Bab 3 [Berulah]

167 25 0
                                    

Makanan sederhana yang terdiri dari telur rebus, nasi putih hangat, dan sayur bayam, dimasukan sebagian ke dalam rantang oleh Indurasmi.

"Mau ke mana kamu, Rasmi?" Tiba-tiba Gharul yang baru menyelesaikan sholatnya datang.

"Ke rumah Mbok Iyum. Kasihan beliau, semenjak anak sematawayangnya meninggal satu minggu yang lalu, beliau tidak ada yang mengurus. Jadi, Rasmi ingin memberi makanan ini pada beliau. Boleh, Pak?"

Gharul tersenyum hangat, lalu mengangguk. "Boleh sekali. Kemarin Bapak lihat keadaan beliau sangat parah, hanya bisa tertidur saja," ungkapnya.

"Kalau begitu, Rasmi pamit. Assalamualaikum, Pak." Rasmi mencium takzim punggung tangan Gharul.

"Waalaikumussalam. Hati-hati."

Indurasmi berjalan keluar rumah, tangan kirinya menenteng rantang dan tangan kanan memegang payung. Sebab, malam ini hujan turun dengan penuh irama guntur.

Rumah mbok Iyum sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya dipisahkan dua bidang tanah kebun teh. Indurasmi sudah sangat mengenal nenek yang kini hidup sebatang kara tersebut, karena sejak kecil ia selalu dititipkan kepada beliau ketika Gharul pergi bekerja. Ya, sebab tidak ada figur seorang ibu sejak kecil, membuat sosok Indurasmi secara alami menganggap mbok Iyum sebagai ibunya.

Mbok Iyum hidup menjanda begitu lama, sang suami gugur dalam pemberontakan bangsa Indonesia sejak anak pertama mereka lahir. Hanya anak kandung laki-laki bernama Jajang lah yang senantiasa mengurus mbok Iyum. Tapi, nasib buruk pun menimpa Jajang, ia tiada karena kelelahan bekerja, dan akhirnya mbok Iyum tinggal lah seorang diri semenjak satu minggu kepergian sang anak.

Indurasmi kadang kala mampir hanya untuk memberikan makanan, bahkan menyuapinya. Terbesit harapan di hatinya, agar mbok Iyum bisa tinggal di rumah Indurasmi. Tapi, beliau menolak. Katanya, gubuk yang ditinggali beliau adalah tempat ternyaman dan penuh kenangan.

"Assalamualaikum, Mbok. Ini Rasmi." Indurasmi memasuki gubuk tersebut, setelah tadi menempuh perjalanan di tengah hujan.

Indurasmi tersenyum miris ketika melihat keadaan mbok Iyum tertidur dengan kedinginan. Segera ia mengambil kain di lemari kecil, dan menyelimuti beliau. Sebelum menghidangkan makanan, Indurasmi pergi ke dapur mengambil peralatan makan dan baskom untuk menampung air hujan yang masuk dari atap berlubang.

"Rasmi, di luar hujan. Kenapa kamu ke mari?" Mbok Iyum masih sempat bertanya demikian, meski suaranya amat paruh.

"Jika Rasmi tidak ke mari, mbok pasti tidak makan." jawab Indurasmi sembari membantu mbok Iyum duduk dengan diberi sanggahan bantal.

"Kamu perempuan baik, Nduk. Tujuan hidupmu pun mulia. Tapi sayang, kenapa gusti Allah mendatangkanmu ke dunia pada saat seperti ini."

Indurasmi tersenyum hangat. "Bila saja Rasmi tidak dilahirkan pada zaman ini, mungkin Rasmi tak akan pernah menyuapi Mbok seperi ini." Satu suapan Indurasmi berikan.

"Tetap jadi Rasmi yang penuh tekad, ya. Mbok yakin, kamu akan menjadi penuntun agama yang baik untuk anak-anak pribumi."

"Semoga gusti Allah memperpanjang umur si Mbok. Agar nanti bisa melihat negeri kita ini merdeka," ucap Indurasmi penuh yakin.

"Aamiin."

||<<<||

"Rasmi pulang dulu, ya, Mbok." Indurasmi berpamitan. Niatnya datang ke gubuk ini sudah usai. Setelah tadi menyuapi mbok Iyum, memandikannya serta memakaikan baju, dan yang terakhir menidurkan kembali beliau dengan nyaman.

"Hati-hati, Nduk. Malam hari biasanya disenangi para penjahat untuk beraksi," nasihatnya. Indurasmi selalu mematuhi.

Indurasmi akan pulang melewati perkebunan teh, sebab jika melewati jalan utama biasanya sering ada patroli dari para serdadu. Mereka seolah mencari mangsa untuk disakiti.

Bermodalkan cahaya rembulan, Indurasmi menjejaki jalanan setapak yang kanan kiri dipenuhi tanaman teh. Hujan sendiri, sendari tadi belum reda, ia seolah tengah membelai para manusia agar tertidur lelap. Indurasmi beryukur akan kehadiran hujan, setidaknya para rakyat pribumi bisa tertidur nyaman meski perut mereka keroncongan.

Krek!

Langkah Indurasmi terhenti, karena telinganya menangkap sebuah suara ranting yang diinjak dari belakang tubuhnya. Gadis itu membalikan badan, dan tak melihat siapapun, mungkin karena gelap juga. Alhasil Indurasmi menganggap itu hanya ulah angin yang menjatuhkan ranting.

Tapi lagi-lagi detik berikutnya, Indurasmi dibuat panik. "Hmff!" Mulutnya dibekap oleh seseorang.

Indurasmi meronta, dan ingin berteriak. Tapi kekuatan dari orang yang membekapnya terlalu besar, alhasil Indurasmi berhasil diseret dan dimasukan ke sebuah mobil antik dengan kesadaran yang mulai hilang. Sepertinya kain yang digunakan untuk membekap telah dilumuri obat bius.

Mobil tersebut meninggalkan perkebunan teh. Rantang dan payung Indurasmi hanya mampu memberi jejak dengan tergeletak di atas tanah.

||<<<||

Tubuh Indurasmi yang terkulai tanpa kesadaraan secara paksa diseret keluar dari mobil. Tanpa rasa kemanusiaan seorang pria membawa Indurasmi ke sebuah bangunan khas Belanda dengan tiga lantai.

"Hei, teman. Kau mendapatkan mangsa yang bagus sekali!" seru seorang prajurit tentara lainnya sembari menghampiri Indurasmi yang tengah diikat di sebuah kursi.

"Apa yang menjadi keinginanku pasti akan terwujud. Gadis angkuh ini, akan tertunduk di hadapanku," ungkap prajurit tentara yang menatap puas hasil kerja kerasnya menculik gadis bernama Indurasmi ini.

"Hebat, kau Andrew! Bila kau sudah selesai dengan gadis ini, kirimlah dia kepadaku. Aku ingin bersenang-senang juga," bisik pria berambut pirang yang masih dalam keadaan mabuk tersebut. Dia tertawa puas, lalu berlalu dari sana.

Andrew tersenyum miring, kemudian jemarinya mengelus kain yang menutupi kepala Indurasmi. "Saya akan menghancurkan apa yang kamu jaga selama ini, Nona. Kesombonganmu, menghancurkan semuanya," katanya.

Sungguh, bila saja Indurasmi tak menghina penawaran Andrew dalam membeli tanah lokasi pondok, mungkin saja Indurasmi tidak akan mendapatkan nasib malang ini.

"Andrew!"

Seruan tegas dari suara yang amat dikenali itu membuat Andrew memutar bola matanya, lalu melirik ke samping tempat si penyeru berdiri. "Ada apa lagi? Kau ingin ikut bersenang-senang dengannya?" Sangat enteng Andrew berucap sembari melirik sekilas Indurasmi yang masih tak sadarkan diri.

Tetapi, pria yang berseru tadi menatap tidak suka pada Andrew. "Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Anak seorang kiayi pun kamu ikut sertakan dalam hasrat bejadmu."

"Elden oh Elden. Bilang saja kau iri," kata Andrew. Kemudian dia meninju kecil pundak Elden, "Tenang saja, aku akan mengirimkan gadis ini untukmu. Tentu, setelah aku bersenang-senang dengannya."

Elden menggeleng. "Aku bukan pria sepertimu." Kemudian melenggang pergi.

Tapi Elden sempat berseru. "Tinggalkan dahulu gadis itu. Cepatlah menemui komandan!"

Andrew mengembuskan nafas kesal, sebab rencananya yang indah bersama Indurasmi akan terganggu. Sebelum pergi, Andrew sempat berbisik di telinga Indurasmi. "Tunggu aku, esok pagi. Gadis angkuh."

||<<<||

03, Juni 2021

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang