Bab1 [Usik]

583 56 19
                                    

Bandoeng, 1929

Negeri yang katanya salah satu surga terpendam di bumi, nyatanya kini masih menjadi neraka untuk penduduk asli, yang kita sebut sebagai pribumi. Surga yang menjadi julukannya, hanya berlaku bagi penduduk asing yang dengan kepintarannya secara perlahan menguasai tanah ibu pertiwi.

Mungkin akan masih mustahil untuk mendengar seruan kebebasan dari mulut yang terbungkam ketidakberdayaan. Tapi setidaknya, di tengah terpenjaranya hak para pribumi, masih ada yang bisa diperjuangkan oleh mereka. Yaitu, agama dan harga diri.

Negeri ini sangat perlu keberanian dan tekad seseorang untuk mengarahkan masyarakat mempunyai tempat berkeluh yang abadi, yaitu kepercayaan pada keberadaan Tuhan.

Sosok berani dan penuh tekad itu telah Indurasmi tanamkan dalam dirinya sejak belia. Hingga kini, gadis pribumi yang bernama lengkap Indurasmi Hubbayun, mewujudkan tekadnya dengan mendirikan sebuah rumah pondok mengaji untuk anak-anak pribumi sekitaran rumahnya.

Harapan Indurasmi hanya satu yaitu, ingin anak-anak pribumi semakin dekat pada sang pencipta, sehingga tak ikut menjadi korban peperangan batin di tengah penjajahan. Sudah cukup banyak orang dewasa yang terpengaruh dan tunduk pada bangsa penjajah. Janganlah sampai para anak-anak yang tak berdosa ini ikut merasakan penderitaan tersebut, maka didirikanlah pondok ini untuk memberikan pembelajaran rohani bagi jiwa polos mereka.

"Rasmi, ambilkan Bapak minum!"

Seruan sang bapak yang baru kembali dari ladang tebu milik saudagar kaya, membuat Indurasmi sejenak meninggalkan para anak-anak yang masih dalam kegiatan mengaji di pondok tersebut.

Rasmi, itulah panggilan yang peruntunkan untuk Indurasmi. Gadis berwajah ayu khas pribumi itu segera menyuguhkan air bening untuk sang bapak, kala itu beliau tampak kelelahan sembari menjadikan tudung capin sebagai kipas.

"Kamu sedang mengajar ngaji anak-anak?" tanya Gharul, seorang kiayi dan ayahanda dari Indurasmi.

"Iya, Pak. Sebentar lagi selesai. Bapak istirahat saja."

Gharul mengangguk sembari bangkit dari duduknya, "Baiklah, Bapak ke—"

"Teh Rasmi! Teteh, tulungan!"

Sepuluh orang anak pribumi yang tadi berada di pondok samping rumah kini terlihat berlarian ke belakang rumah, tempat beradanya Indurasmi dan Gharul. Wajah anak-anak itu tampak ketakutan.

"Aya naon barudak?" tanya Gharul yang mewakili Indurasmi. Tampak Indurasmi tengah menenangkan mereka.

"Itu, ada ... para tentara Belanda datang ke pondok. Kami semua takut," ujar salah satu anak di sana.

Indurasmi dan Gharul saling beradu pandang. Sebuah masalah besar bila para bangsa netherland seperti mereka datang ke tempat para inlander dengan tiba-tiba.

"Kamu jagain mereka di sini. Biar Bapak yang menghampiri para serdadu itu." Gharul menatap penuh yakin pada sang putri untuk memberi amanah menjaga anak-anak di sana.

Indurasmi mengangguk. Sebenarnya ia takut bila mana para serdadu tersebut melukai Gharul nantinya. Ingin rasanya Indurasmi ikut bersama sang bapak, tapi para anak-anak ini pun menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga keamanannya.

||<<<||

Sudah hampir setengah jam Indurasmi menahan kegelisahannya, tapi sang bapak tak kunjung kembali atau sekedar memberi kabar bahwa beliau baik-baik saja. Gadis itu masih berada di belakang rumah bersama anak-anak yang tak bisa berbuat apapun di sana.

"Tino, teteh boleh minta tolong?"

Seorang anak yang lebih dewasa dari yang lainnya itu bangkit dari duduknya, "Minta tolong apa, Teh?"

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang