Berbekal helikopter, Jungkook berhasil membawa kekasihnya kabur ke pulau sebelah. Dengung indah Jimin mengalun indah mengisi keheningan. Entah berniat melullaby anaknya yang terlelap nyaman di pelukan atau menghibur dirinya yang bosan."Begitu sampai, aku langsung bertemu ayah dan ibumu?" Jimin merapatkan jaket kebesaran Jungkook, beringsut memeluk dirinya sendiri dan menengadah menatap matanya.
"Ya, berharap rupa kekasihku yang jelita serupa dengan sifatnya yang penyayang agar bisa memberi kasih juga perhatian lebih untuk Haneul."
"Your hope?"
Tersenyum kecil, Jungkook mengecup pelipis anaknya lamat lamat. Ada degup tak nyaman begitu pemilik surai pirang bergumam menengahi jawabannya.
"Jangan berharap banyak. Kalau kekayaanmu cukup membahagiakan, aku tidak akan segan mengasuhnya seperti anak ku sendiri."
"...dan apakah pemikiran itu milikmu?"
Tangan terjulur menggapai bahu dan memeluknya erat tanpa sepatah kata, Jungkook yakin semuanya abu abu untuk sekarang,
tapi ketika degup jantung dan hangat badan Jimin masih bisa ia rasakan. Jungkook tahu mereka sama sama mendusta.
•
•
Menikmati semilir angin sore di tepi pantai bersama sosok manis yang paling ingin ia temui sepanjang hidupnya. Tentang keingin tahuannya wajah cantik dan tegas secara bersamaan, tentang bagaimana senyum berhias gigi kelinci dan kerut pipi indah menyatu dalam satu bentuk tanpa ada bagian dari dirinya.
Jimin mengamati diam diam bagaimana netra sekelam langit malam memandanginya dengan senyum terulas lebar. Jimin juga ingin tahu bagaimana gadis cantik ini bertumbuh besar dengan baik. Pun, memutar kembali semua penyesalannya tak akan membuahkan hasil apapun. Jimin tahu itu.
"Di mata Capa ada keraguan yang menyeramkan."
Mengerjap perlahan, bulan sabit terbit di kedua mata bersama senyum lebar dan telapak tangan halus mengusap pucuk kepala Haneul yang masih setia memandanginya.
"Apa keraguan itu menakutimu?" helaan nafas hilang bersama angin, dan Jimin butuh pemantik untuk batang nikotinnya sekarang.
Namun, sebuah geleng yakin dari bocah di sisinya menghapus semua pikiran untuk merusak paru parunya semakin parah. "Tidak, aku sama sekali tidak takut akan keraguan itu. Hanya saja ragaku tak semegah itu untuk menampung ragu Capa."
"Jadi aku harus bertahan melewati ini demi dirimu?"
"Itu terdengar menyenangkan. Bukankah Ayah punya raga yang lebih besar supaya semua resah Capa menghilang nantinya?"
Aku bahkan belum tahu pasti keadaan hati ayahmu, nak. Jimin mengangkat bahu dan membawa Haneul beranjak dari duduknya. Menari nari berlatar matahari tenggelam di ujung pantai dan meratapi kekejaman dunia kepada mereka.
Pekik Jungkook dari kejauhan memanggil mereka untuk kembali, memeluk keduanya, dan kembali menghadapi kenyataan.
"Orang tuaku sudah tiba, bersedia bila ku titah pelayan menyiapkan pakaian sementara kamu mandi?" mengusap punggung Jimin sembari berjalan beriringan menuju kamar mereka, Jungkook menatap keseluruhan raut kesayangannya yang terlihat lelah.
"Aku akan menyiapkan semuanya sendiri," mengusap sisi tubuh Jungkook, ia mencuri kecup di ranum berhias seringai tampan, "dan katakan pada pelayan untuk menyiapkan bahan bahan masaknya. Aku yang akan membuat makan malamnya."
"Kamu tahu itu tidak perlu."
Memeluk tubuh besar di hadapan, Jimin merengkuh kehangatan yang untuk sekarang maupun nanti mengisi kekosongan raganya. Dan itu bersifat mutlak.
Karena Jungkook adalah miliknya sampai kapanpun.
•
•
"Saya Park Jimin, bibi, paman."
Senyum wanita tua itu sangatlah menenangkan. Ia tidak berharap besar untuk di terima keluarga ini, tapi kesepian hatinya membuat semua keinginan harus terpenuhi.
"Kakek tidak pernah tahu Ayahmu bisa menemukan malaikat untuk di jadikan pasangan hidup seperti ini."
"Lho? Ayah kemana saja baru tahu berita ini sekarang."
Tertawa malu, Jimin menyikut rusuk prianya yang mendengus bangga. Haneul di sebelahnya menyuap nasi sembari bertepuk tangan ria seolah berpendapat hal yang sama dengan kakeknya.
"Jangan panggil bibi, nak." meraih kedua tangannya untuk di genggam erat, Jimin nyaris terisak karena kehangatannya persis sama dengan kehangatan ibunya delapan belas tahun lalu. "Aku ibumu mulai hari ini dan seterusnya."
Dan disinilah ia berakhir, menegak sebotol wine bersama Jungkook yang memerhatikannya dari samping. Setia mengusap bahu dan pipinya yang berlinang air mata. Bahu kecilnya yang bergetar kuat diiringi isak tangis pilu.
"Mind if i call Yoongi-nim?" Jungkook bersuara, memeluk tubunya erat.
"I will do it, give me phone." suaranya terdengar menyeramkan dan putus asa, juga menyedihkan. Sudah pasti Yoongi akan menertawainya habis habisan jika tahu.
Kekasihnya menuntun agar duduk terlebih dahulu sebelum beranjak mengambilkan ponsel Jimin. Lelaki itu meraih gelas air dan meneguknya perlahan, berusaha menghilangkam serak yang membuat suara indahnya menyeramkan.
Wajah Yoongi muncul pada dering ketiga. Rambut berantakan, tidak mengenakan pakaian hingga selangka seksinya terlihat, dan sapaan pagi yang Jimin rindukan.
"Good morning, Honey."
"Selamat pagi juga, hyungnim."
Melambai kecil bersama senyum terulas lebar. Jungkook beringsut mendudukan diri, tidak disamping Jimin, melainkan bersila di kedua kaki Jimin. Memeluk perutnya, mendusal manja, dan mendengarkan perbincangan kekasih dan sahabatnya bersama sapuan elus sayang Jimin di surai panjangnya.
"Bagaimana pertemuannya? Auramu bekerja dengan baik kan?"
"Wajah ruapawanku bekerja dengan baik lagi kali ini. Dan hyung harus tahu kalau genggaman beliau mirip sekali dengan kehangatan Bunda, kamu lihat kan hidung merahku, aku menangis tahu!"
Membiarkan perutnya di ciumi, Jimin tidak merasa risih begitu jemari prianya mulai meraba kemana mana. Mengangkat kausnya dan membawa kepalanya masuk untuk menciumi kembali perutnya.
"Jeon kedua sudah jadi belum ya?" gumam Jungkook menimbulkan tawa Jimin, dan Yoongi memiringkan kepala karena tak paham alasan sahabatnya itu terbahak kencang di sebrang telpon.
"Hyung, ku tutup dulu ya! Pacarku kepingin punya anak kedua katanya!!" pekik Jimin menutup panggilan mereka, dan Yoongi menggelengkan kepala sembari tersenyum kecil.
"Kamu tak mau punya anak juga, Pangeran?"
Suaminya berhenti dari kegiatan menyeduh kopi, memutar kepala dan menyeringai lebar. Punggung lebar berhias cakaran panjang di gantikan dada bidang dan perut berotot ketika pria itu berbalik dan menghampirinya.
"Aku tinggal menunggu kabar baiknya saja, karena istriku sudah di buahi semenjak pertama kali menapaki London."
Dan Yoongi tak kuasa menarik bantal dan melempar suaminya tersebut yang tertawa terpingkal pingkal melihat rona merah di kedua pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viudo: Bad GentleMan
Short StoryDefinisi dari seorang duda tampan, mapan, adalah Mr. Jeon, tapi Park Jimin selaku mantan iparnya menolak keras pendeskripsian di atas. "Kamu tidak pernah memberiku uang untuk belanja, makanya aku tidak suka!" "...kamu bisa ambil dompetku Jimin-shi...