagian udah jauh-jauh kesini, kalau nggak sekalian liburan rugi dong," tambah Vino. Cowok itu mengalihkan pandangannya menatap Raihan yang sedari tadi hanya diam dan menatap hamparan lautan biru nan luas di depan sana. "Lo kenapa, Rai?" tanyanya kemudian.

"Lo kepikiran anak OSIS lain yang sibuk ngurusin class meet?" tanya Andra menebak.

"Hari ini pengumuman pemenang sama pembagian hadiah, sih, jadi nggak bak sesibuk hari kemarin," balas Raihan.

"Yaah!" Fara nampak melenguh panjang. "Harusnya gue berangkat sekolah, sih, kasihan banget hadiah gue jadi nggak bertuan."

"Emang lo beneran menang?" tanya Auris yang menjurus pada ledekan.

"Positif thinking, aja iya," balas Fara dengan senyum lebar di wajahnya.

"Tapi fiks, sih, harusnya lo menang." Vino kembali bersuara.

"Nah! Bener, tuh. Harusnya, sih, emang gitu," tanggap Fara.

"Menangis maksud gue," lanjut Vino yang sontak membuat Fara melebarkan kedua matanya tak percaya. Gadis itu hendak mengomel namun entah mengapa ia merasa malas untuk saat ini.

"Gue mau nyari kelapa muda aja, dah," ujar Fara. Dibanding mengomel tak jelas, lebih baik ia mencari kelapa muda untuk menyegarkan diri. Gadis itu sudah hendak bangkit dari duduknya namun urung saat seorang cowok telah lebih dulu datang dengan membawa kelapa muda. Bukan hanya satu, namun beberapa. Tentu saja ia tidak membawanya sendirian, melainkan dibantu oleh oleh penjual kelapa muda itu sendiri.

"Wuih! Peka juga lo, Raka." Fara melebarkan senyumnya sembari menerima uluran kelapa muda itu dari Raka. Begitu juga dengan yang lainnya.

"Sejenak lari dari tanggung jawab emang enak, ya," ujar Auris sembari menatap Raihan. Rekannya di keanggotaan OSIS. Raihan tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya pelan. Benar kata Auris.

Auris mengalihkan pandangannya ke arah laut lepas. Tatapannya yang nampak menerawang terlihat tengah mengingat seseorang. Tepatnya Alina, ia sungguh merasa tak menyangka Alina melakukan hal ini kepadanya. Namun, Auris tetap tak bisa sepenuhnya menyalahkan Alina karena bagaimanapun juga gadis itu kuga terpaksa melakukan semua ini.

"Btw, luka lo masih sakit?" tanya Andra sembari menatap luka di wajah Raka. Luka itu ada karena Raka sendiri yang memintanya, cowok itu bilang ia harus punya bukti bahwa ia memang tak bisa mengurus Andra agar Artha tak memarahinya habis-habisan. Dan agar saling menguntungkan, dengan terpaksa Andra memukul Raka berapa kali hingga meninggalkan bekas luka disana.

Raka menggeleng pelan. "Nggak terlalu, sih, entar juga sembuh sendiri," jawabnya.

Suasana terasa senyap begitu Raka menandaskan kalimatnya. Seolah tak ingin membiarkan suasana senyap sejenak pun, Fara kembali membuka suara. "Kek ada yang kurang," ujarnya.

"Alina, dia nggak ada disini," balas Javran memperjelas.

Fara menangguk beberapa kali. "Lain kali mungkin. Gue harus bicara dulu sama dia."

"Bukan elo, sih, tapi gue tepatnya." Auris menimbrung.

"Alina terpaksa ngelakuin semuanya karena gue. Jadi, gue perlu bicara baik-baik sama dia biar semua ini selesai. Juga karena pernah ada salah paham antara gue sama dia."

"Salah paham yang lo maksud, biar gue yang urus," tanggap Javran. Salah paham yang Auris maksud pastilah saat Javran membuat kabar burung saat itu. Dan Javran rasa ialah yang perlu menyelesaikan ini dengan Alina sekalipun Alina sudah tahu bahwa sebenarnya ia dan Auris adalah bersaudara.

"ABANG!!"

Suara itu sontak mengalihkan atensi ke tujuh orang yang tengah duduk bersantai di tepian pantai. Andra yang melihat siapa sosok yang barusan berteriak segera bangkit dari duduknya dan menangkap gadis itu ke dalam pelukannya.

"Itu siapa?" tanya Vino setengah berbisik.

"Adik Andra," balas Auris pelan.

Vino mengangguk-anggukkan kepalanya. "Cakep juga, ya," gumamnya.

"Lo apa kabar?" tanya Andra pada adiknya, Khanza.

Khanza tersenyum manis. "Gue nggak papa. Abang sendiri gimana?"

Andra balas tersenyum. "Seperti yang lo lihat," balasnya.

"Btw, kenalin ini adik gue, Khanza."

Andra memperkenalkan Khanza pada teman-temannya. Khanza kemudian tersenyum dengan manis sebagai sopan santun. "Hai, gue Khanza," ujarnya masih dengan senyum yang setia terpasang di wajahnya.

"Hai, Khanza, gue Fara," ujar Fara memperkenalkan diri sembari melambaikan tangannya dengan ceria.

"Gue Vino."

"Gue Raihan."

"Gue Raka."

Khanza beralih menatap Javran yang sudah tak asing di kedua matanya. "Loh! Kak Javran!" serunya dengan antusias. Sudah lama ia tak melihat Javran dan begitu melihatnya ia tiba-tiba merasa senang.

Javran tersenyum lebar. "Ingatan lo bagus juga," pujinya.

Khanza tersenyum manis, ia beralih menatap Auris. Gadis terakhir yang belum memperkenalkan dirinya, meskipun sudah Khanza ketahui semuanya termasuk seluk-beluknya.

"Kak Auris," panggil Khanza dengan ragu.

Auris menarik seulas senyum tipis. "Gue Hilda. Mulai hari ini, gue nggak akan pakai nama Auris lagi. Udah cukup gue pinjam nama dia. Gue, Hilda Steaphanie Elkaza. Saudara kembar Javran Nathanio Elkana."

***

Tiba-tiba end guys, nggak nyangka dengan alur yang urak-urakan gini hiks hiks... tunggu tahap revisi semuanya bakal aku perbaiki, okkay. Jadi, jangan lupa ninggalin jejak yaa guyss ;)

NEEDS EXTRA CHAPTER? TUNGGUIN VERSI NOVELNYA AJAA KALAU ADAA MWEHEHEHE

Thanks for reading, all ♡

***
- TAMAT -

The False Reality (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang