Bab 2 [Penggoyah]

237 27 1
                                    

Senja di ufuk barat sudah terlihat mewarnai, pertanda bahwa sang waktu masih terus bekerja tanpa henti. Biasanya pada waktu seperti ini lah ayat-ayat suci al-quran berkumandang di sebuah pondok kecil. Namun sekarang, pondok itu menjadi sunyi.

Indurasmi yang biasanya menyambut anak-anak sekitaran rumahnya untuk mengaji dan mengajar mereka, kini hanya terduduk tanpa tujuan. Dia terus bertanya-tanya dalam hati, tentang kenapa anak-anak tersebut tidak datang mengaji.

"Darman, tunggu!" Indurasmi bangkit dan berlari ke gerbang rumahnya ketika seorang anak yang biasa mengaji di pondok melewatinya.

"Ada apa, Teteh?" tanya budak kecil tersebut.

"Kamu kenapa tidak mengaji? Dan yang lain kenapa tidak ada yang datang?"

Seketika ada raut ketakutan dari Darman, anak itu menjawabnya dengan berbisik. "Orang berkulit putih itu mengancam kami untuk tidak datang mengaji ke sini. Jadi, orang tua kami pun melarang juga."

Indurasmi terdiam. Ia sekarang paham mengapa pondok menjadi sepi. "Baiklah, terima kasih, ya."

Anak bernama Darman itu kembali melanjutkan perjalanannya. Sementara itu Indurasmi melangkah ke arah pondok kembali dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Para serdadu kejam itu kini semakin menekan Indurasmi secara tidak langsung, semua demi mendapatkan tanah yang berdirinya sebuah pondok kecil.

Indurasmi duduk kembali sembari mengembuskan nafas lirih. Kadang sulit untuk melawan kenyataan. Selama satu bulan menjalani kegiatan mengaji di pondok ini, Indurasmi tak mendapatkan gangguan apapun. Tapi kini, bangsa netherland telah mengendus tentang kedamaian Indurasmi ini. Mereka mengacaukan.

"Kapan penderitaan negeri ini usai?" Indurasmi terus bertanya-tanya, entah pada siapa dan entah siapa yang akan menjawabnya. Bahkan sang takdir pun masih bungkam.

Jika boleh jujur, Indurasmi pernah ditawarkan untuk tinggal di Belanda oleh salah satu sahabat karibnya yang asli negeri sana. Tapi, Indurasmi hanya ke negeri tersebut untuk menimba ilmu, meski sebentar, tapi Indurasmi tetap tak akan melupakan tanah kelahirannya. Ia bertekad untuk menjadi saksi atau pun pelopor dari bangkitnya Indonesia.

Sekarang, tekad itu masih belum sempurna, masih lemah untuk melawan keadaan yang semakin runyam.

||<<<||

Kegiatan menampi berasnya seketika terhenti, di kala sebuah suara gedoran pintu menganggunya. Indurasmi segera berlari kecil masuk ke dalam rumah, dan mengintip dengan menyingkap sedikit gorden jendela.

Nafasnya memburu, tangannya yang gemetar dengan cepat menutup kembali gorden yang terbuat dari kain lusuh tersebut. Indurasmi panik, sebab yang datang ke rumahnya sekarang adalah para serdadu yang kemarin singgah untuk membeli lokasi tanah di pondok.

Sebenarnya biasa saja Indurasmi tenang, tapi karena sekarang di rumah tak ada Gharul–sang bapak–Indurasmi menjadi panik. Ia takut, para serdadu tersebut berbuat macam-macam.

Tok! Tok!

"Buka lah!"

Teriakan mereka membuat Indurasmi dengan cepat membuka pintu. Gadis itu berusaha memasang wajah tenang.

"Ada apa gerangan Tuan-Tuan datang ke mari?" tanyanya.

"Bagaimana keputusanmu, Nona? Pondok itu sekarang sepi. Dari pada dibiarkan kosong, lebih baik kami membeli tanahnya." Salah satu serdadu mengungkap tujuannya datang dengan to the poin.

Indurasmi menatap bergantian ke dua orang netherland di hadapannya. "Saya tahu, kalian yang mengancam anak-anak."

"Ya! Memang! Saya yang mengancam mereka."

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang