09

17 9 2
                                    

Pantulan wajah polos tanpa make up itu nampak pada cermin yang berada di meja riasnya. Ia belum memoles wajahnya dengan make up bahkan handuk putih masih melilit di badan dan kepalanya. Sejenak ia tatap wajahnya yang pucat karena tak mengenakan make up--ia tersenyum.

Tanpa basa basi ia menyambar beberapa baju di lemari pakaian. Nampak beberapa dress pendek dan baju-baju maupun kaos. Yang rata-rata berwarna cerah. Karena hari ini terlihat cerah dan ia hanya akan bertemu dengan papanya akhirnya Grace hanya mengambil kaos putih polos, cardigan hijau mint dan rok hitam pendek.

Setelah selesai dengan baju ia kembali duduk di depan cermin dengan senyuman yang mengembang. Ia nampak sangat bahagia hari ini dan bahkan jantungnya terus berdebar seperti akan meledak. Sepertinya hari ini akan jadi hari yang cukup panjang dan menyenangkan, ia benar-benar menantikan hari ini. Hari yang begitu spesial jika ia bayangkan. Ia menatap beberapa benda yang berjajar rapi di depannya sejenak ia memandangi tanpa mengambil satu barangpun.

"Pakai yang warna apa ya? " gumamnya.

Ia masih berpikir hingga tiba-tiba suara dentingan di ponselnya mengalihkan perhatiannya. Ia langsung berdiri dan menyambar ponselnya yang tergeletak di kasur. Ia menatap sejenak pesan masuk di ponselnya, saat membacanya seketika senyumannya mengembang. Ia membuka roomchat nya dan menekan tombol telepon di atasnya.

"Bang, masuk aja. Udah di depan kan? " ujar Grace ketika telepon mulai tersambung.

"....."

"Hm.. Yakin? "

"...."

"Yaudah kalo gitu, bentar tinggal make up-an doang kok " Grace langsung menutup sambungan telepon dan membubuhkan bedak di wajahnya. Ia mengambil lip tint berwarna sweet orange dan mengoleskannya pada bibir. Ia tersenyum menatap penampilannya, cukup sederhana tapi menarik. Ingin sekali Grace memuji dirinya tapi mungkin para readers akan berkata ia terlalu pede dengan penampilannya.

"Ngapain kamu kesini? " suara dingin itu berhasil membuat langkah Grace terhenti di tengah tangga. Baru saja ia hendak turun untuk menemui kakaknya. "Saya tanya kamu ngapain kesini?! " kali ini mama Grace membentak dan itu membuat Grace benar-benar terkejut bukan main. Jagat kan anaknya, bukankah wajar jika seorang anak datang ke rumah mamanya untuk bertemu keluarganya yang sudah lama terpisah?

"Saya mau menemui Grace unt--" kalimat Jagat terpotong ketika telapak tangan mamanya menampar keras pipinya. Grace dibuat ternganga tangannya reflek terangkat menutupi mulutnya yang terbuka lebar karena terkejut bukan main.

"Jangan pernah sekalipun kamu menginjakkan kaki lagi disini. " ujar mamanya tak keras namun suaranya terasa menusuk hingga ke ulu hati.

"Ma... " lirih Jagat. Baru pertama kali ini Grace mendengar suara Jagat yang begitu gemetar. Seorang Jagat yang selalunya terlihat santai, berani, dingin, dan disegani terlihat begitu menyedihkan disini. Matanya mulai memerah berusaha menahan air matanya. Ingin sekali Grace memberanikan diri untuk datang di tengah-tengah mereka, namun kakinya bahkan tak mau beranjak barang se-inci. "Aku cuma mau jalan sam--"

"Kamu gaboleh ketemu Grace dan anggap kalian tidak saling kenal. " mata Jagat melotot ia tak mengerti apa yang baru saja mamanya katakan padanya. Tidak saling kenal? Bagaimana bisa? Mereka saja satu kampus dan satu darah.

"Mama apa-apaan sih?! " kali ini Grace menyahut. Ia memberanikan diri untuk turun tangan, ia tak bisa membiarkan drama ini terus berlanjut. Netra mereka langsung menangkap Grace yang terlihat sangat marah-tidak bukan marah seperti saat bersama Aksa. Tatapannya kali ini berbeda, terlihat adanya luka yang sangat dalam yang digambarkan oleh matanya. "Mama tuh gak jelas tau gak? Bang Jagat ada salah apa sih sama mama? Kok sampe segitunya?! " Grace menggertakkan giginya.

Rain in December | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang