Bab 6 [Pangeran Netherland]

150 19 0
                                    

"Het is een eenvoudige taak, waarom kun je het niet doen? Waardeloos!"

Nada kekesalan menggema di ruangan yang kini telah dihadiri beberapa tentara inti di Bandoeng. Para pria berpangkat prajurit itu terdiam setelah sang komandan merubah suasana ruangan menjadi mencekam.

"Kau! Akan saya pulangkan ke Amsterdam," lanjut sang komandan.

Sontak saja keputusan itu membuat orang yang menjadi alasan kemarahan sang komandan terlonjak, lalu melakukan protes. "Tapi-"

"Ik wil je onzin niet horen," serkah pria berkepala plontos tersebut.

"Commandant, apa saya bisa memberikan solusi lain selain memulangkan Andrew ke Amsterdam?" Kini, semua mata memandang ke arah pria yang dikenal bersahabat dengan sosok tersangka dalam kemarahan ini.

Max-komandan dari para prajurit itu-mengangkat sebelah alisnya. "Jika pendapatmu tidak meyakinkan saya, maka kamu akan ikut bersama Andrew pulang."

Elden mengangguk sebagai tanda setuju. Di satu sisi Andrew sangat berharap besar pada sosok sang sahabat ini, karena ia tidak mau jika pulang tanpa pencapaian di negeri jajahan.

"Jika kita tidak berhasil mendapatkan tanah pondok tersebut, kenapa kita tidak mendapatkan tanah di sekitaran lokasi pondok saja? Tidak akan ada beda jauhnya dari tujuan kita membuat sebuah markas di sana," jelas Elden. Pria itu menjeda sejenak, kemudian bersuara kembali. "Lagi pun saya sudah cek tanah di sekitaran pondok tidaklah bertuan, alias belum ada yang mengakui."

Tampak Max berpikir, raut wajahnya kurang bisa ditebak, sampai-sampai membuat para prajurit yang ada di sana dibuat penasaran. Jika saja Elden dan Andrew pulang, maka pasukan inti di Bandoeng akan mengurang.

Beberapa detik ruangan menjadi hening, kini terdengar suara tepuk tangan dari sang komandan. "Wah, wah! Good job, Elden Anderson. Pendapatmu sangat membantu sahabatmu, Andrew."

Semua orang bernafas lega, mungkin yang paling lega adalah Andrew karena ia tidak akan dipulangkan. Sementara Elden sendiri tersenyum bangga, karena akhirnya ia bisa membuat keputusan tanpa merugikan siapapun, entah itu Andrew ataupun Indurasmi.

"Kau, laksanakanlah tugas baru itu. Jika ada kegagalan lagi, saya tidak akan mengampuni." kata Max sembari melayangkan tatapan tajam pada Andrew.

||<<<||

Anderson's Family, adalah salah satu dari beberapa keluarga terpandang serta kaya raya di kota Bandoeng. Para keturunannya memiliki peranan penting pada negeri jajahan bangsanya. Entah itu pengusaha hasil pertanian teh atau kapas, mereka juga mengirim putra sang penerima warisan menjadi seorang prajurit. Agar kelak, mampu mengukir nama Anderson dijajaran orang berpengaruh.

Sang putra yang menjadi harapan mereka itu selalu dilayani dan disambut baik ketika kembali pulang ke istana megah Anderson, setelah ia melakukan tugas negaranya. Seperti saat ini, para jongos menanti di gerbang dan para babu sibuk mempersiapkan hidangan.

Ketika mobil yang membawa sang tuan muda sampai di depan gerbang, para jongos membuka pintu mobil dengan sigap dan membawa barang-barang milik tuan muda yang dibawa pada saat tinggal beberapa hari di camp penugasan.

"Elden, pangeranku!"

Teriakan yang tak asing lagi di telinganya, membuat Elden berjalan cepat menghampiri wanita paruh baya yang merentangkan tangannya di depan pintu utama rumah. Wanita itu adalah ibunya, nyonya Dayana Anderson.

"Ibu, apa kabar?" Sesampainya di hadapan Dayana, Elden lantas memeluk sang ibu tersebut.

"Seperti yang kamu lihat sekarang," jawab Dayana. Wanita itu melepaskan pelukan, dan menarik tangan sang putra ke dalam rumah. "Seluruh keluarga tengah berkumpul, ayo gabung."

Harusnya ini adalah hal membuat Elden bahagia, karena semua keluarga ada ketika ia pulang ke rumah. Tapi, hati Elden terlalu gampang menebak apa yang akan mereka bahas dan pertanyakan ketika ia ada di sana. Pembahasan itu tidak akan pernah jauh dari penghargaan dan kekayaan.

Kadang Elden mempertanyakan dalam hatinya, bisakah sekali saja mereka membahas tentang ketenangan hidup selain materi?

||<<<||

"Baru saja kemarin pulang dari tugas negara, sekarang ingin pergi lagi?"

Sebuah pertanyaan menjadi sapaan di pagi hari ini. Elden yang sedang menuruni anak tangga menyahut begitu malas. "Bukannya aku harus mengurus perkebunan juga?"

Mendengar hal itu Dayana tersenyum bangga serta puas. "Ah, iya. Kamu 'kan anak rajinnya Ibu."

"Bukan rajin, tapi terpaksa." cetus Elden seraya berlalu keluar rumah tanpa menyentuh sarapan. Semenjak semalam moodnya sudah hancur karena obrolan keluarga Anderson, seolah dalam obrolan itu mereka semua menuntut Elden seperti halnya robot yang menghasilkan kekayaan.

Elden kira, ia pulang akan mendapatkan suasana baru dan diberi waktu sekejap saja untuk menikmati hidup. Karena sesungguhnya, hidup Elden sekarang seperti terpenjara dan terperintah.

Kini sebelum matahari berada pada puncaknya, Elden sudah meninggalkan rumah. Jika bukan karena sang ayah yang sedang sakit dan harus duduk dikursi roda, mungkin Elden tidak akan mau mengurusi perkebunan teh seorang diri.

Tanah perkebunan teh milik keluarga Anderson berjarak beberapa kilometer dari rumah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, banyak hamparan perkebunan lainnya yang tentu milik para pengusaha asal Belanda. Mereka memanfaatkan kesuburan tanah di negeri ini, lalu memperkerjakan kaum pribumi yang seharusnya menjadi pemilik penuh atas negeri nan kaya ini.

"Tuan Elden," panggil salah satu pekerja, ketika Elden sedang mengecek langsung hasil petikan hari ini.

"Iya?" Elden senantiasa berkata ramah, ia berbeda dari bangsanya yang lain. Oleh sebab itu, Elden sangat disegani para pekerja di sana.

"Sendari pagi buta gadis yang duduk di bawah pohon itu tidak sama sekali beranjak dari duduknya. Entah dia sedang apa di sana. Saya curiga, Tuan."

Elden mengarahkan pandangannya ke objek yang dimaksud. Alisnya bertaut. "Dia siapa?"

"Saya tidak mengenalnya, Tuan."

"Baiklah, biar saya yang tangani." Elden melangkah mendekat ke arah gadis tidak terlihat wajahnya dari samping karena terhalangi rambut panjangnya.

"Permisi." Melalui nada sopan pria itu menarik perhatian sang gadis, hingga kini alisnya bertaut ketika melihat siapa gadis yang sedang duduk di bawah pohon tersebut. Mulut Elden sedikit terbuka. "Ambar?"

Gadis yang ternyata bernama Ambar tersebut sama kagetnya ketika melihat Elden di sana. Lalu ia tertawa ringan. "Hei, aku sudah lama tidak bertemu denganmu, Elden."

"Kamu tahu 'kan kita sama-sama mempunyai kesibukan." Elden menanggapi Ambar dengan senyuman lebar, ia sangat senang bertemy dengan sahabatnya ini. "Oh, iya. Kamu sedang apa di sini?"

"Menunggu teman. Kemarin aku menunggu dia di sini, tapi tidak datang. Biasanya akhir pekan kami selalu bertemu di sini," jelas Ambar, wajahnya berubah menjadi suram. "Sekarang pun begitu, dia tidak datang."

Elden tersenyum menggoda. "Kamu mempunyai kekasih, ya?"

Ambar menggeleng dengan cepat. "Tidak, Elden. Temanku ini seorang gadis pribumi."

Mendengar kata yang tak asing, membuat Elden bertanya lagi. "Siapa temanmu itu?"

Ambar tidak langsung menjawab, ia menatap hamparan tanaman teh hijau yang amat menyegarkan mata, lalu kembali menatap Elden. "Indurasmi."

||<<<||

Kamus mini

1. Het is een eenvoudige taak, waarom kun je het niet doen? Waardeloos! : Ini tugas yang sederhana, tapi kau tidak bisa melaksanakannya? Tidak berguna!

2. Ik wil je onzin niet horen : Saya tidak mau mendengar omong kosongmu

18, Juni 2021

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang