Apa Leumo berjalan zigzag menghindari barikade tumpukan karung goni berisi pasir dan kawat duri yang melintang di jalan raya. Sorot lampu senternya bergoyang-goyang di kegelapan malam tak berbintang. Sudah seminggu tak ada cahaya menyelinap dari rumah-rumah yang terpencar di sisi jalan negara itu, sejak tiga tower SUTT roboh digergaji orang-orang tak dikenal.
Ia meraba saku kiri jaketnya, memastikan amplop tebal itu masih ada. Lumayan, anggap saja pengganti sapinya yang hilang dua malam berselang sejak rubuhnya tower.
"Seperti biasa, sisanya kalau info yang kamu berikan benar," kata Kapten Linus.
Rumahnya masih berjarak tiga ratus langkah, ketika sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari balik pohon di kiri jalan. Apa Leumo hampir berteriak kaget, ketika akhirnya ia mengenali bahwa tubuh kurus berselempang sarung itu adalah Maun, salah satu pekerjanya. Anak yatim putus sekolah yang berumur 14 tahun.
"Rupanya kamu, Maun. Hampir copot jantung saya," desahnya lega.
"Sapi yang hilang sudah ketemu?" tanyanya setelah Maun menyamakan langkah di sampingnya.
Maun tidak menjawab. Sebaliknya tangannya bergerak cepat menyibak sarung, dan Apa Leumo mendadak merasa pinggang kirinya perih. Belum sempat ia bersuara, tangan Maun berkelebat menyasar ke atas. Sesuatu yang dingin menghujam menembus batang leher Apa Leumo.
Terdengar suara senter berdentang, disusul tubuh Apa Leumo jatuh berdebam, tertelungkup hanya seratus langkah dari pintu rumahnya. Ia ingin berteriak, tapi pita suaranya koyak sudah. Lidahnya merasakan asin darah yang mengalir hitam membasahi wajahnya yang miring menghadap sawah yang baru di tanami padi.
Rasa sakit menyengat seluruh sarafnya ketika Maun membalikkan tubuhnya dengan kasar. Anak sialan itu cukup kuat untuk bocah ceking seusianya. Mungkin karena terbiasa bekerja keras mengurus sapi-sapi miliknya.
Maun mengusapkan rencong yang berlumuran darah ke celana Apa Leumo. Dengan napas tersengal-sengal, Apa Leumo diam tak bergerak saat Maun menggeledah dan mengosongkan isi seluruh sakunya. Tangan dan kakinya mati rasa, lumpuh.
Setelah melepaskan arloji dan gelang akar bahar berlapis emas dari tangan Apa Leumo, Maun membungkus hasil jarahannya dengan sarung untuk kemudian dikalungkan ke badannya seperti semula.
Maun berdiri. Di mata Apa Leumo yang mulai berat, tubuh menjulang bocah itu seakan malaikat pencabut nyawa sendiri yang menjelma nyata, hanya tampak api sorot mata yang menyala-nyala penuh kebencian.
"Cuak ase... Cuiiih!" Segumpal ludah kental mendarat tepat di mata kanan Apa Leumo. Selanjutnya suara langkah samar-samar menjauh.
Dengan sisa tenaga yang ada, Apa Leumo memutar lehernya. Bayangan hitam Maun menuruni bahu jalan memasuki sawah yang terendam, menuju hutan di kaki pegunungan dan lenyap di bawah selimut malam.
Udara anyir logam semakin berat untuk dihirup. Samar-samar Apa Leumo merasakan dunia berputar bagai pusaran air di tengah lautan menyeretnya sehingga termegap-megap dan nyaris tenggelam. Di sekelilingnya berdiri orang-orang desa yang telah dikhianatinya, termasuk almarhum ayah Maun. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi kemudian ia teringat bahwa pita suaranya koyak sudah.
Perlahan pandangannya mengabur, sebelum akhirnya gelap total mengiringi dengkur hembusan nafas terakhirnya.
Bandung, 20 Oktober 2015
apa [bhs. Aceh] : panggilan bapak
leumo [bhs. Aceh] : sapi, lembu
rencong : senjata tradisional Aceh
cuak [bhs. Aceh] : mata-mata, pengkhianat
ase [bhs. Aceh] : anjing
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (telah terbit)
Short StoryKumpulan flash fiction dengan berbagai rasa ini diterbitkan oleh Peniti Media berisi 45 flashfiction. Softcover, 125 pages (108+vii) Published September 16th 2016 by Peniti Media ISBN: 978-602-74796-1-6 Foto sampul hak cipta Ra Benlantara. Bebera...