Bab 19 [Agama Cinta]

94 14 0
                                    

Aku tidak dimilki oleh agama manapun, karena cinta adalah agamaku. Setiap hati adalah rumah ibadahku.

-Maulana Jalaluddin Rumi-

Pikiran melayang, jiwa menjadi tentram, dan segala penyakit hati teredam. Di tempat ini, tempat yang biasa orang-orang menumpahkan keluh kesah dan senang, dan tempat seorang hamba menjadi lebih dekat dengan Tuhannya.

Mushola kecil yang hanya berdinding ayaman rotan dan beralaskan tikar pandan lebar ini menjadi tempat ternyaman untuk Elden, akhir-akhir ini. Dia sering ke sana menemui Gharul ataupun memperhatikan para warga yang sholat, dari luar.

"Sudah datang rupanya kamu." Kiai Gharul yang baru usai melaksanakan sholat zuhur lantas menghampiri Elden, yang sedang menelisik bangunan mushola.

Elden tersenyum ramah. "Saya sangat bersemangat. Karena waktu saya untuk menyakinkan diri tinggal beberapa hari lagi."

Memang sudah hampir satu bulan Elden ada di sana. Entah bagaimana keadaan di Bandoeng. Akan tetapi, Elden tidak pernah lupa untuk memberi kabar pada Ambar, hanya sahabatnya itu yang ia percaya.

"Apa yang ingin kamu ketahui lagi?"

"Saya menyimpan pertanyaan ini ketika awal datang," ujar Elden. Kemudian ia menatap bagian atas pintu mushola, di sana ada tulisan arab yang terukir di papan kayunya. "Apa arti tulisan itu?"

Gharul ikut mengarahkan pandangannya pada atas pintu mushola, lalu tersenyum. "Itu kalimat tauhid."

"Bisa dijelaskan? Saya sangat tertarik dengan makna yang terkandung di dalamnya."

"Kalimat tauhid atau syahadat La Ilaha Illallah yang artinya tiada Tuhan selain Allah merupakan sumber penciptaan dan perintah, sumber pahala dan hukuman. Kalimat tauhid adalah kebenaran yang menjadi landasan agama dan kiblat. Syarat seseorang untuk menjadi muslim seutuhnya, selain mengimani Allah dalam hatinya, ia pun mesti mengucapkan kedua kalimat syahadat." Tanpa kesusahan Gharul menjelaskan dengan cara yang dipahami Elden.

"Pernah disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari Muslim, bahwa; islam dibangun di atas lima perkara: (1) Syahadat bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; puasa di bulan Ramadhan; dan (5) berhaji ke Baitullah." Gharul menjeda dengan mengembuskan nafas pelan. "Itulah yang disebut rukun Islam. Anggap saja begini, seperti halnya membangun rumah. Keyakinan hati adalah niatnya, kalimat tauhid adalah pondasi dan sholat adalah tiang-tiangnya."

Elden terperangah sesaat dan mengangguk pelan. Mengenal Islam seperti ada kebahagian sendiri dalam dirinya. "Saya tidak menyangka ada makna mendalam dari satu kalimat itu."

"Islam itu adalah agama cinta, mudah dipahami oleh orang yang berhati murni ingin mencintai," ucap Gharul.

Elden tersenyum seraya menatap kalimat tauhid yang terukir indah di atas sana.

"Nak, Elden."

"Iya, Pak?" Pria itu kembali menoleh pada Gharul.

"Bapak mau tanya. Dari pada nanti bapak salah paham, lebih baik bapak tanyakan langsung sekarang."

Elden menaikan alisnya, "Tanya apa, Pak? Silahkan."

"Nak Elden ini beragama apa? Sebab selama ini bapak tidak mengenal Elden begitu baik. Maaf jika pertanyaan bapak tidak mengenakan hati."

Elden tersenyum tipis lalu menggeleng. "Tidak masalah, Pak."

"Saya seorang ateis. Sejak dilahirkan sampai sekarang, saya tidak memiliki jati diri yang lengkap. Saya hanya mengenal hal duniawi saja," ungkap Elden, jujur.

Gharul menepuk bahu Elden dengan pelan. "Kamu sekarang sedang berusaha untuk memiliki jati diri yang lengkap."

"Semua berkat Indurasmi, Pak. Menyadarkan saya tentang jati diri yang perlahan lenyap oleh permainan dunia."

||<<<||

Malam ini, setelah waktu salat isya selesai. Rumah Asri disambangi beberapa sesepuh yang ada di kampung itu. Mereka duduk berunding di kursi yang telah disediakan, tentu Gharul pun ikut duduk di sana, begitu juga dengan Elden.

Indurasmi bersama sang bibi–Asri–duduk di kamar yang berdekatan dengan ruang tamu. Di sana mereka bisa mendengar apa yang dibicarakan para pria.

Perasaan Indurasmi sekarang sangat senang dan menyambut baik keputusan Elden malam itu. Meski ada sedikit tersirat rasa khawatir tentang keadaan yang kapan saja bisa menyerang.

"Nak, Elden. Para sesepuh ini akan menjadi saksi," ujar Gharul.

Elden mengangguk. "Saya sangat senang dengan kedatangan bapak-bapak sekalian."

Suasana seketika menjadi sunyi. Hingga Gharul kembali memecahkannya, ia bertanya pada Elden dengan penuh serius. "Nak, sekali lagi bapak bertanya, ya. Kamu sudah yakin ingin menjadi seorang muslim dan berpegang teguh pada agama Islam?"

Tampak Elden menunduk, mengembuskan nafas pelan. Di hatinya sudah tidak ada keraguan, Islam adalah agama cinta yang telah membuat seorang Elden merasakan kedamaian dalam cinta itu. Ya, malam ini Elden akan mengikrarkan kedua kalimat syahadat sebagai syaratnya.

"Saya yakin," ucap Elden.

"Alhamdulillah. Jika memang sudah yakin. Maka akan bapak langsungkan saja, pengucapan ikrar dua kalimat syahadatnya." Elden beserta para sesepuh yang ada di sana mengangguk setuju.

Gharul menegakan tubuhnya. "Ikuti ucapan bapak, ya."

Elden mengangguk sekali lagi, ia pun ikut menegakan tubuh.

"Bismillahirrahmanirrahim." Gharul mulai menuntun Elden.

"Bismillahirrahmanirrahim," sahut Elden, pria itu dengan sebisanya melafalkan.

"Asyhadu anlaa ilaaha illaallah."

Elden mengembuskan nafas pelan. "Asyhadu anlaa ilaaha illaallah."

"Wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah."

"Wa asyahdu anna muhammadan rasuulullah." Embun di mata Elden mulai terlihat.

"Saya bersaksi dengan sebenar-benarnya, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Satu tarikan nafas terembus.

"Saya bersaksi dengan sebenar-benarnya, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah," tegas Elden, dengan seketika embun di matanya berubah menjadi tetesan yang membasahi pipi.

"Alhamdulillah. Selamat, Nak. Kamu menjadi seorang muslim." Gharul ikut terharu, dia memeluk Elden seperti anaknya sendiri. Elden tak bisa melawan gengsinya untuk tidak menangis, ia sangat senang dan begitu lega.

Para sesepuh di sana ikut memberi selamat dan sedikit memberikan nasihat-nasihat penting yang nanti akan menjadi bekal untuk Elden.

Sementara Indurasmi yang ada di dalam kamar pun ikut menangis terharu. Tak henti-hentinya ia mengucapkan syukur.

"Kamu hebat, Rasmi. Bisa membawa seorang manusia pada jalan Allah," ujar Asri, sang bibi. Indurasmi membalasnya dengan senyuman. "Bagaimana kamu bisa mengenal dia? Pria baik dan tulus itu."

Indurasmi tak bisa menahan senyumannya kini. "Keadaan yang membuatku bertemu dengannya, Bi."

"Bagaimana jika pria itu mencintaimu, Rasmi?"

Pertanyaan Asri membuat Indurasmi tertawa ringan. "Itu tidak mungkin."

Asri menggeleng seraya tersenyum tipis. "Tidak ada yang tahu siratan takdir. Kalian dipertemukan oleh keadaan, lalu keadaan menguji kalian, dan bisa jadi keadaan menyatukan kalian lebih dari sebuah pertemanan."

||<<<||

Alhamdulillah. Menuju ending ya teman-teman.

27, Agustus 2021
Keyakinan.

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang