Keadaan tak setiap saat mengizinkan kita untuk meraung-raung dalam kesedihan, adakalanya sebuah kesedihan dan rasa sakit harus dipaksa menjadi bisu. Bahkan, mungkin saja malam yang sunyi pun tidak dapat memperjelas sebuah kesedihan yang tertutupi oleh diam.
"Rasmi, apa yang terjadi padamu?"
Seorang pria datang, beliau yang akhir-akhir ini memberikan sedikit ruang untuk gadis inlander seperti Indurasmi bernafas dengan lega. Tapi, sudah tiga hari pria itu tidak terlihat di camp, dan sudah tiga hari juga Indurasmi mendapatkan perlakuan kasar dari sosok pria bernama Andrew. Semua itu diulangi Andrew demi melampiaskan kekesalan pada Indurasmi.
Tiga hari tanpa kedamaian itu kini telah berakhir, seiring sang waktu menghadirkan kembali sosok penolong Indurasmi. Dia Elden, pria asing berhati baik bagi Indurasmi.
"Saya akan mengambil kotak P3K dulu, kamu tetap di sini."
Mata Indurasmi yang bengkak serta memerah karena tangisan setiap malamnya itu menatap kepergian Elden. Langkah pria itu tersirat kekehawatiran, karena melihat badan serta wajah Indurasmi penuh luka.
'Kenapa dia menolongku?' Kadang batin Indurasmi masih belum percaya akan kebaikan hati Elden.
"Biar saya obati lukamu." Elden kembali dan langsung berjongkok membuka kotak yang dibawanya.
"Tidak, Tuan. Biarkan saya yang mengobati sendiri."
Elden memahami dengan lengsung. Pria itu menyerahkan kapas dan obat antiseptik pada Indurasmi.
"Kenapa ini bisa terjadi?" tanya Elden.
Indurasmi belum menjawabnya, gadis itu menyibukan diri membersihkan luka. "Ulah Andrew?" Pernyataan Elden membuat Indurasmi terdiam dari kegiatannya. Ia menunduk.
Sikap tersebut membuat Elden tidak harus bertanya lagi. Pria itu memejamkan mata sejenak sembari mengembuskan nafas pelan, kemudian ia menatap Indurasmi yang sibuk memperban luka. "Impianmu telah membawamu ke sini, ke dalam kesengsaraan. Apa kamu masih ingin memperjuangkan impianmu?"
Entah kenapa Elden ingin membahas itu. Ia penasaran akan tekad seorang Indurasmi, setelah kemarin mengobrol banyak bersama teman dekat gadis itu, yaitu Ambar.
"Ini bukan kesengsaraan, tapi sebuah proses," sahut Indurasmi. Gadis itu merapihkan kembali kotak obatnya, setelah seluruh luka dibaluti perban.
"Kamu yakin? Sebuah proses tidak akan membuatmu diam terjeruji di sini dan meratapi keadaan."
Indurasmi menatap Elden singkat, lalu menggeser kotak obat pada sisi pria itu. "Yang terjadi bukanlah keinginan saya ataupun impian saya."
"Terima kasih obatnya," lanjut Indurasmi.
Elden menyunggingkan senyuman. "Kenapa tidak mencoba mencari cara untuk keluar dari sini? Bukankah Tuhanmu akan membantumu?"
"Jika ada cela untuk bisa bebas, kenapa saya harus diam? Saya telah berusaha sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tapi semua harus gagal," ujar Indurasmi. Gadis itu terhanyut pada obrolan. "Maka, biarkan kegagalan itu Allah balas dengan menghadirkan sebuah pertolongan. Entah itu melalui seseorang atau yang lain."
"Jika sekalipun orang yang dihadirkan itu adalah seorang musuh untukmu?"
Indurasmi tertawa mendengar penuturan tersebut. Sangat aneh di telinganya. "Bagaimana bisa seorang musuh akan memberi pertolongan pada musuh lainnya?"
"Kenapa tidak? Tidak ada yang mustahil bukan?" Elden tersenyum, ia sangat suka mengobrol dengan gadis di sampingnya ini.
"Ya, benar. Tapi itu hanya sekedar omongan Tuan saja, bukan?" Indurasmi menoleh ke arah Elden.
Elden tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak. Itu bukan hanya sekedar omongan. Saya akan mewujudkan sebuah kemustahilan tersebut."
"Saya akan membantumu keluar dari tempat ini. Ya, saya adalah musuh untukmu, bukan?" Pria itu berdiri dan tersenyum yakin.
Sementara Indurasmi menatap kosong, pikirannya seolah terhenti mendengar kepernyataan Elden tadi.
||<<<||
Jentikan jari yang tiada henti terkadang menandakan seseorang tengah berpikir. Termasuk yang terjadi pada gadis berambut pirang yang terlihat gusar di dalam kamarnya. Terkadang ia berpindah posisi dari ranjang ke balkon, lalu ke sofa yang ada di kamarnya.
"Ambar! Ayolah berpikir." Runtukan untuk dirinya sendiri kadang terlontar. Gadis yang biasanya sangat cerdik, kini malah menjadi lambat dalam menyelesaikan permasalahannya.
"Kak Giften! Ah, iya. Aku bisa memanfaatkan dia." Ambar bergegas keluar kamar dan menemui sang kakak di ruang makan.
Ambar melangkah dengan tenang, karena jangan sampai ayah dan ibunya mengetahui rencananya ini. Karena, takut mereka khawatir berlebih dan membuat rencana ini gagal.
"Hei, Sayang. Kamu masih lapar?" Eliz, sang ibu menegur putri bungsunya itu.
"Tidak, Mom. Aku ingin mengajak Kak Giften untuk melihat hasil lukisanku." Ambar beralasan. Gadis itu kemudian menarik tangan sang kakak yang baru usai makan. "Ayo, Kak. Sebentar aja."
"Apa?"
"Ikut saja ke kamar." Ambar menarik paksa, sehingga Giften terpaksa beranjak dari duduknya. Ia mengikuti arahan sang adik.
Hingga akhirnya mereka berdua ada di kamar. Giften melihat keseluruh sisi kamar sang adik dan bertanya. "Mana lukisanmu?"
"Sebenarnya, tak ada lukisan."
Giften menatap Ambar dengan bingung. "Lalu kenapa tadi kau—"
"Aku ingin meminta tolong padamu," ungkap Ambar.
"Apa?"
Ambar mengigit bibirnya. Lalu menjelaskan maksudnya. "Bawa aku ke camp camp penampungan pribumi."
Giften melotot tak percaya. "Kau sudah gila? Kau tahu tempat itu—"
"Iya, aku tahu! Tapi aku ingin menemui teman dekatku, Indurasmi. Dia diculik ke sana oleh salah satu serdadu. Aku hanya ingin menemuinya saja, tolong." Ambar melirih memohon pertolongan.
"Indurasmi? Kenapa dia bisa diculik?" Ambar justru tak menjawab. Dia terus memohon, hingga sang kakak merasa frustasi sendiri. "Sudah cukup. Kau tahu 'kan, Mommi dan Papa tidak akan mengizinkanmu ikut campur pada peseturuan dua bangsa ini?"
Ambar mengangguk. Ia sangat paham, oleh sebab itu ia meminta pertolongan ini dengan diam-diam. Memang, kedua orang tuanya sangat ramah terhadap para kaum pribumi, tapi untuk masalah peseturuan, mereka tidak akan mengizinkan anaknya ikut campur. Karena itu akan membahayakan keluarga mereka.
"Tapi kakak bisa membantuku, 'kan? Aku mohon, aku hanya ingin bertemu dengannya." Ambar mengenggam lengan sang kakak.
Giften mengembuskan nafas dengan kasar. "Baiklah. Aku akan membawa kau ke sana. Tapi berjanji, kau hanya menemuinya, tidak membuat kekacauan. Oke?"
"Oke!" Mata Ambar terlihat berbinar. Ia sungguh ingin melihat keadaan sahabatnya.
||<<<||
"Impianmu apa?"
22, Juni 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Indurasmi [Proses Terbit]
RomanceAku mempunyai harapan dan sebuah mimpi. Meskipun aku masih berada dalam lorong kenyataan yang begitu gelap dan sunyi. Kata orang, sebuah harapan akan menjadi cahaya untuk menunjukan kita jalan menggapainya. Cahaya itu bukan berada pada penglihatan...