"Keberatan?"Jungkook menggeleng, menyeruput susu pisang di atas meja dan mencium dahi Haneul yang mengunyah menikmati sup jagung buatan Jimin di pangkuannya.
"Itu impianmu, aku tak punya hak untuk mencegahmu pergi." ujarnya. Membiarkan Haneul turun dan menerima suapan dari Jimin yang duduk di hadapannya.
"Tapi, aku akan berada jauh darimu."
"Sejak kapan itu menjadi masalah?" pria itu mengerjap, "aku punya belasan unit helikopter beserta pilotnya jika kamu ingin tetap tinggal di Seoul dan pulang pergi ke Busan."
Jimin terkekeh kecil, membenarkan perkataan pacar bongsornya yang sekarang heboh menghabiskan sup jagung di genggaman.
"Dan jika aku memutuskan untuk tinggal di Busan?"
Jungkook meliriknya, menarik lengan yang lebih tua agar berdiri lebih dekat dan menatapnya lekat lekat.
"Katakan apa maumu." matanya bersitatap dengan Jungkook, berikut genggaman yang semakin erat, "Aku tak akan segan membawamu tinggal bersamaku dan membuatmu melupakan mimpimu agar kamu hidup bersamaku."
Jimin merasa nafasnya tersendat, tatapan Jungkook membuktikan bahwa perkataan pria itu tak main main. Kekasihnya membuktikan bahwa ia mampu mengurung dirinya demi memenuhi keegoisannya.
Tapi,
"Lakukan kalau begitu."
jimin tak takut.
Jungkook mengernyit, pun memperhatikan bagaimana kekasihnya tersebut tidak breaksi lebih kecuali seulas senyuman tipis.
"Kamu akan menerimanya?"
Jimin mengangguk, "Ada atau tidaknya posisi hakim itu, semenjak awal, aku sudah kehilangan mimpi yang terus ku jadikan alibi bila orang menyatakan diriku tampak tak sesuai dengan pekerjaanku sekarang." maniknya bergulir menatap wajah Jungkook yang menekuk dahi.
"Kita sudahi? Kita akan kembali ke Seoul besok, dan kamu maupun aku punya sesuatu yang perlu di urus besok." pria itu meneruskan, bergeser mengambil piring dan gelas kotor kemudian meletakannya di wastafel dan hendak mencuci sebelum sebentuk lengan menarik pundaknya. Memaksanya untuk berbalik.
"Jimin, dengar-"
"-tidak." Jimin menepis lengan Jungkook dan menatapnya lekat, "kamu yang harus dengar, Jeon Jungkook."
Jungkook terlihat memerhatikan lengannya yang baru saja di tepis, dan Jimin harus menguatkan diri agar tak merasa kasihan padanya.
"Aku hidup di Amerika sendiri. Tanpa seseorangpun yang ku sayangi mengetahuinya." tangannya mengepal, tidak kuasa menahan segala memori tumpah ruah begitu ia akan kembali menceritakan ulang kisahnya. "Dan Min Yoongi datang menyelamatkanku dari diriku sendiri."
Jungkook menatapnya, melihat perubahan ekspresi dan segala emosi yang muncul perlahan lahan.
"Ku akui bahwa mimpi itu masih mengambang kuat agar bisa tercapai, tapi itu empat belas tahun yang lalu." Jimin memegang tepi wastafel kuat, sembari meneguk ludah yang terasa sulit untuk sekedar melawati tenggorokan. "Itu terakhir kali aku bermimpi, jika itu memperjelas keingintahuanmu."
Dan Jimin memalingkan muka, ketika Jungkook mengambil langkah lebar hingga wajahnya tak punya jarak berarti dengan wajah Jimin.
"Kita tidak harus berdebat untuk ini," katanya tepat di sisi telinga, menghembuskan nafas hangat yang memantik bulu kuduk Jimin meremang hingga seluruh badan. "aku belajar mencintaimu bukan dengan sebuah impian yang telah lama hilang, atau menjadi sebuah kebohongan,"
Jimin menghela nafas kasar ketika Jungkook berbalik dan meninggalkannya dengan sebuah kata kata untuk sadar.
"tapi aku belajar mencintaimu dengan sebuah rasa tulus dan sabar paling dalam untuk menunggu, menanti, bahkan rela menyimpan sedih dari orang orang sekitar yang menyakitimu. Jadi ku harap kamu tahu bahwa rasa cinta ini lebih besar dari rasa ingin tahuku.
"Aku mencintaimu. Selalu."
***
"Surat pindah senior telah tiba, perlu ku antar ke rumah?"
"Tidak. Biarkan itu di kantorku, lagipula aku akan masuk siang ini."
Jimin memutar pergelangan, melihat jam tangan dan memindahkan ponsel ke sebelah kanan dan mengapitnya antara pundak dan kepala. Sementara tangannya sibuk mengemas pakaian juga beberapa barang barang ke dalam koper di lantai.
"Apa perlu ku temani ke Busan?"
"Ya, jika itu tak merepotkanmu. Aku akan ada janji temu jam sembilan nanti, bisa tolong sediakan tempat di sekitar kantor?"
"Tentu. Biarku siapkan keperluan dan setelahnya memesan tempat untuk pertemuanmu. Ada lagi?"
Jimin terkekeh, "Kamu terdengar seperti sekertarisku. Tidak ada dan terimakasih. Akan ku beri mantel dari Italy sebagai upah." lalu menutup panggilan bersama pekik girang Yeonjun yang perlahan hilang.
Menarik resleting hingga koper tertutup, Jimin melangkah keluar kamar usai memastikan tak ada yang tertinggal.
Pesawatnya terbang dua jam lagi, ia menolak tawaran Jungkook tentang helikopter karena kejadian semalam dan berakhir memesan tiket pulang sendiri.
Sejatinya Jungkook nampak tak mau membiarkan dia pulang sendiri, namun apa jadi kalau ia enggan berbicara lebih lanjut tentang tawaran darinya dan memilih memesan tiket pesawat untuk dirinya.
Tangannya melambai sekali agar taksi berhenti, beruntung ia mendapatkan taksi dan memindahkan koper ke bagasi, tak ingin menyita waktu lebih banyak, Jimin segera menyebutkan tempat yang dituju dan taksi pun melesat mengantar kepergiannya.
Loby terasa padat seperti biasa, Jimin menyusuri jalan melewati puluhan manusia dan melakukan check in sebelum mengantri untuk naik pesawat sambil menggapit tas, paspor, dan tiket di kedua tangan.
Kursi bernomor urut 2, dekat jendela, kelas ekonomi, dan seorang Park Jimin yang menutup mata ketika pesawat bersiap terbang.
Dalam sunyinya suasana, Jimin mendengus begitu pernyataan cinta dari kekasihnya semalam kembali terngiang di ingatan.
"I love you more than always, jerk."
Hei, setelah sekian lama, aku kembali.
Maaf ya, makasih juga.Aku uplod chapter terakhirnya besok ya, doakan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viudo: Bad GentleMan
Cerita PendekDefinisi dari seorang duda tampan, mapan, adalah Mr. Jeon, tapi Park Jimin selaku mantan iparnya menolak keras pendeskripsian di atas. "Kamu tidak pernah memberiku uang untuk belanja, makanya aku tidak suka!" "...kamu bisa ambil dompetku Jimin-shi...