BAB IV

5 1 0
                                    




Rumah mewah bergaya etnik modern semi klasik terlihat lengang. Ardy menapak masuk tanpa disertai sambutan selamat datang dan peluk haru. Sudah biasa, sejak kapan keluarganya mau merepotkan diri untuknya.



Lantai marmer berwarna putih menghiasi ruang depan dengan elegan. Furniture berbahan kayu jati menambah kesan mewah dengan ukiran di setiap jengkal layaknya tattoo permanen. Pola yang terbentuk memperlihatkan keterampilan tingkat tinggi si pengrajin. Aneka pajangan Kristal dan lukisan mahal juga tidak ketinggalan meramaikan suasana.



Ardy melangkah semakin jauh ke dalam, sebuah ruangan yang hanya dibatasi pilar dinding tanpa pintu menyapa kedua netra. Ruangan yang sama luasnya dengan ruang tamu namun terkesan lebih santai. Patung merak setinggi sekitar satu meter berdiri di dekat pintu geser yang hanya membuka sedikit.



Tangan terulur memegang handle pintu, menggeser ke samping untuk membuka celah lebih lebar. Menapak masuk dan mendapati keadaan masih tetap hening. Ruangan tengah jauh lebih luas daripada dua ruangan sebelumnya. Lantai marmer sengaja dipilih berwarna hitam dan furniture jauh lebih modern dan berwarna cerah. Sebuah LED 60" dan home theater nampak dominan diantara semuanya.



Di sebelah kiri terdapat pintu kembar berkaca transparan yang secara tidak langsung memvisualisasikan area luar yang terdapat kolam renang beserta airnya (ya iyalah). Di sebelah kanan dibatasi pintu geser berkaca abstrak warna. Dibalik pintu itu adalah area dapur. Ardy mengacuhkan dan memilih berjalan terus menuju tangga.



Tak berselang lama terlihat tangga melingkar dari bahan kayu dengan ukiran di bagian pegangan tangan. Menemukan juga dua manusia tidak asing, yaitu Bi Ani dan Bi Simah yang merupakan pelayan rumah. Keduanya belum menyadari kehadiran tuan muda sehingga Ardy harus berdehem singkat untuk meminta perhatian.



Reaksi keduanya sangat terkejut dengan penampakan tiba-tiba. Benarkah yang berdiri di hadapan saat ini adalah...., "Den Ardy?!" Bi Simah bersuara lebih dulu.



"Hemm....," jawab Ardy singkat....sesingkat hidupnya (plak).



"Se....sejak kapan datang, Den? Maaf tidak menyambut, kami tidak tahu....kami pikir....," Bi Ani ikut gelagapan.



"Ya, aku sudah pulang." Seakan tahu kearah mana kalimat itu akan berakhir.



"Den lapar? Ingin makan apa? Saya buatkan sekarang." Kembali Bi Simah bersuara, lebih khawatir dengan perut anak majikan.



"Aku tidak lapar, mau tidur saja."



Kedua pelayan saling bertatapan mendengar keputusan tuan muda. Bi Simah memberi kode pada Bi Ani untuk mengikuti naik. Berjaga siapa tahu anak majikan berubah pikiran dan memerlukan sesuatu. Seakan itu adalah perintah tingkat tinggi, Bi Ani bergegas mengekor di belakang.



Kaki panjang Ardy menapak satu persatu anak tangga. Manik mengedar pandang berkeliling, keadaan rumah ternyata belum berubah. Biasanya sang ibu selalu merubah tatanan letak perabotan. Apa karena terlalu sibuk hingga tidak sempat atau sedang tidak mood? Seketika menyadari ada yang mengekor, sontak memutar mata malas. Padahal sudah dikatakan dia pengen tidur, buang tenaga saja.



"Ibu mana?"



"Nyonya ke butik, mungkin sebentar lagi pulang karena dari pagi perginya."



"Kakak....?"



"Den Agus masih di kantor, mungkin malam baru pulang."



"........ayah...," agak tidak rela saat menyebut demikian.



ARDY & ALEXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang