15

8 5 0
                                    

Grace mengernyit, seketika kepalanya berdenyut serasa ingin pecah ketika ia terbangun karena tangan mamanya yang menariknya begitu kencang, mata Grace menyipit, pandangannya masih belum terlalu jelas namun ia terkejut ketika tamparan keras yang mendarat tepat di pipi kirinya. Rasa panas menjalar di pipinya, tanpa izin air matanya menetes begitu saja.

Ia masih ingat jelas kejadian memalukan yang benar-benar Grace benci. Ia benar-benar kotor, ia tak tahu harus bagaimana, ia takut. Ia takut semua orang akan membencinya, badannya gemetar hebat, tapi entah darimana ia sudah mengganti pakaiannya dengan hot pants dan baju crop.

Rambutnya terlihat jelas sangat berantakan, banyak bekas ungu di leher, dada, hingga perutnya, dan pintarnya adalah ayahnya berhasil menutupi luka pukul, cambuk, dan cakar di tubuh Grace hanya dengan baju yang bahkan tak menutupi seluruh tubuhnya. Tubuh Grace masih tergeletak di lantai, ia bahkan tak kuat hanya untuk berdiri, seluruh badannya terasa remuk bukan main.

"Ma... " lirih Grace sembari menggenggam kaki mamanya dengan wajahnya yang lebam dan berderai air mata.

"Kamu ini mau jadi apa?! Masih remaja udah kaya gitu, malu mama! " tidak, bukan ini jawaban yang Grace harapkan. Saat ini bahkan tubuhnya masih gemetar ketakutan, ia tak sanggup untuk berdiri.

"Maa... Tolongin Grace... " Grace masih terisak, tangannya masih setia menggenggam kaki mamanya, namun langsung ditendang oleh mamanya hingga Grace tersungkur.

"Kamu ikut papamu aja, mama malu punya anak pelakor kaya kamu! "

Grace tercekat, ia tak menduga mamanya akan lebih mempercayai suami barunya daripada anaknya sendiri. Bodohnya Grace sangat berharap mamanya akan membelanya dan membuat ayahnya membusuk di penjara.

Tangan mamanya menggenggam erat tangan Grace hingga rasa sakit yang ada di tubuhnya semakin bertambah karena ia harus berdiri dan berjalan dengan susah payah untuk mengikuti langkah mamanya, ia bahkan dihempas kuat dari pintu rumah kemudian menutup pintu dan menguncinya dengan rapat.

Grace langsung berjongkok dan menelusupkan kepalanya ke dalam lekukan tangannya, ia terisak namun tak akan terdengar oleh tetangganya, karena saat ini hujan turun begitu deras mengguyur Kota Bandung. Bahkan petir menenggelamkan suara tangis Grace, sepertinya alam mendukungnya untuk meluapkan segala keluh kesahnya.

Ia sekarang tak punya tujuan, tak mungkin ia dalam keadaan seperti ini datang ke rumah papanya, ia malu untuk menatap wajah papa dan kakaknya saja ia tak berani. Grace sepertinya sudah tak memiliki siapa-siapa lagi selain dirinya sendiri, sekarang kemana Grace harus pergi? Ponselnya bahkan ada di dalam rumah ia tak punya apa-apa sekarang, apalagi uang, payung untuk berlindung dari hujan pun tak ada.

Ia hanya melangkah mengikuti kakinya kemana berjalan, pikirannya sangat kacau saat ini, bahkan suhu dingin yang menerpa tubuhnya pun tak terasa, ia sudah mati rasa. Kakinya rasanya ingin patah, air matanya yang menderai kini tertutupi oleh hujan yang turun dengan deras membasahi seluruh tubuhnya.

Sejenak ia duduk di pinggir jalan raya, kepalanya berdenyut nyeri, pusing menjalar ke seluruh kepalanya, jari tangannya sibuk memijat kepalanya yang bahkan tak mengurangi rasa sakitnya.

"Bodoh! " suara berat terdengar dari belakangnya, hujan yang sebelumnya mengguyur Grace dengan deras kini tak bisa menyentuhnya.

Grace mengenali sebias suara itu, suara yang selalu mengisi keseharian Grace, suara yang pernah menghibur Grace disaat terpuruk. Ia menengok ke atas hingga mendapati wajah tampan Ravi, ia menatap mata Ravi yang terlihat berkaca-kaca, namun Grace hanya tersenyum.

"Bodoh! " ulangnya, namun dengan suara berat dan parau.

"Ngapain di sini? " tanya Grace dengan senyuman cerianya. "Ooh apotek... Siapa yang sakit? " tanyanya lagi ketika mendapati mobil Ravi terparkir di seberang jalan di depan apotek.

Rain in December | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang