K

767 82 2
                                    


Min Yoongi, suami pangeran Taehyung si atlet rugby dari Korea. Lentik jemari yang kerap kali mendustakan Jimin adalah hal yang memilik seribu kehangatan begitu menjumpai sosok tenangnya.

Rautnya memang datar, tapi siapa tahu kalau perangainya dapat memikat Taehyung yang saat itu masih hanyut dalam duka citanya terhadap ibu yang meninggal sehari sebelum ia bertemu Yoongi di bar kecil dekat apartemen pribadinya.

Yoongi itu sosok cantik dan karismatik. Penuh dengan aura berkuasa namun juga bijaksana. Seseorang yang menjadi panutan Jimin sejak lama, dan juga tempat berkeluh kesahnya yang setia mendengus begitu topik yang di bahas adalah kerinduannya terhadap keluarganya di masa lalu.

Jimin menatap piring bekas daging panggang buatan Yoongi di meja makan. Berbalut kemeja transparan, lelaki tersebut sempat di komentari oleh kekasihnya yang tak cukup senang melihat cara berpakaian di cuaca dingin seperti ini. Jimin juga tidak tahu kalau Yoongi malah meminta para pelayan memindahkan meja makan di balkon istana barat.

"Kenapa murung begitu? Dagingnya tak sesuai selera?"

Menggeleng, pria tersebut bangkit berdiri. Berdiri tegak disamping Yoongi yang menyesap wine kesukaan sembari menatap lurus ke halaman lebar tempat tinggalnya dan Taehyung.

"Aku hanya berpikir, apakah Haneul dan keluarga Jeon akan menerima pria sepertiku." menoleh ke sebelah, Jimin tersenyum pada Yoongi yang mengangkat sebelah alis, bingung. "Jungkook baru saja mengabari kalau keluarganya ingin bertemu denganku secepatnya. Ini terdengar sangat asing, aku tak lagi punya keluarga semenjak dua puluh tahun yang lalu, dan mendengar permintaan datang ke rumah besarnya, terlihat aneh."

Tertawa, Yoongi enggan berbalik badan untuk bisa melihat raut sedih sahabatnya. Kehidupannya juga sama seperti Jimin, itulah kenapa ia selalu berpikir kalau Jimin adalah seseorang yang tuhan titipkan padanya untuk di beri kasih sayang juga di lindungi.

Hening menyeruak mengisi atmosfir, keberadaan sang bulan yang bertahta indah tak menampik bawa kebahgian Jimin masih jauh dari ekspetasinya.

"Apapun yang terjadi, kembali lah padaku. Kalau perjuangan belasan tahunmu tak lagi memberi kepastian, akan ku buka rengkuhanku untukmu. Melajanglah sepenuh hati, ku buat kamu menjadi seorang paman manis yang kaya raya."

Jimin mendengus, memutar bola matanya sejenak dan terisak detik berikutnya. Jemari meraih kotak rokok dan pemantik dari saku celana, menghidupkannya dan terbahak kencang setelahnya.

Yoongi menepuk bahunya, menyesap anggur perlahan lalu ikut tertawa. Kepul asap, bau rokok yang familiar, dan keberadaan Jimin dengan mata sembab dan bibir tebal menghisap batangan nikotin yang tak pernah berubah mereknya.

"Kamu bisa Park Jimin. Kalau semudah itu menaklukan hati ibuku, kenapa terdengar berat ketika calon mertuamu mengajukan temu terlebih dahulu."

Membuang nafas bersama asap, Jimin menopang dagu menggunakan bahu Yoongi yang masih setia mengusap punggungnya.

"Bunda akan sedih melihatku begini bukan?" mengangguk menanggapi, Yoongi akhirnya bersedia memutar tubuh dan memeluk Jimin dalam dekapan hangatnya. "Tapi bagaimana kalau aku ingin mengajak keluarga ku juga untuk bertemu mereka? Bagaimana kalau aku ingin Haneul bisa mendapat elus sayang ibuku seperti beliau menyentuh rambutku sebelum tidur? AKU HANYA INGIN MEREKA ADA! APA HIDUPKU HARUS SELALU SEPERTI INI?! KENAPA TUHAN TEGA MEMBAWA IBUKU PERGI DAN MEMBUAT AYAH MENELANTARKAN AKU SEJAK DINI!!"

Nafasnya tersengal, isak tangis bercampur teriak putus asa yang menekan relung hati agar merasakan hal yang sama begitu mendengarnya.

"...dunia memang kejam, Jimin-ah."

Jimin terbahak sembari mengangguk, menyusupkan wajah ke ceruk leher Yoongi yang menghembuskan nafas kasar sambil memeluknya semakin erat.

"Hyung.." memejamkan mata, Yoongi ingin menulikan telinga dan hendak menarik diri sebelum Jimin menghalau kepergiannya dengan tarikan kuat di punggungnya. "jangan pergi ya? Bilang pada Taehyung buat anaknya disini saja."

"HUSH! ISH BEDEBAH! LEPASKAN AKU!!"

"Ah, hyunggg..."

"ARGH! LEPASKAN AKUUUUU!!!"

Yeonjun menyapanya, tersenyum tampan seperti biasa. Koridor kantor nampak lenggang, penghujung tahun sudah di depan mata, dan Jimin memutuskan meliburkan para pengacara yang telah usai mengerjakan kasus mereka.

Juniornya melenggang masuk, memberikan gelas kopi dan mengusak hidungnya malas. Jimin tidak menyadari kalau ini masih pukul enam pagi, dua jam lebih awal dari keberangkatan hari biasanya.

"Senior menolaknya lagi?"

Mengangkat kedua alis sembari menyeruput kopi manis sedikit, Jimin mendongak setelah menaruh gelas besarnya. "Apa?"

"Menerima posisi hakim di pengadilan Busan."

Melengos, Jimin menatap sepasang netra cokelat terang juniornya. Yoongi enggan membahas masalah ini lagi begitu ia berkata akan menerima kalau Yoongi sudah menikah. Dan Jimin menyesal ketika perkataannya benar benar menjadi kenyataan untuk dirinya sendiri.

"Aku sudah cukup dengan titel pengacara, Yeonjun."

"...tapi itu impian senior."

Memalingkan muka, si pirang menghembuskan nafas kasar lalu menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Dirinya juga enggan menolak bahwa menjadi hakim adalah mimpi utamanya semenjak remaja, hanya saja balas budi yang di tentang keras oleh Yoongi membawanya pada ribuan dollar untuk membela tersangka pembunuhan yang minta di bebaskan.

"Kalau itu memang mimpiku kamu mau apa?"

Mendongak, Yeonjun mengusap dagu lalu tersenyum lebar hingga kedua taringnya menyembul ganas. Lirikan menggoda juga tepuk tangan juniornya yang berteriak girang usia menelisik raut wajahnya lebih teliti.

"Ku bawakan dokumennya kemari bersama sarapan pagi?"

"Dua loyang Lasagna dan empat kaleng soda, pacarku akan mampir kemari."

Memeragakan hormat tentara dengan gerakan aneh, pemuda itu melangkah meninggalkan ruangannya keluar. Jimin beranjak menuju meja kerjanya, meraih berkas dan membaca satu persatu dengan gelisah. Berusaha menghilangkan degup tak nyaman akan kedatangan Jungkook yang sekedar bertandang.

Ketukan pintu memaksa nafasnya berhenti di kerongkongan, dan ketika pintu lebar itu di dorong kecil, Jimin mendapati pria gagah membopong seorang bocah berambut gelombang yang teramat cantik. Bentuk hidung dan lekuk wajahnya sama dengan sang ibu, tapi, senyum lebar berhias gigi kelinci dan kedua mata bambi yang berkilau menatapnya adalah kepunyaan sang ayah. Kekasihnya. Jeon Jungkook.

Jimin tidak bergerak, pria itu duduk gusar begitu matanya mendapati anak empat belas tahun tersebut di turunkan dari rengkuhan erat ayahnya dan melangkah maju menghampirinya bersama bingkisan besar berisi puluhan cokelat batang di pelukan.

Kekasihnya tersenyum di ambang pintu. Menatap gerak gelisah Jimin yang teramat lucu di matanya.

Haneul sampai di hadapan, berdiri merapat lalu merendahkan badan agar dapat mencium pipi Jimin yang langsung bersemu merah berikutnya. Bingkisan besar di serahkan, jemari di genggam erat, dan Jimin menitikan air mata saat panggilan yang sejatinya ia antisipasi malah terdengar berbeda dan mengharukan.

"Selamat pagi, Capa."


•••

ini sempet mau di revisi lebih jauh, tapi akunya mager.

Oh ya, jangan lupa mampir ke buku baruku yaa,

Terima kasih :3

Viudo: Bad GentleManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang