Rumah besar yang ditinggalinya kini seperti tidak ada kehidupan, sungguh sunyi tanpa obrolan hangat antara anak dan ibu. Mereka terpisahkan oleh keegoisan masing-masing.
Dayana yang sering kali menyapa setiap pagi, sekarang hanya berucap mengenai pekerjaan saja. Elden seperti bukan memiliki seorang ibu, tapi seorang asisten bisnis.
Pria itu sangat ingin membicarakan mengenai hal yang membuat ibunya menjadi seperti itu. Tapi, Dayana selalu saja menghindar atau bahkam melempar obrolan lain mengenai bisnis saja.
"Bu, aku ingin—"
"Pergilah ke Batavia sore ini, untuk melihat bibit-bibit yang baru datang dari dermaga." Lagi dan lagi, Dayana seperti itu.
"Mengapa mendadak? Akan membutuhkan waktu sampai esok hari untuk aku pulang kembali," protes Elden. Karena hari ini ia ada janji dengan Indurasmi, untuk menyelesaikan kerenggangan antara mereka karena kabar miring yang berembus.
Dayana menyipitkan mata. "Kenapa tidak? Pergilah, ini perintah."
"Berpikir dewasalah. Jangan sampai karena seorang gadis membuat bisnismu hancur," cetus Dayana. Wanita itu beranjak dari meja makan.
Elden menyenderkan tubuhnya pada tepian kursi, dia memahami satu hal. Kalau ibunya memang membuat dia sibuk supaya menghentikan keputusan Elden.
||<<<||
Tanpa perlawanan, sore itu Elden pun berangkat ke Batavia–kota yang menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan pada saat itu–menggunakan mobil klasiknya.
Namun, sebelum benar-benar meninggalkan Bandoeng, Elden terlebih dahulu menitipkan sebuah surat pada Ambar yang rumahnya tak jauh dari rumah Elden. Surat itu ia titipkan untuk Indurasmi.
Dari kejauhan, Ambar menatap sejenak surat usang itu yang terukir nama Indurasmi. Kemudian, ia melangkah mendekati Indurasmi yang memang tengah menunggu kedatangan Elden. Mereka telah berjanji bertemu di sungai.
"Rasmi. Ini dari Elden." Ambar menyerahkan surat tersebut.
Indurasmi menatap sendu suratnya, dan menerima. "Sudah kesekian kali Elden menitipkam surat padamu. Apa dia sangat sibuk, Ambar?"
"Sepertinya begitu. Dia selalu pergi dengan mobilnya." kata Ambar sembari ikut duduk di batuan besar sungai.
Indurasmi mengangguk kecil seraya membuka surat tersebut. 'Maaf, Indurasmi', sekali lagi suratnya hanya berisi kalimat singkat yang sama.
"Kali ini, maaf untuk apa?" tanya Indurasmi.
Ambar mengedikan bahu. "Mungkin masih sama. Elden memang seperti itu, tidak ingin melukai siapapun."
Indurasmi tersenyum tipis. "Apakah kamu sudah menyampaikan maafku juga padanya, Ambar?"
"Sudah." Ambar kemudian berdecak kecil. "Kadang aku bingung dengan cara kalian menyelesaikan masalah ini. Selalu aku yang jadi perantaranya."
Indurasmi terkekeh geli, lalu menepuk bahu sahabatnya itu dengan pelan. "Maaf, ya."
"Ini untuk terakhir kalinya aku meminta bantuanmu, Ambar." Indurasmi mengeluarkan sebuah buku yang berisikan arti dari setiap ayat di al-quran, buku itu ditulis langsung oleh Indurasmi. "Berikan ini pada, Elden. Dia pasti suka."
Ambar menerimanya dengan penuh pertimbangan. "Kamu yakin Elden akan sempat membacanya? Dia 'kan sibuk banget akhir-akhir ini."
"Pasti ada waktunya untuk dia membaca buku yang aku berikan ini," kata Indurasmi.
Gadis berambut pirang itu tersenyum kaku sembari mengangguk kecil.
||<<<||
KAMU SEDANG MEMBACA
Indurasmi [Proses Terbit]
RomanceAku mempunyai harapan dan sebuah mimpi. Meskipun aku masih berada dalam lorong kenyataan yang begitu gelap dan sunyi. Kata orang, sebuah harapan akan menjadi cahaya untuk menunjukan kita jalan menggapainya. Cahaya itu bukan berada pada penglihatan...