J

2.4K 179 8
                                    


Ketuk palu bergaung nyaring di ruang sidang sore ini, Yoongi memerhatikan dari deretan bangku paling belakang. Buket bunga besar di pangku bersemat kartu kecil diantara tulip.

Pria pucat itu mempertimbangkan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu selesai menunggu rekan kerjanya keluar ruangan, membuang buket ini ke tempat sampah atau memberikan pada penerima yang akan bersin akibat alergi.

Yoongi tidak peduli sebenarnya. Mau rekannya itu mendadak pingsan terkena serangan alergi pun, Yoongi tidak masalah. Tapi, jiwa penasaran miliknya tak bisa menampik kalau pria bersetelan semi formal, berambut hitam di ikat yang datang padanya dua puluh menit lalu adalah wujud yang sama saat sosoknya di perlihatkan Jimin melalui sebuah foto delapan tahun lalu.

"Hyung?!"

Berjengit kaget, pengacara bermulut pedas tersebut menggeleng kesal seraya berdiri. Menyibak tepian rambut sembari menyerahkan buket bunga yang diterima dengan delik 'apa pula ini?' oleh yang bersangkutan.

"Hyung kerasukan apa sih? Balik bengong langsung ngasih bunga, setan gombal ya?!"

"Berisik! Mending balik yuk, ngantuk." protes Yoongi menyeret lengan Jimin yang sibuk memperhatikan bunga di dekapannya. Sejurus kemudian lengking tinggi pria tersebut memanggil salah satu nama junior yang tengah bergosip ria disamping mesin kopi "Yeonjun!"

Menyapa sambil tergopoh gopoh mendekat, junior mereka di jejal buket bunga dari tangan Jimin detik setelahnya. Bergerak menjauh, kepala berpaling ke samping dua kali, disusul suara hacih, sangat keras.

"Hyung kasih bunga tulip sengaja atau apa sebenarnya?! Kalau memang tidak niat memberi, jangan kasih yang begitu dong! Kan hyung tahu aku alergi tulip." desisnya masih bersin berulang kali. Yoongi mengulurkan sapu tangan lalu menyuruh Yeonjun yang termangu untuk membuang buket bunga tersebut.

"Sebenarnya bukan aku yang membawa bunganya, berlebihan sekali pakai segala bawa bawa buket bunga seperti itu."

"...lantas siapa yang memberinya?"

"Jeon Jungkook. Salah satu mahluk yang tidak boleh di sebut namanya selama hampir satu desawarsa. "

Menerima segelas soju, dan menegaknya dalam satu gerakan, Yoongi tertawa puas melihat wajah murung rekan a.k.a sahabatnya.

Telunjuk teracung di depan muka memperingati, si pucat masih sibuk terbahak estetik dengan gusi lebarnya, tak ambil pusing mengenai ketidaksopanan Jimin yang menunjuk tepat di depan wajah.

"Hyung...berhenti tertawa dan ayo pulang, aku butuh mengistirahatkan hati kecil yang makin keruh saat ini." ujarnya, mengerang tertahan lalu menarik rambut pirangnya yang sudah mencuat kesana kemari, kesal.

"Dua botol saja tidak cukup Jimin-ah, toleransi kita berdua berada di level yang sama dan kesempatan minum berdua jarang sekali muncul seperti saat ini, kecuali mengunjungi pemakaman ibumu setiap penghujung tahun."

"Itu berbeda, pucat" meraih dompet dari saku dan mengeluarkan lima puluh ribu dollar untuk di banting kuat ke atas meja plastik di hadapannya. "Bunda rindu anaknya setiap tahun. Kalau hyung kan datang padaku saat pacar alienmu itu pergi keluar negeri saja, bah, dasar bucin."

Mengangkat kedua tangan sejajar kepala lalu menggelengkan kepala bersama desis garang, "Hidupku masih lebih berarti karena memiliki pacar daripada kamu!"

"Nyenyenye.."

Jimin bangkit, membungkuk sembilan puluh derajat kepada bibi kedai lalu menyibak plastik transparan dan berjalan pergi meninggalkan Yoongi yang menggerutu karena Jimin menanggalkan mantel juga tas kerjanya begitu saja.

Mereka berjalan beriringan sepanjang gang, remang lampu jalan tidak menyusut hawa dingin yang membuat Jimin mendesis ngilu dan makin merapat pada Yoongi.

"Aku tahu ini kelewatan, tapi kamu harus cerita padaku kenapa pria itu bisa mendatangimu kalau dia saja belum pernah melihat rupamu dari dahulu." Yoongi memberikan pertanyaan yang di sambut gelak kecil yang terdengar muram,

"Aku mengunjungi Nuna dua hari lalu, bertengkar karena makanan yang harus di pesan dan larangan wanita tua itu untuk menemui keponakan yang belum pernah kulihat wujudnya. Nuna menyerah dan berkata kalau mantan suaminya yang akan datang malam itu, tidak bersama keponakanku, sendirian, katanya mau membahas hak asuh keputusan final."

"...kamu melampiaskan amarah terpendam karena mantan gebetan yang menikah bersama saudara tirimu dengan berteriak marah kepada Jieun dan berlalu keluar setelahnya?"

Jimin mengangkat bahu "Hyung kamu memang bayi cenayang." katanya, berusaha menutupi suasana hati yang makin kentara.

"Cih, umur saja tiga enam, pemikiran masih kekanakan." pria pucat tersebut menarik kerah Jimin dari belakang dan menyeret pria pirang itu masuk pekarangan rumah sembari memberikan sentil dahi sekuat bom atom setelah sampai di depan pintu rumah mereka.

"Dengar Park Jimin," menyibak poni ikal ke belakang kepala, Yoongi memberikan sentilan kedua tanpa penghalang apapun "kamu bisa diskusi dengan kakakmu itu tentang masalah ini, bukan di pendam terus menerus sampai kamu jadi bujang lapuk seperti sekarang. Kosongkan jadwalmu dan telpon Jieun agar ijin bertemu di dahulukan,"

Menunduk sambil melolong kesakitan, Yoongi kembali menimpali pria yang masih mengusap dahinya, susah payah.

"Kamu butuh kepastian perasaan Jimin-ah"

<•••>

Aku berniat mempublikasi cerita ini tanpa merevisi lebih jauh, nanti kalau udah selesai, baru Popa revisi.

Selamat membaca :)

Viudo: Bad GentleManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang