Chapter Ten

102 46 19
                                    

✿ HAPPY READING ✿

.

.

.

"Moon made me realise that being alone is so beautiful."

-Auristela Agni Rosalie-

***

Di bawah kerlipan gemintang yang begitu indah dan di bawah pancaran sinar sang rembulan yang agung itu, nampak dua orang remaja tanggung tengah berjalan bersama di trotoar yang tak begitu ramai. Mereka adalah Andra dan Auris. Keduanya baru saja selesai mengerjakan kerja kelompok bersama di kafe. Vino sudah beberapa waktu lalu bahkan sebelum selesai. Karena sudah larut malam, Andra tak bisa membiarkan Auris pulang sendirian malam-malam seperti ini. Namun sayangnya motor miliknya justru mogok dan alhasil ia mengantar Auris pulang dengan berjalan kaki. Toh, jarak kafe dengan apartemen tak terlalu jauh. Jadi, mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Auris mendongakkan kepalanya ke arah langit. Dilihatnya gemintang dan rembulan yang nampak begitu indah itu dengan sebuah senyum manis terpasang di wajahnya. "Langitnya cantik banget, yaa," ujarnya pelan.

Andra ikut mendongakkan kepalanya ke arah langit lantas tersenyum tipis. "Lo suka bintangnya?"

"Emm... Lebih suka bulannya, sih," balas Auris.

"Why?"

"Because moon made me realise that being alone is so beautiful," jawab Auris masih dengan kedua netra yang menatap ke arah langit. Tepatnya ke arah sang bulan yang bersinar terang dalam kesendirian.

Andra tersenyum tipis begitu mendengar jawaban yang Auris berikan. Gadis itu benar, bulan mengajarkan kita bahwa sendiri itu begitu indah. Bersinar sendirian dalam gelapnya malam dan memikat setiap pasang mata yang melihatnya. Andra juga paham mengapa Auris mengatakan hal tersebut. Karena semenjak kecelakaan yang menimpanya lima tahun lalu, ia menjadi kehilangan segalanya. Ingatannya, keluarganya, jati diri aslinya hingga identitas aslinya.

Sampai kini Andra masih belum mengerti mengapa ibu kandung Auris membuat hidup Auris-Hilda tepat aslinya- menjadi seperti ini. Gadis itu hidup seolah tak ada seorang pun yang masih bersamanya. Karena Auris sendiri, ia telah kehilangan kedua orang tuanya  sejak kecil dan harus hidup di sebuah panti asuhan. Maka begitu Hilda hidup sebagai Auris, ia menjadi kehilangan segalanya. Ia tumbuh bersama dengan kesendirian yang terus mendampinginya. Padahal disisi lain, Javran -saudara kembar Hilda- hidup dengan baik bersama dengan keluarganya hingga kini meski untuk saat ini, Andra tak tahu persis seperti apa keadaan keluarga mereka.

Dan begitu mengingatnya, Andra berasumsi betapa jahatnya orang tua Hilda padanya dengan menjauhkannya dari keluarga seolah membuangnya. Membiarkannya hidup dan tumbuh sendirian tanpa ada yang mendampinginya. Bukankah dirinya akan menjadi lebih jahat lagi jika membencinya hanya karena kecelakaan yang menewaskan Auris yang asli kala itu? Ia memang tak bisa menerimanya begitu saja, lantas, bagaimana nantinya jika Auris tiba-tiba mendapatkan kembali ingatannya? Membayangkan betapa gadis bencinya gadis itu terhadap dirinya sendiri jika mengetahuinya?

Sepuluh menit kemudian berlalu dalam kesenyapan usai Auris mengucapkan kalimat tersebut hingga tanpa terasa mereka telah sampai di depan gedung apartemen yang Auris tinggali. Gadis itu menatap Andra dengan senyum manis di wajahnya. "Makasih, ya, udah nganterin gue," ujarnya.

The False Reality (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang