Barangkali "flash fiction" yang terpapar dalam buku karya Ikhwanul Halim ini berbeda bentuk dengan fiksimini yang sempat beredar luas beberapa waktu lalu. Fiksimini, saya juga menyebutnya sebagai "tweet fiction" karena populer lewat media sosial Twitter, dibatasi oleh 140 karakter sebagaimana batas maksimal karakter yang diperbolehkan mesin aplikasi itu. Tetapi pada kenyataannya, para penulis fiksimini bahkan bisa lebih kreatif mempersingkat karya mereka kurang dari 140 karakter.
Coba simak fiksimini karya @AndyTantono berjudul "SEHABIS NONTON PERTUNJUKAN SULAP" ini:
"Ma, lihat aku bisa menghilangkan kelingkingku seperti pesulap tadi," jawabnya sambil menggenggam pisau.
Namanya juga fiksimini alias fiksi mungil, tidak perlu deskripsi, tidak perlu plot dan tidak perlu karakter berlebihan. Pembaca dihadapkan pada kesimpulan yang meski sangat pendek, tetap memiliki daya kejut luar biasa bagi pembacanya. Karya supermini itu tetap memikat untuk dibaca. Itulah esensi fiksimini.
Tidak demikian "flash fiction" atau "fiksi kilat" yang ditulis dalam buku ini. Ia masih menyisakan ruang bagi plot, karakter, resolusi, klimaks, narasi, dialog, dan ending sebagaimana syarat-syarat yang diperlukan pada "fiksi besar" pada umumnya. Namun karena singkatnya cerita, maka pembaca tidak harus berlama-lama untuk sampai pada klimaks dan akhir cerita.
Dari sisi si penulis, menulis fiksimini atau "flash fiction" bukan berarti mudah hanya karena sedikit kata-kata yang diumbar dan kalimat yang dirangkai. Kalau boleh diibaratkan, menulis fiksimini seperti pematung yang membuat obyek-obyek visual tiga dimensi dalam lubang jarum. Orang minimal butuh kaca pembesar untuk menikmati karya renik pematung khusus itu.
Bagi pembaca, menikmati fiksimini atau "flash fiction" juga butuh bantuan seperti halnya kaca pembesar atau bahkan mikroskop. Bantuan itu berupa imajinasi liar pada pikiran si pembaca itu sendiri. Dalam fiksimini, si penulisnya seolah-olah membuat sebuah teka-teki yang perlu ditebak oleh pembaca atau membuat satu "enigma" yang memerlukan penafsiran pembacanya.
Karena tebakan dan penafsiran itu memerlukan pikiran, maka diperlukan upaya yang lebih keras sekaligus cerdas bagi pembaca untuk memahami teks yang termuat dalam fiksimini atau "flash fiction" itu.
Toh keuntungan membaca "flash fiction" ada pada waktu yang tidak terlalu banyak tersita. Tidak perlu waktu khusus berlama-lama untuk melumat sebuah buku seperti karya Ikhwanul Halim ini. Cukup memerlukan waktu senggang, maka selesailah buku ini dibaca sampai akhir. Tetapi ya itu tadi, tetap diperlukan upaya yang lebih keras sekaligus cerdas untuk memahaminya.
Pepih Nugraha,
Wartawan Kompas
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (telah terbit)
Short StoryKumpulan flash fiction dengan berbagai rasa ini diterbitkan oleh Peniti Media berisi 45 flashfiction. Softcover, 125 pages (108+vii) Published September 16th 2016 by Peniti Media ISBN: 978-602-74796-1-6 Foto sampul hak cipta Ra Benlantara. Bebera...