Chapter Eleven

74 37 18
                                    

✿ HAPPY READING ✿
.
.
.

Pagi yang begitu cerah untuk mengawali hari dengan perasaan yang bahagia. Namun sayangnya, Auris tak dapat mengawali harinya dengan baik sebagimana sang surya yang menampakkan dirinya dengan baik dan hangat. Gadis itu sungguh terburu-buru untuk berangkat ke sekolah. Begitu taksi yang ia tumpangi berhenti tepat di depan gerbang sekolahnya, gadis itu terpaksa harus menghela nafas dengan panjang. Ia datang terlambat hari ini. Pintu gerbang sekolah telah tutup.

Semalam suntuk, ia tak bisa tidur hingga larut malam dan baru bisa tertidur setelah pukul dua dini hari. Ia telah berusaha memaksakan kedua matanya untuk tidur namun begitu sulit. Dan alhasil, ia bangun terlambat dan datang ke sekolah dengan terlambat. Dan dengan terpaksa, ia harus mengikuti seorang anak OSIS yang bertugas hari ini.

Auris kira ia akan terlambat sendirian namun ternyata tidak. Seorang laki-laki dengan kemeja seragam yang tak dibenahi dan menampilkan kaus putih di dalamnya datang dengan sebuah tas punggung yang menggelantung di salah satu bahunya.

Auris menolehkan kepalanya demi mengetahui siapa laki-laki tersebut dan seketika kedua matanya membulat sempurna begitu mengetahuinya. Laki-laki tersebut ternyata adalah Andra. Bukan kehadiran laki-laki tersebut yang membuatnya nampak terkejut, melainkan beberapa luka memar yang begitu kentara di wajah laki-laki tersebut.

"Andra... Lo habis kelahi?" tanya Auris cepat.

Andra hanya menatap Auris sekilas dengan sebuah senyum di wajahnya. Untuk apa gadis itu bertanya jika telah mengetahui jawabannya? Bukankah luka di wajahnya telah menjelaskan bahwa ia baru saja berkelahi dengan seseorang hingga meninggalkan jejak.

"Lukanya pasti belum diobatin, kan?" tanggap Auris. Kedua matanya menatap lekat-lekat luka tersebut. Kentara dengan jelas kalau luka tersebut belum diobatin. Bahkan disentuh sekalipun sama sekali tidak.

"Semalam habis kerkom lo langsung pulang? Atau dihajar sama preman jalanan? Kok bisa gini, Ndra? Lo kelahi sama siapa?" Auris semakin mendekatkan dirinya dengan Andra. Ia sungguh merasa khawatir jika semalam setelah mengantarnya pulang le apartemen, ternyata Andra mengalami hal yang lebih buruk dari sekedar perkelahian biasa.

"Gue nggak papa," balas Andra singkat. Lukanya memang belum diobati sejak semalam. Meski sebenarnya, semalam Khanza datang ke kamarnya untuk mengobati lukanya. Namun ia menolaknya dan tak membuka pintu kamarnya sama sekali. Dan pagi tadi, alih-alih menanggapi ajakan dari ibu dan adiknya untuk sarapan pagi, ia lebih memilih untuk segera berangkat ke sekolah. Ia harus mampir ke bengkel sebentar untuk mengambil motornya yang mogok kemarin. Dan disinilah ia berada sekarang, berada di lapangan sekolah bersama Auris yang sama-sama terlambat datang ke sekolah.

"Nggak papa gimana, sih, Ndra. Ini harus segera diobati biar nggak infeksi."

"Nanti juga sembuh sendiri," balas Andra.

"Ayo ke UKS sekarang, biar gue obatin." Auris berkata sembari menarik lengan Andra. Gadis itu segera meminta ijin pada anak OSIS yang sedang bertugas dan segera pergi menuju UKS bersama Andra. Yah, meskipun harus dengan memaksa cowok itu.

Kini, keduanya duduk berhadapan di atas sebuah ranjang di UKS. Auris segera mengobati luka di beberapa bagian wajah Andra dengan begitu teliti dan hati-hati. Baru saja ia hendak mulai mengobati, pergerakannya terpaksa terhenti saat Andra tiba-tiba menggenggam lengannya.

"Nggak usah diobatin, nanti juga sembuh sendiri," ujar Andra meminta. Ia bukannya tak ingin lukanya cepat sembuh, namun ia hanya tak ingin indra penciumannya menangkap bau alkohol dan obat merah yang ia benci.

"Iya, gue tahu nanti juga bakal sembuh sendiri, tapi kalau nggak diobatin nanti bisa infeksi," balas Auris.

"Nggak papa, asal gue nggak nyentuh obat itu sedikitpun."

The False Reality (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang