BAB VI. 2

1 1 0
                                    




Di dalam ruang kerja, tampak tuan Rahardjo sedang duduk sambil menyangga dagu pada kedua tangan yang bertaut. Ingatan flashback pada momen dimana nenek membongkar semuanya. Nafas berat terhembus, apakah yang dilakukannya benar?



Dengan membiarkan Ardy mengetahui kebenarannya, apakah dia sudah bersikap benar? Pasti bocah itu akan tersakiti tapi lebih baik daripada menyimpan selamanya. Dia juga tidak berniat membawa mati rahasia ini tapi begitu berat untuk berkata jujur.



Merasa bersyukur dengan tindakan nenek, setidaknya bisa mengurangi beban di hati. Sekeras apa pun dirinya, jika berkaitan dengan anak, pasti tidak akan tega. Kesalahannya dulu tidak termaafkan karenanya tidak ingin menambah beban. Tapi nasib berkata lain, mungkin sudah waktunya terungkap.



Ekspresi Ardy saat menuntut pengakuan darinya melintas dalam kepala. Sangat menyedihkan....bahkan sekedar memeluk pun tidak sanggup. Karena kebodohannya anak itu harus menderita dengan semua perlakuan tidak adil. Beruntung dirinya masih diijinkan untuk tetap merawat dan membesarkan. Memperhatikan dan mengawasi dari jauh bukanlah hal mudah. Jiwanya sebagai seorang ayah berteriak.



'Maafkan ayah'



Berkata dalam hati, semua orang tidak akan paham penyesalannya yang begitu dalam. Jika waktu bisa diputar kembali, dia akan memperbaiki segalanya. Tidak ingin mengecewakan semua orang.



Dia tidak akan mencari pembenaran. Bersikap dingin bukan tanpa alasan, dia tidak ingin Ardy terus bergantung padanya. Berharap anak itu tumbuh dengan mandiri. Dia membebaskannya untuk memilih.



Agus sudah terlebih dulu tumbuh dengan segala macam aturan yang ditetapkan. Dia tahu bagaimana hidup dalam kekangan dan aturan, tidak ingin kedua putranya mengalami hal yang sama. Dia tidak bisa menarik Agus kembali tapi masih bisa melakukan untuk Ardy.



Memberi kebebasan adalah satu-satunya cara menjauhkan dari atensi kakek dan nenek. Semakin bocah itu berulah maka semakin baik. Tidak masalah jika Ardy membencinya. Dia tidak berhak mendapatkan kebaikan setelah apa yang sudah diperbuat di masa lalu.



Dibalik sikap dingin, tuan menyimpan begitu banyak kasih sayang. Didikan ketat membentuk wataknya menjadi keras. Wajah datar dan minim bicara sudah menjadi keharusan. Dia diajarkan untuk tidak mudah berekspresi, karenanya banyak yang salah paham. Sebagai pewaris tunggal dia dituntut untuk menjadi sempurna. Bahkan jika bertentangan dengan hati, maka harus merelakan.



Suara ketukan mengalihkan perhatian. Menatap pintu yang menutup, siapa gerangan yang datang? Apa begitu penting?



"Masuk!"



Tanpa diperintah dua kali, pintu membuka menampilkan sosok Agus.



Ah, ternyata dia...., membatin.



"Ayah sibuk?"



"........tidak, masuklah!"



Agus menutup pintu perlahan dan melangkah mendekat. Duduk tepat di hadapan.



"Sudah siap menjelaskannya?"



"Begitulah!"



ARDY & ALEXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang