11

14 8 0
                                    

Kadang rasa obat ataupun jamu memang pahit atau aneh, tapi kenyataannya jika keadaan tubuh tengah tak sehat terpaksa mulut harus menelannya dan lidah harus merasakan. Semua hal yang terlihat buruk tak selalunya buruk seperti gula yang manis hanya akan memberikan penyakit dan obat yang pahit akan menyembuhkan penyakit.

Jika saja memang ini keputusan terbaik maka menyerah adalah jalan satu-satunya agar bisa menjalani hidup lebih bebas dan bahagia--meskipun harus menerima kenyataan pahit. Tapi kebahagiaan yang Grace mau itu yang bagaimana? Tak mungkin Ravi langsung memutuskan secara sepihak. Apalagi jika alasan mereka putus menyebar ke seluruh kampus, Ravi tak bisa membiarkan Grace terbebani. Ia yang seharusnya fokus untuk kuliah malah justru akan terfokus pada kata-kata rumor yang menyebar, apalagi Ravi yakin Alam tak mungkin bisa tutup mulut.

Alam memang tempat cerita yang tepat, tapi ia tak tepat untuk menjadi tempat menjaga rahasia ataupun masalah hidup seseorang. Mulutnya sangat ember tak mungkin Ravi membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Jika saja Ravi tak melarangnya ratusan kali mungkin sudah menyebar di seluruh kampus bahwa "Grace dan Ravi yang mana terlihat sangat romantis ternyata hanyalah bohongan belaka, dan sebenarnya Grace tak mencintai Ravi tapi memanfaatkan nya. "

"Arghhhh!! " Ravi menggeram frustrasi.

Ia menatap jendela kamarnya yang terbuka lebar hingga angin berhembus masuk ke dalam kamarnya meniup gorden berwarna putih di jendelanya. Matanya menyipit fokus pada rintikan air di luar.

"Gerimis? " gumamnya sembari bangkit dari kasur dan berjalan mendekati jendela. Ia berpikir sejenak, memangnya kenapa kalau misalkan saat ini hujan? Dalam waktu 2 menit gerimis telah berubah menjadi hujan deras. Matanya melebar, ia baru teringat kalau ia harus menjemput Grace karena Jagat tengah tak bisa mengantarnya pulang.

Ia langsung menyambar jaket dan kunci mobilnya kemudian melesat menuruni tangga dengan kecepatan kilat. Tanpa menyadari kalau kakaknya dan adiknya memanggil namanya beberapa kali melihat Ravi yang sangat terburu-buru.

Mobilnya melaju begitu kencang menerjang hujan dan membelah jalanan yang basah kuyup tertimpa hujan. Ia langsung memarkirkan mobilnya dan berlari ke dalam gedung fakultas menyusuri lorong dan berhenti tepat di depan kelas Grace. Netranya berputar mencari sosok Grace namun tak ada.

"Kemana dia? " gumamnya. Ia langsung merogoh sakunya. Sial ia lupa tak membawa ponsel.

Ravi langsung melesat pergi ke parkiran tanpa payung. Ia menatap sekitar, tak ada Grace disini. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan area kampus. Mobilnya berhenti tepat di depan cafe yang biasa mereka kunjungi.

Ia membuka pintu dan ternyata tak ada Grace. Ia merasa frustrasi, kemana Grace? Bukankah kelasnya seharusnya baru saja selesai? Kalau ia Grace masih belum jauh, tapi kenapa ia tak menemukannya? Akhirnya ia pasrah tempat terakhir yang harus ia datangi adalah rumah Grace, jika tak ada mungkin di rumah Jagat.

Ravi sampai tepat di depan rumah Jagat, karena tadi di rumah Grace tak ada siapapun. Ia melangkah masuk menuju pintu depan rumahnya. Tangannya terangkat mengetuk pintu hingga tiga kali. Namun tak ada jawaban. Ravi terus berusaha mengetuk pintu. Sungguh ini sangat dingin wajah Ravi bahkan mulai memucat dan badannya sudah basah kuyup bahkan jaketnya tak dapat mengurangi rasa dinginnya.

Kreettt!

Pintu rumah terbuka menampakkan Grace yang tengah mengenakan trening pendek dan kaos hitam big size. Ravi langsung lega melihat Grace ada di depannya, ia takut Grace kehujanan dan sakit tapi ternyata Grace baik-baik saja. Ini Ravi yang berlebihan ataukah memang Grace yang selalu bisa membuat orang lain khawatir?

"Huft.. Kamu tuh bikin aku khawatir aja tau gak? Aku sampe nyariin kemana-mana taunya udah dirumah. " Ravi nampak frustrasi. Grace hanya tersenyum nanar. "Maaf aku lupa jemput kamu.. " ujarnya kemudian mengusap lembut kepala Grace.

Rain in December | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang