Bab 9 [Kematian]

98 13 0
                                    

Hampir satu malam Indurasmi kehilangan kesadaran. Sampai akhirnya suara lantunan ayat suci al-quran membuat gadis malang itu membuka kelopak matanya dengan begitu berat. Seluruh badannya sangat terasa nyeri, dan kepala yang berdenyut begitu hebat.

Mata Indurasmi menelisik area tempatnya berada. Ia sedikit mengingat kejadian sebelum tak sadarkan diri, yaitu tergeletak di depan pelantaran mushola kecil berbentuk rumah panggung.

"Alhamdulillah, kamu sudah bangun."

Indurasmi terlonjak kaget, tapi pria yang ada di hadapannya malah tertawa. "Tidak usah takut. Saya yang menolong kamu tadi malam, dan saya Lukman pengurus mushola kecil ini."

Indurasmi bernafas lega, ia tidak boleh berprasangka buruk. "Terima kasih atas pertolonganmu." Gadis itu kemudian bangkit dari tidurnya dan menyender pada tiang.

"Kamu ini kenapa bisa keluar dari hutan? Ada yang mengejarmu?"

"Iya." Indurasmi menjawab lemah.

Lukman mengembuskan nafas dengan kasar. "Memang, ya. Mereka terlalu rakus dalam segala hal."

Indurasmi paham apa maksud dari perkataan tersebut. Ia sepakat dengan Lukman.

"Aku harus pergi," ucap Indurasmi. Gadis itu baru menyadari kalau tujuannya berlari melewati hutan iti adalah untuk kembali ke rumah.

Sangat tergesa-gesa Indurasmi menuruni bangunan panggung tersebut, sampai di saat kakinya menyentuh tanah, ia meringis kesakitan.

"Stt ... Sakit sekali." Indurasmi memegangi tiang untuk menjaga keseimbangan.

"Kamu belum bisa berjalan dulu. Kakimu sangat terluka parah karena duri, tapi sepertinya luka di kaki kananmu mulai mengering." Pria itu berjongkok untuk mengeceknya dengan membuka balutan kain di kaki kanan Indurasmi.

"Tapi saya harus pulang," lirih Indurasmi.

Lukman berdiri kembali. "Baiklah. Kamu bisa memakai tongkot untuk berjalan. Sebentar, saya ambilkan."

Indurasmi menunggu kadatangan Lukman beberapa saat. Hingga pria itu benar-benar membawakan sebuah tongkat untuk membantunya berjalan.

"Pakailah."

Indurasmi menerimanya. "Terima kasih. Kamu begitu baik, Lukman. Semoga gusti Allah membalas kebaikanmu."

"Aamiin."

||<<<||

"Bapak! Ini Rasmi, Pak. Rasmi sudah pulang!" Sudah hampir satu menit berlalu tapi tidak ada sahutan dari dalam rumah. Indurasmi berjalan susah payah ke belakang rumah dan pondok, tapi tetap tidak menemukan sosok pria yang katanya sedang dalam keadaan sakit.

Ia pun berjalan kembali ke depan halaman. Tepat saat itu seseorang memanggil namanya dan menghampiri. "Rasmi kamu ke mana saja?"

Dia adalah salah satu warga di wilayah tempat tinggalnya. Indurasmi menanggapinya dengan senyuman. "Ibu tahu tidak, bapak saya ada di mana? Apa ada di kebun?"

"Satu jam lalu bapakmu pergi ke rumah Mbok Iyum."

Indurasmi mengerutkan dahi. "Mbok Iyum?"

"Iya, Rasmi. Apa kamu tidak tahu? Kalau Mbok Iyum tadi malam meninggal dunia."

Sebuah kabar buruk kembali ia dengar. Indurasmi terdiam dengan perasaan yang sangat tidak enak. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, tentang kenapa takdir merencanakan hal menyedihkan terus menerus pada Indurasmi?

Setelah mengetahu kabar tersebut, Indurasmi lantas berjalan dengan cepat meski harus dibantu tongkat. Sepanjang jalan matanya terus menitihkan air mata.

Sampai pada akhirnya ia berada di depan gubuh kecil penuh kenangan itu, tongkat yang membantunya berjalan tadi tanpa sadar terlepas. Indurasmi berlari penuh kesakitan ke dalam gubuk. Orang-orang yang sedang bertakziah memperhatikan Indurasmi dengan iba, mereka tahu kedekatan Indurasmi dan mbok Iyum.

"Assalamulaikum. Mbok, Rasmi datang." lirih Indurasmi sembari terduduk lemas di depan jasad yang terbujur kaku itu, dan di sampingnya ada sang bapak yang kaget dengan kehadiran Indurasmi.

"Mbok, lihatlah keberanian Rasmi sekarang." Ia berucap dengan isakan tangis yang begitu menyesakan bila didengar.

Gharul yang tak kuasa melihatnya, lantas memeluk sang putri dari samping dan membisikan sesuatu. "Istigfar, geulis."

"Kenapa Rasmi harus kehilangan sosok Ibu lagi, Pak." Indurasmi begitu tak terkendali. Ia amat syok.

||<<<||

"Sudah, tidak baik menangisi orang yang sudah meninggal terlalu lama. Biarkan mereka pergi dengan damai." Gharul masih terus menenangkan Indurasmi. Beliau memberikan segelas air.

Indurasmi menenggak air tersebut. "Iya, Pak. Setidaknya Mbok Iyum bisa bertemu dengan suami serta anaknya di keabadian."

Gharul mengangguk kecil. Ia kemudian mengubah topik pembicaraan agar Indurasmi tidak semakin larut dalam kesedihan tersebut.

"Coba cerita sama Bapak, kenapa kamu bisa bebas dari penampungan itu?"

Gadis itu tersenyum kecil sembari memainkan jarinya di pinggiran gelas. "Panjang ceritanya, Pak. Intinya, ada orang baik yang menolong Indurasmi."

"Alhamdulillah. Gusti Allah gak akan pernah diam melihat hambanya dalam kesulitan."

Indurasmi menatap Gahrul. "Kata Ambar, Bapak sakit. Kenapa bisa kambuh lagi?"

Gharul tersenyum di balik wajahnya yang keriput. "Ah, hal biasa bila penyakit bapak ini kambuh."

"Tapi, Rasmi khawatir, Pak. Bapak tidak usah banyak pikiran lagi, ya. Rasmi sudah berada di sini."

"Iya, Nak. Hati Bapak sangat tenang," ucap Gharul.

"Pak, kita sepertinya harus pindah dari rumah kita untuk sementara waktu." Indurasmi berucap dan setelah itu menatap lurus.

Gahrul paham. Pria itu mengembuskan nafas. "Baiklah. Kita sementara tinggal di gubuk milik Mbok Iyum saja. Karena pasti para serdadu itu tidak akan membiarkan hidupmu aman."

"Iya, Pak. Hanya beberapa saat saja. Terkadang kita harus mundur untuk melangkah lebih jauh."

||<<<||

06, Juli 2021.

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang