Chapter Twenty Six

30 18 10
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Kedua kelopak mata Auris yang semula terpejam nampak mengerjap menyesuaikan cahaya yang menyapanya. Kepalanya yang terasa pening membuatnya reflek hendak memegang kepalanya namun ada sesuatu yang menahannya untuk melakukannya.

Ia berusaha menggerakkan tangannya namun gagal. Saat ia menoleh kebelakang, seutas tali nampak mengikat kedua pergelangan tangannya dengan kuat.

Auris berusaha bangkit duduk dengan susah payah. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia berada di dalam sebuah kamar. Namun, ia tidak tahu ini kamar milik siapa.

Perasaannya terasa memburuk saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya setelah membuka pintu. Bibirnya seketika terasa kelu begitu melihat siapa sosok tersebut.

"Sudah sadar, hm?"

Artha Pradita, seseorang yang Auris takutkan selama ini bertanya dengan sebuah senyum tipis di wajahnya. Sebuah senyum yang terlihat begitu mengerikan di kedua matanya.

"Bagaimana kabarmu, putriku?" tanya Artha lagi. Laki-laki itu menarik sebuah kursi di meja belajar lalu duduk dengan menghadap ke arah Auris.

"Mengganti identitas, membuat diri sendiri seolah telah mati, apakah kamu pikir aku tidak akan mengetahui ini untuk selamanya?" Artha tertawa pelan begitu mengucapkan kalimat tersebut. Tawa yang terdengar begitu mengerikan di telinga Auris hingga berhasil membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

"Kamu, Javran, dan Leya. Betapa bodohnya kalian beranggapan seolah berhasil membodohiku, ha?"

Artha beranjak dari duduknya. Ia berjalan mendekat ke arah Auris, membuat gadis itu reflek bergerak mundur menghindari. Ia sontak terpekik kaget saat Artha tiba-tiba menarik rambutnya dengan kuat.

Auris meringis pelan saat Artha menarik rambutnya dan membuatnya mendongak dengan terpaksa.

"Memiliki anak perempuan sepertimu adalah kesialan bagiku. Tapi..." Artha menghentikan sejenak kalimatnya demi memperlihatkan sebuah seringai di wajahnya. "Menjualmu sepertinya akan lebih menguntungkan."

Auris terdiam seribu bahasa di tempatnya. Ia bahkan tak bisa mengucapkan sepatah katapun untuk menanggapi kalimat yang Artha ucapkan.

Artha tersenyum tipis. Ia mengelus puncak kepala Auris dengan lembut, dan membenahi anak rambutnya ke belakang telinga.

"Jadi, persiapkanlah dirimu untuk pertunanganmu esok hari. Jangan sampai sakit, mengerti?" tandasnya sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkan Auris sendirian di dalam kamar tersebut.

Menjual? Itu terdengar lebih buruk daripada membunuhnya. Auris merasa lebih baik mati jika harus dijual seperti ini. Ia tahu ayahnya memang gila, namun... Ia tidak menyangka jika ternyata Artha lebih dari sekedar gila. Setelah gagal membunuhnya lima tahun lalu, sekarang ia berniat untuk menjualnya? Benar-benar gila!

Auris berusaha melepaskan ikatan di kedua pergelangan tangannya namun gagal. Ia menatap sekitarnya lalu beranjak bangkit. Namun pergerakannya terhenti begitu ia melihat Artha kembali memasuki kamar. Apa lagi yang hendak laki-laki itu ucapkan padanya?

Artha tertawa pelan lalu menarik Auris untuk duduk di atas ranjangnya. Laki-laki itu membungkukkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Auris lantas berbisik pelan. "Selamat tidur, putriku."

Auris membeku di tempatnya. Bukan karena kalimat yang Artha ucapkan, melainkan karena ia merasa sebuah benda tipis dan tajam mengenai ceruk lehernya. Artha menyuntikkan bius kepadanya. Dan dalam hitungan detik, gadis itu perlahan kehilangan kesadarannya kembali.

Artha menyeringai tipis. "Seharusnya kamu mati saat itu, maka aku tidak perlu repot-repot melakukan hal kotor seperti ini."

***

This part is short, right? Tahap revisi akan saya panjangkan mwehehehe,, jangan lupa ninggalin jejak yaap guyss ;)

Thanks for reading, all ♡

***
-TBC-

The False Reality (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang