Bab 17 [Tanpa Pamit]

73 13 1
                                    

Saya pria bodoh.
Yang selalu percaya kalau apa yang diputuskan tidak akan menyakiti orang lain.
Namun, nyatanya ada yang tersakiti bahkan terenggut haknya dalam satu malam.

Saya pria bodoh.
Menggampangkan peringatan lalu pergi tanpa memastikan.
Maafkan pria bodoh ini. Berikan kesempatan untuknya merubah keadaan, meski mustahil.

Saya akan pulang, lalu mencarimu.

Gerbong penumpang kereta mulai berjalan mengikuti lokomotif. Perjalanan itu akan membawa para penumpang untuk pulang ataupun pergi, dengan dihidangkan pemandangan elok namun tak bertuan.

Sudah satu minggu, Elden di Batavia. Kini, ia memaksa untuk pulang setelah menerima surat dari sang sahabat. Isi suratnya begitu membuat hatinya tidak tenang, dan merasakan banyak penyesalan.

Kiranya sampai sore hari Elden baru sampai di Bandoeng. Pria itu tidak langsung pulang, tapi langsung menyambangi kediaman seseorang yang menjadi alasannya untuk pulang.

Indurasmi. Gadis itu telah pergi, tanpa jejak. Elden menatap rumah yang kini tak berpenghuni tersebut, bahkan pondok di sampingnya pun ikut di selimuti keheningan.

"Kau di mana, Rasmi," gumam Elden.

Dirasa tidak mendapat jawaban atas keresahaan hatinya, Elden pun berangkat ke rumah Ambar menggunakan andong. Ia harap sahabatnya itu mempunyai sedikit informasi baru mengenai kepergian Indurasmi.

||<<<||

"Aku belum mendapatkan informasi lagi, El."

Mendengar penuturan demikian, Elden hampir saja menyerah. "Semua ini salahku." Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa frustasi.

"Bukan. Ini bukan salahmu," kata Ambar. Seketika Elden menyingkirkan kedua tangannya, dan menatap penuh tanya. "Ini salah ibumu."

"Apa maksudmu?"

Ambar mengembuskan nafas lelah seraya menyenderkan tubuh ke pegangan kursi. "Kemarin aku menemukan sebuah fakta, kalau tante Dayana lah yang menyebarkan fitnah ini."

Elden tidak kaget lagi mendengarnya. Itulah yang paling membuat Elden semakin bersalah. Ia ingin bertemu dengan Indurasmi untuk menyelesaikannya dan memastikan keadaan.

"Aku sudah menduganya," sahut Elden.

"Kabar itu telah menyebar begitu cepat, terlebih Indurasmi adalah sosok yang dikenal alim dan paham agama. Entah orang akan beranggapan bagaimana terhadapnya." Ambar berseloroh. "Aku pikir, apa iya Indurasmi tinggal di luar kota Bandoeng?"

Elden seketika menatap Ambar. "Di Hindia Belanda ini, banyak sekali kotanya."

Ambar mengangguk paham. Ia terdiam sejenak. Hingga akhirnya bersuara dengan semangat. "Kenapa kita tidak bertanya pada saudagar kaya pemilik kebun tempat bapak Indurasmi kerja?"

"Bisa dicoba." Elden tersenyum puas, setidaknya ada harapan.

||<<<||

Sepasang mata menatap rembulan malam itu yang bercahaya begitu terang. Ada buliran air mata yang masih tertampung di sana. Sampai akhirnya ketika kelopak mata terpejam, buliran air mata terjun dengan bebas memberi jejak pada pipi.

"Boleh aku mengeluh, Tuhan? 'Kan keluhkan betapa liciknya semesta bermain, betapa pintarnya takdir menguji." Itu bukan hanya sekedar syair indah yang terucap di bibirnya, tapi juga curahan hatinya yang tak kunjung usai mendapat kelegaan.

Matanya yang bersinar penuh kobaran semangat, kini perlahan meredup karena keadaan. Hatinya malu karena telah menjadi seorang pengecut yang lari dari masalah.

"Teteh Rasmi, Deuis mau belajar lagi." Aktivitas curahan hatinya pada keheningan seketika terganggu. Pasalnya kini seorang anak berusia lima tahun datang dengan membawa lembaran buku usang dan lampu minyak tanah.

"Boleh. Sini, neng. Sok calik. (Silahkan duduk)" Gadis yang tadi baru saja menyerah pada keadaan, kini tersenyum penuh kegembiraan. Ia senang jika mendengar suara penuh semangat belajar itu.

Anak perempuan bernama Deuis itu pun duduk sembari menyiapkan alat tulisnya. "Teteh Indurasmi kenapa atuh duduk di sini sendirian?"

Indurasmi tersenyum gemas mendengar rasa penasaran adik sepupunya ini. "Mau tahu aja kamu, tuh. Sok seratkeun lanjutan abjad nu tos teteh ajarkeun. (Silahkan tuliskan lanjutan abjad yang sudah kakak ajarkan)"

Penuh semangat, Deuis menulis. Hanya dengan cahaya lampu minyak tanahlah yang menjadi harapan para anak-anak pribumi dalam belajar.

Kini, Indurasmi masih diberi kegembiaraan. Yaitu, berupa semangat belajar dari Deuis yang berkobar. Hanya Deuis yang menjadi murid Indurasmi sekarang. Sebab, beberapa hari yang lalu takdir mempupuskan kebahagian Indurasmi dalam mengajar para anak-anak pribumi.

||<<<||

"Hoe kon hij zo roekeloos zijn! (Bagaimana bisa dia berbuat ceroboh!)"

Seorang wanita yang baru saja menerima laporan dari orang suruhannya itu terduduk di sofa dengan penuh kekesalan. Bagaimana tidak kesal bila mendengar anak satu-satunya sekaligus pewaris keluarga Anderson, lebih memilih mengkhawatirkan gadis pribumi dari pada masalah bisnisnya di Batavia.

"Dayana. Anakmu itu begitu ambisius sepertimu." Seorang pria yang lebih tua serta perwakaannya yang tinggi dan kekar, tiba-tiba datang menghampiri wanita yang tak lain ialah adik kandungnya sendiri.

Dayana mendengkus kesal. "Elden itu seperti ayahnya, keras kepala!"

"Kau juga keras kepala, Dayana."

"Kak Hujin, stop! Jangan menyulut api lagi. Aku sudah sangat terbakar," ujar Dayana.

Hujin malah tertawa senang mendengar hal tersebut. "Aku senang bila kau semakin terbakar oleh emosimu itu. Sebab, kau menjadi lebih berani untuk melawan."

Dayana memicingkan mata sembari bangkit dari duduknya. "Kakak seperti apa kau ini, Hujin!" Lalu melenggang menaiki anak tangga.

Inilah yang ingin Hujin dengar, ketika sang adik menyebut Hujin tanpa embel-embel kakak. Jika sudah seperti itu artinya Dayana semakin berani melakukan suatu pembalasan.

Hujin adalah pemantik api yang hebat untuk adiknya.

||<<<||

Tebak yuk selanjutnya, kota mana lagi yang akan dijadikan latar cerita oleh saya?

22, Agustus 2021
Denting

Indurasmi [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang