Bab 11 [Hubungan]

107 13 0
                                    

"Bila mana Bapak dan Ibu tidak percaya dengan kami, maka silahkan Bapak atau Ibu menemani anak-anak kalian di pondok untuk memastikan keadaannya."

Ucapan terakhir Elden itu ternyata membawa sebuah keajaiban. Pasalnya, ketika Indurasmi sudah benar-benar pasrah atas penolakan masyarakat, tiba-tiba saja sore itu ada tiga anak datang ke pondok untuk mengaji tentu ditemani oleh ibunya.

Indurasmi melempar senyuman puas pada kedua temannya, siapa lagi kalau bukan Elden dan Ambar. Meski hanya tiga orang anak, Indurasmi begitu sangat antusias menyambut mereka.

Sementara itu para ibu dari anak tersebut menunggu di luar pondok, seolah bersiap bila mana para serdadu datang ke sana. Indurasmi paham kekehawatiran itu.

"Aku sangat senang untuk hari ini, Elden," ujar Ambar. Gadis itu duduk di bangku dekat pondok, ia menyaksikan kegiatan mengajar ngaji Indurasmi.

"Saya yakin setelah ini anak-anak akan berdatangan untuk mengaji. Karena, kadang manusia itu butuh jaminan dan bukti dalam memilih sesuatu."

Ambar melirik Elden. "Idemu itu sangat jenius Elden, lagi-lagi kamu berkorban untuk Indurasmi."

Elden tersenyum kikuk. Ia memejamkan mata ketika telinganya mendengar syahdu lantunan ayat suci al-quran yang dibacakan Indurasmi. Elden tak mengerti maksud dari ayat tersebut, tapi ini sangat menenangkan pikirannya.

"Sesuatu yang dibacakan Indurasmi sangat indah, apa kamu menyadari itu juga, Ambar?" tanya Elden merubah topik pembicaraan.

Ambar ikut memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan tersebut. "Iya. Sejak berteman dengan Rasmi, aku selalu suka mendengarkan dia membaca kitabnya."

"Yang dibacakan Rasmi sekarang kalau tidak salah dinamakan surat Ad-Duha," lanjut Ambar.

Elden seketika menoleh tak percaya. "Kenapa kamu bisa tahu?"

Ambar tertawa. "Apa salahnya jika aku tahu sedikit tentang islam?"

"Ya ... Tidak ada yang salah." Elden kembali menatap ke arah Indurasmi. "Saya ingin mulai mengenal, entah itu tuhannya atau hambanya."

Kini Ambar menatap curiga setelah mendengar penuturan tersebut. "Kamu serius, El?"

"Kenapa tidak?"

"Kamu tahu 'kan, kenyataan yang ada sekarang akan sulit merestui keinginanmu."

Elden menatap Ambar kembali. "Jika saya telah berkorban begitu besar pada seseorang, maka saya tidak akan pernah main-main dengan orang itu. Bahkan sekalipun yang bermain-main adalah takdir, saya tidak akan pernah membiarkannya."

Ambar tersenyum begitu bangga, ia menepuk pundak Elden pelan. "Aku percaya padamu. Tapi jangan terlalu tiba-tiba, buatlah sebuah perjalanan indah bersama dia dalam mencapai tujuanmu."

"I know." Elden tersenyum pula. "Apakah kamu bisa berjanji, Ambar?"

"Janji untuk apa?"

"Jangan beritahukan dia tentang pengorbanan besar tersebut dan tentang obrolan kita hari ini, bisa?"

Gadis berambut pirang itu mengedipkan sebelah matanya, lalu mengacungkan kedua jempol. "Oké, vriend!"

||<<<||

Hari-hari berikutnya anak-anak yang datang mengaji ke pondok masih bisa dihitung dengan jari. Namun, tak masalah karena Indurasmi telah berusaha sisanya tinggal Allah saja yang mengkhendaki.

Seperti biasa, sebelum anak-anak datang ke pondok, Indurasmi akan mengantarkan makanan terlebih dahulu ke ladang untuk sang bapak.

Baru saja kakinya melangkah keluar rumah, Indurasmi sudah dihadangkan seseorang yang beberapa hari terakhir ini tak pernah absen datang ke pondok. Dia Elden, laki-laki yang telah menjadi temannya.

"Hei, selamat siang," sapanya. Elden tak memakai seragam tentaranya lagi.

"Hei. Awal sekali datangnya. Apa tidak bertugas?" tanya Indurasmi.

Elden menggeleng sebagai jawaban. Lalu ia bertanya setelah melihat sebuah rantang yang ada di tangan gadis di hadapannya. "Kamu mau ke mana?"

"Ladang. Mengantar makan siang buat Bapak."

"Saya ikut, ya. Sekalian promosi kepada masyarakat lagi di jalan nanti."

Indurasmi tersenyum dengan senang. "Boleh saja, mari."

Mereka berdua berjalan sejajar. Siang ini matahari begitu terik, tapi Indurasmi tak merasa panas karena ada bayangan Elden yang melindunginya. Ya, tubuh Elden begitu tinggi. Tapi Indurasmi kasihan juga pada laki-laki itu.

"Kamu tidak biasa, ya, jalan kaki seperti ini?" tanya Indurasmi.

"Kata siapa? Saya sering berjalan kaki di sekitaran kebun teh milik keluarga untuk memantau para pekerja."

Indurasmi mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Apa keluargamu tahu tentang pertemanan kita ini? Karena, tidak semua keluarga netherland mau berhubungan dengan para inlander."

Elden menoleh dan tampak berpikir dengan bergumam kecil. "Jika boleh jujur, keluarga saya belum tahu tentang hal ini. Tapi tidak masalah, bukan?"

"Masalah atau bukan. Tidak seharusnya kita menyembunyikan apapun pada keluarga."

"Tapi Rasmi, saya takut bila keluarga saya tahu pertemanan kita mereka akan menyakiti kamu dan keluargamu." ungkap Elden sembari menghentikan langkah. Rasmi pun ikut berhenti.

"Itu sudah menjadi resiko," ucap Indurasmi, menatap Elden dengan menyipitkan mata karena sinar mentari yang menyorot.

Elden mengembuskan nafas pelan, kemudian melanjutkan langkahnya. Begitupun Indurasmi. "Saya tidak ingin mengambil resiko itu sebelum ada persiapan."

Dahi gadis di sampingnya mengerut. "Maksudnya apa?"

"Tidak apa-apa. Lupakan saja, kita sudah sampai." Elden menghentikan obrolan yang rumit tadi.

Indurasmi mengangguk kecil dengan tersisa rasa bingung yang belum terjawab. Ia berjalan menghampiri sang bapak, sementara Elden menunggu di bawah pohon bambu ini.

||<<<||

"Welke informatie is dit? Maak je een grapje?" gelakar Dayana membuat rumah menjadi hening, bahkan para pembantu rumah tangga di sana ikut terdiam.

"Ik meen het, mam. En ik realiseerde me." Elden menanggapinya dengan santai.

Dayana menggeleng kuat. "Tidak-tidak! Sadarlah Elden, kau menyia-nyiakan perjuanganmu selama ini!"

"Please, Mam. Ambil sisi baiknya saja, mungkin dengan cara ini aku akan lebih mandiri."

"Aku tidak tahu bagaiman jadinya bila anggota keluarga yang lain mendengar hal ini. Aku sangat malu." Dayana menghempaskan lembaran kertas yang terdapat cap sebuah lembaga, lalu melenggang pergi begitu saja.

Elden menatap sang ibu sebentar, lalu memungut lembaran yang tercecer di lantai. "Kau tidak bisa marah dengan begitu lama, Bu."

||<<<||

KAMUS MINI:

1. Oké, vriend! : Oke, teman!

2. Welke informatie is dit? Maak je een grapje? : Informasi apa ini? Apakah kamu bercanda?

3. Ik meen het, mam. En ik realiseerde me : Aku serius, Bu. Dan aku menyadari

Penulis said: ingin segera memasuki konflik utama😝

18, Juli 2021

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang