Chapter Two

152 70 45
                                    

HAPPY READING
.
.
.

"Jika semua orang membenarkan sebuah kebohongan, maka itu menjadi kebenaran."

-Javran Nathanio Elkana-

***

Suasana sore yang cukup cerah untuk sekedar menghabiskan waktu di rooftop sekolah. Menatap hamparan langit biru yang perlahan berubah oranye dari waktu ke waktu. Menikmati angin sore yang tak pernah gagal memberikan ketenangan, dan tentunya ditambah suasana temaram yang tak kalah memberikan ketenangan.

Seorang lelaki dengan tas punggung tergantung di salah satu bahunya itu nampak menyesap ujung rokoknya dengan perlahan. Sejenak, ia lalu menghembuskan kepulan asap dari mulutnya ke udara. Membumbung tinggi lantas perlahan lenyap diterpa udara.

Ia menatap langit di atas sana, memejamkan matanya dengan perlahan dan menikmati suasana sore yang begitu menyejukkan. Suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya tak lantas membuatnya menoleh ke asal suara demi mengetahui siapa yang menghampirinya. Ia tahu persis siapa yang akan menemuinya begitu tahu ia pindah ke sekolah ini.

"Apa maksud lo datang kesini?"

Suara itu membuat Andra membuka kedua matanya. Ia menyesap rokoknya kembali lalu berbalik dan menatap Javran yang kini telah menatapnya dengan tak bersahabat.

"Kenapa? Lo nggak suka?" Alih-alih menjawab pertanyaan Javran, Andra justru balik bertanya.

"Kalau lo datang kemari cuma buat mengacaukan hidup Auris, gue nggak akan tinggal diam," ujar Javran dengan tatapan kedua matanya yang senantiasa menatap Andra dengan tajam.

Andra tersenyum miring. Cowok itu menyesap rokoknya sesaat lantas membuangnya. "Auris? Jadi lo emang membenarkan semua kebohongan ini, hm?"

"Jika semua orang membenarkan sebuah kebohongan, maka itu menjadi kebenaran. Lo nggak tahu itu?"

"Gue tahu itu, tapi kali ini, gue nggak akan membenarkan kebohongan bodoh kayak gini." Andra melangkah maju mendekati Javran.

"Lima tahun lalu, gue hanya bisa diam dan membiarkan semua orang melakukan hal ini. Tapi sekarang..." Andra menggelengkan kepalanya perlahan. "Gue nggak akan tinggal diam. Auris udah meninggal dan gue nggak bisa terima gitu aja saat orang yang buat dia meninggal hidup tenang dengan menggunakan namanya."

Javran menghembuskan nafas panjang. Ia kira, Andra akan diam dan menerima semua ini dengan lapang dada. Sama seperti dirinya saat menerima kematian Auris dan membiarkan orang tuanya mengganti identitas Hilda dengan identitas Auris.

Lima tahun lalu, saat Auris melihat sebuah mobil yang melaju kencang menuju arah Hilda, ia segera berlari dan menarik lengan Hilda untuk menjauh. Karena tarikannya yang terlalu kuat, tubuh Hilda terhempas ke tepian dan kepalanya terbentur tepian trotoar. Sedangkan Auris, hujan deras kala itu membuat jalan menjadi licin. Nahasnya, Auris terpeleset tepat saat mobil tersebut melaju dengan kencang dan sepersekian detik setelahnya, Auris terpental begitu mobil tersebut menabraknya. Sepersekian menit setelahnya, gadis itu tak lagi bernyawa.

Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Auris terjadi dan Hilda kehilangan ingatannya, ibu kandung Hilda memutuskan untuk menggunakan kematian Auris sebagai kesempatan. Terlebih Hilda yang mengalami hilang ingatan mempermudahkannya untuk menggunakan kesempatan tersebut.

Auris, adalah seorang yatim piatu yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Ia baru akan melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertamanya ke Jakarta saat kecelakaan itu terjadi. Maka hanya dalam sekejap setelah kecelakaan yang merenggut nyawanya itu terjadi, ibu kandung Hilda membalikan semua fakta yang ada. Ia memindahkan Hilda dengan menggunakan identitas Auris ke Jakarta. Lantas menjadikan nama Hilda Steaphanie Elkaza sebagai korban yang meninggal pada hari itu. Dan semua cerita ini baru bermula.

The False Reality (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang