Aku masih diam menunggu penjelasan dari laki-laki dihadapanku ini. Sudah hampir setengah jam ia tak mengatakan apapun, uap kopi yang ada di hadapanku bahkan mulai menghilang menandakan kalau suhunya sudah turun. Bahkan mungkin sudah dingin dari tadi karena suhu di luar cafe juga turun.
Langit biru bercampur dengan awan gelap di atas sana membuat suhu menjadi turun, kadang juga turun hujan hanya selama satu atau dua menit kemudian reda, namun awan gelap masih menyelimuti langit dan tak kunjung hilang dari penglihatan.
"Kayanya kamu memang nggak ada hal yang harus dijelasin kan? " aku bangkit dari tempat dudukku dan menaikkan tali tasku ke pundak.
Ravi masih berdiam di kursi, kulihat ada senyuman remeh di bibirnya.
"Jelasin? Kita udah selesai, ngapain masih minta penjelasan? " skak mat. Aku bungkam seribu bahasa, badanku otomatis mematung di hadapannya. Aku kehilangan kata-kata. Aku harus jawab dengan apa?
Damn!
Aku hanya tertawa, entah untuk apa.
"Benar juga ya hahahah... Maaf " aku tersenyum dan melenggang pergi dari hadapannya. Sepertinya sia-sia waktuku di sini.
Seharusnya tadi aku menanyakan soal janjinya yang tak akan meninggalkanku bukan? Ah bodohnya diriku ini! Tapi jika aku mengatakan itu, akan terlihat seperti pengemis yang meminta untuk dikasihani.
Sudahlah lupakan.
Aku menyugar rambutku dan langsung menghubungi pacarku, ah hanya pacar kepepet. Kenapa kepepet? Entahlah semuanya terlalu mendadak dan aneh.
Sambungan telepon terhubung hanya dalam hitungan detik, sepertinya ia tengah bermain game di ponselnya makanya cepat tanggap. Aku hafal kebiasaannya dari dulu yang tak pernah berubah, game adalah separuh nyawanya. Pantas saja ia masih sulit mendapatkan kekasih, bagaimana bisa punya kalau ia hanya berkencan dengan game 24/7?
"Kenapa? " jawaban dari seberang membuatku menghela nafas samar.
"Lo sibuk? Kalo iya yaudah. "
"Dih apaan begitu? Kenapa? Mau jalan? " pertanyaan itu berhasil membuatku mengernyit.
"Nggak, cuma mau nanya soal Ravi. " jelasku.
"Gausah pikirin dia lagi, lo kan dah sama gue. Lupain dia. " dari nadanya sepertinya ia tak suka akan perkataanku barusan.
"Kenap--" ponselku di rebut, aku langsung menengok ke samping dan mendapati Ravi yang tengah mematikan panggilan.
Apalagi ini? Kenapa ia harus datang kemari? Tak tahukah kalau aku sudah muak dengan segala yang berhubungan dengannya? Keberadaannya memperumit hidupku. Sepertinya. Atau memang aku sendiri yang membuatnya rumit?
Aku mengernyit menatap wajahnya yang terlihat sangat kesal.
"Apalagi? " tanyaku, emosiku sudah meluap ke ubun-ubun. Aku kesal, entah apa penyebabnya.
"Tunggu sebentar, aku bakal nyelesaiin ini semua. " ujarnya. Aku tak mengerti akan maksudnya.
"Apanya yang ditunggu? " aku berkacak pinggang. "Selesaiin apanya coba? Udah selesai semua kan? "
"Nggak. "
"Udah selesai, balikin! " aku merebut ponselku yang ia genggam di samping badanya.
Brushhhh!!
Hujan deras turun di halte bus tempatku berada sekarang. Hari ini sepertinya bukan hari keberuntunganku. Aku bernaung di bawah halte yang bahkan atapnya tak cukup untuk melindungi kakiku, tapi cukup untuk melindungi badan hingga pahaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain in December | Mark Lee
FanfictionTepat saat hujan di bulan Desember, Aku menyadari bahwa ternyata Aku mencintaimu. "Happy anniversary sayang... I love you. "