"Duit lu berapa?" tanya Tatang pada Bejo.
"Sembilan belas rebu lima ratus," jawab Bejo yang bertubuh lebih besar dari Tatang setelah menghitung uang receh dari saku celananya.
"Gue ada dua puluh tiga rebu. Jadi beli es cendol mas Slamet, nggak?"
"Ntar setoran kite ke bang Charles kurang..." ada keraguan dalam Bejo yang bergidik membayangkan tampang sangar bang Charles Bronson, pelindung sekaligus pemalak kumpulan anak jalanan tempat mereka bergabung.
"Kita beli satu gelas buat berdua. Dari situ kita nyari kardus bekas lagi ke pasar," kata Tatang meyakinkan Bejo. Meski tubuhnya kecil, Tatang merupakan jagoan di kelompok mereka.
"OK deh. Tapi entar lu yang ngomong sama bang Bronson kalo setoran kita nggak nyampe target."
***
"Mas, es cendolnya atu!" pesan Tatang ke mas Slamet yang sedang mencuci gelas dan sendok dalam ember di samping gerobak es cendol.
"Banyak duit lu, Tang?" tanya mas Slamet yang kenal dengan Tatang karena sering mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral darinya.
"Nggak juga, mas. Cuman aye sama Bejo haus, nih!" jawab Tatang menyodorkan dua lembar uang lima ribuan kumal ke mas Slamet. Mas Slamet menerima uang tersebut dan memberikan kembalian selembar uang dua ribu yang tak kalah kumalnya. Bejo hanya diam. Seumur hidupnya baru sekali ia merasakan es cendol mas Slamet yang dibawakan Tatang dalam bungkus plastik. Tatang tidak menceritakan kepada Bejo bahwa es cendol itu dikumpulkannya dari sisa-sisa pembeli yang tak habis.
Bejo mengamati dengan cermat gerak-gerik mas Slamet yang dengan tangkas meracik segelas es cendol untuk dirinya dan Tatang. Bejo mengkhayal kelak ia akan mempunyai gerobak es cendol sendiri, sehingga bisa minum kapanpun ia mau. Memikirkan hal itu membuat tenggorokannya bertambah kering.
***
Mas Slamet baru saja meletakkan gelas es cendol di depan Bejo, ketika empat orang petugas Satpol PP datang tiba-tiba.
"Siapa yang ngasih ijin jualan di sini, hah? Lu tau nggak, dilarang berjualan di sini!" seorang Satpol PP yang paling kurus membentak mas Slamet.
"Anu...anu...," mas Slamet menjawab tergagap-gagap.
"Braaak!" meja digebrak oleh si kurus.
"Praaang!" gelas cendol yang masih penuh itu terguling dan jatuh ke tanah, pecah berkeping-keping menghantam kerikil. Cairan berwarna-warni paduan gula merah, santan, sirup, cendol, nangka dan pecahan gelas itu perlahan melebar dan meresap ke dalam tanah yang kering-kerontang dipanggang terik matahari.
Bejo merasakan tangannya ditarik paksa oleh Tatang, yang setengah menyeretnya menjauh dari lapak es cendol mas Slamet.
"Hei, kalian mau ke mana?" teriak sebuah suara, mungkin salah satu dari empat petugas Satpol PP.
Tanpa menoleh, Tatang berteriak:
"Lari!"
Tangan Bejo ditariknya lebih kencang sehingga Bejo merasa kesakitan. Tapi akal sehatnya masih bekerja. Bejopun mempercepat larinya mengimbangi Tatang yang meski kecil namun gesit itu. Mereka berlari sekencang-kencangnya dan baru berhenti setelah merasa aman.
Keduanya berhenti dengan nafas terengah-engah di bawah pohon angsana yang tidak terlalu rindang. Daun-daunnya yang merana kekurangan zat hara sama terengah-engahnya dengan mereka mengolah karbondioksida menjadi oksigen.
"Untung kita tidak ditangkap sama mereka," kata Tatang lega setelah nafasnya kembali normal.
Bejo hanya diam. Ia masih membayangkan cairan es cendol yang begitu cepat hilang ditelan tanah.
Bandung, 5 Januari 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (telah terbit)
Short StoryKumpulan flash fiction dengan berbagai rasa ini diterbitkan oleh Peniti Media berisi 45 flashfiction. Softcover, 125 pages (108+vii) Published September 16th 2016 by Peniti Media ISBN: 978-602-74796-1-6 Foto sampul hak cipta Ra Benlantara. Bebera...