06

25 8 0
                                    

Kadang untuk bahagia itu sederhana.
Bersama dengannya saja itu sudah lebih dari cukup untukku.
.
.
.

Katanya hujan itu suram dan menyedihkan. Tanah yang becek, jalanan yang licin, suara petir yang menggelegar, kilat yang terus menyambar dengan cahaya yang sangat terang kadang membuat orang-orang membenci hujan. Tapi jika dilihat dari sisi baiknya hujan membawa aroma khas yang menenangkan, suhunya yang dingin tidak membuat kita berkeringat dan suara air hujan yang bertabrakan dengan atap dahan daun dan tanah membuatnya terdengar merdu di telinga.

Disaat musim hujan terkadang hujan tidak ada henti-hentinya mengguyur. Hujan tak akan melewatkan satu haripun untuk turun. Mereka akan bersuka cita memberikan hawa sejuk dan air untuk pepohonan yang kekeringan.

Langit yang mendung terlihat sejuk untuk dilihat. Grace rasanya ingin sekali musim hujan berlanjut selama setahun penuh. Rasanya kebahagiaannya datang ketika hujan datang. Sesederhana itu.

Kaki Grace melangkah menuju sebuah cafe kecil di dekat kampus. Suara alunan musik sendu mulai terdengar ketika ia memasuki cafe. Hari ini cafe terlihat sepi, mungkin karena hujan hingga orang-orang malas untuk keluar.

Ia langsung memesan coffee latte. Dengan baju setengah basah ia duduk di meja paling ujung cafe. Kedua tangannya menangkup cangkir yang tergeletak di depannya dan menatapnya dengan sendu. Lagu sendu di dalam cafe membuat suasana hatinya yang semula senang akhirnya menjadi gundah. Tatapannya beralih pada kaca di samping kanannya dan menatap keluar jalanan.

"Ravi? " gumamnya ketika ia mendapati Ravi yang tengah berdiri di seberang jalan sembari menenteng paper bag berwarna coklat dan tangan kanannya membawa payung berwarna biru langit. Ia terlihat tersenyum lebar sembari berjalan menyebrangi jalanan yang mulai sepi. Kakinya melangkah mendekat untuk menyusulnya datang kemari. Grace hanya tersenyum getir melihat Ravi yang selalu tersenyum lebar disaat hujan yang kadang terdengar seperti memaki-maki Grace.

Suara lonceng pintu terdengar dan menampakkan sosok Ravi yang berdiri sembari menenteng paper bag Grace hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Rasanya seperti coffee latte panas yang ia minum telah berubah menjadi ice americano yang begitu pahit dan dingin untuk diminum saat ini. Kisah cintanya terlalu pahit untuk ia jalani. Tidak seperti romansa pada novel ataupun komik, cerita Grace dan Ravi tidak ada sisi romantis yang akan menarik hati. Mungkin orang-orang mengira hubungan mereka baik-baik saja namun di dalam hubungan mereka sebenarnya terdapat hujan badai yang entah kapan redanya. Grace masih setia menunggu badai itu reda dan Ravi masih setia mencari jalan keluar agar bisa terbebas dari badai itu.

Bibir Grace masih bergetar menandakan kalau ia masih merasa kedinginan meskipun ia sudah berada di dalam ruangan dan meminum kopi hangat. Ravi yang melihatnya kedinginan langsung melepas jaketnya dan memasangkannya di tubuh Grace. Mungkin jika dilihat dari sudut pandang orang lain terlihat manis. Namun dari sudut pandang Grace, jaket itu adalah beban yang ia tanggung. Pundaknya serasa berat akan bebannya. Seiring berjalannya waktu beban itu semakin menambah dan semakin berat untuk Grace tanggung sendirian.

"Jangan hujan-hujanan lagi, nanti aku kena marah abangmu loh hahahah... " ujar Ravi sembari tertawa ringan.

"Tumben ketawanya elegan banget, biasanya receh. " cibir Grace.

Ravi terbahak. Sudah ia duga, tidak mungkin seorang Ravi akan tertawa berat layaknya laki-laki maskulin lainnya. Grace hanya ikut tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Sesekali dollar lah, yakali receh mulu. Berat ntar kantongnya. "

Rain in December | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang