Romli memacu mobil di bawah batas kecepatan yang diamarkan. Hujan deras membuat jarak pandangnya terbatas. Ia melihat meteran pengukur bahan bakar dengan cemas. Pom bensin masih jauh. Jalanan sepi. Lampu jalan tak ada yang menyala. Mendung dan hujan berhari-hari menyebabkan baterai tenaga surya sumber penerangan itu tanpa daya sama sekali.
Tepat di tapal batas kota, mobil curian itu mati mendadak. Terpaksa ia menepi. Sial. Padahal tadi ia yakin keberuntungan sedang berada di pihaknya. Mobil itu berada di carport rumah mewah yang gelap gulita. Naluri pencurinya bekerja. Ia segera minta diturunkan Ruben satu blok dari situ, dan lima menit sembilan belas detik kemudian, mobil itu telah meluncur menuju jalan besar. Ia sempat melihat sinar lampu senter menari-nari di jendela rumah tersebut. Aneh. Rumah mewah tak mampu membayar rekening listrik sampai diputus begitu. Tapi bukan urusannya.
Mestinya tak lama lagi ia sudah sampai ke gudang rahasia yang dilengkapi lift lantai untuk menurunkan mobil ke basement, tempat Ruben dan ia mengurai mobil tersebut hingga berupa suku cadang semata. Mobil curian yang ke tigabelas, yang kini diam tak bergerak di bawah hujan tapal batas kota karena kehabisan bensin. Sial. Tiga belas angka sial. Mobil sialan. Dan ia lupa meminta Ruben untuk mengisi pulsa telepon selularnya.
Dari kaca spion tengah, ia melihat kelap-kelip lampu mendekat. Sial! Mobil patroli polisi. Ia menunggu dan berdoa, semoga polisi tersebut tak tertarik dengan mobil yang parkir di pinggir jalan dalam hujan deras.
Mobil patroli itu berhenti tepat di belakangnya. Sial!
Pintu mobil di belakangnya terbuka dan seorang memakai mantel hujan kuning keluar, mendekat ke arahnya. Romli menurunkan kaca pengemudi. Butir air hujan menyerbu masuk, membasahi sisi tubuh Romli.
"Ada masalah, pak?" tanya opsir yang usianya tak muda lagi. Romli menaksir tak sampai setahun lagi akan pensiun.
"Tidak, pak polisi. Saya menunggu teman," jawabnya sambil memicingkan mata dari silau lampu senter pak polisi yang menyorot wajahnya. Tentu saja tak mungkin melancarkan bogemnya untuk merobohkan polisi kurang ajar dengan posisi duduk. Apalagi dengan isi tangki bahan bakar kandas tak bersisa setetespun. Apalagi...dengan kilat moncong laras pistol mengarah padanya dari sisi sinar lampu senter.
"Tolong buka bagasi belakang," perintah pak polisi.
"Hei, pak. Aku tidak melakukan apapun!" protesnya.
"Turun," nada intonasi polisi itu tak menunjukkan keramahan yang seharusnya ada pada seorang polisi. Atau memang begitu cara bicara polisi?
Romli bukan orang bodoh. Membantah tentu saja percuma. Mungkin pak polisi baru ribut dengan istrinya, dan ingin melampiaskan pada orang pertama yang ditemui. Pasti ada kesempatan untuk melakukan perlawanan. Ia turun dengan tangan terangkat di belakang kepala.
"Jalan perlahan dan buka tutup bagasi."
Belum waktunya. Polisi itu mundur di luar jangkauan Romli.
Ia berjalan ke belakang mobil, dan sebelum membuka tutup bagasi belakang, sudut matanya menangkap siluet mobil polisi di balik lampu sorot yang menyilaukan mata. Hei, apakah polisi mendapat mobil patroli jenis baru?
Dan dengan bantuan sorot lampu itu, ia dapat melihat sepasang mata hampa tak berkedip balas memandangnya dari dalam bagasi. Romli mendadak mual dan ingin muntah, yang terhenti oleh suara letusan—
***
"Boss, ularnya sudah menghilang," lelaki yang disangka Romli sebagai opsir polisi itu berbicara melalui telepon selular.
"Hanya sedikit gangguan kecil. Tikus pengerat. Menyusul si ular, tentu saja. Aku akan berlibur sebulan. Salam buat pak Jaksa dan pak Hakim saat sidang Senin minggu depan."
Ia menyalakan pemantiknya untuk membakar rokok yang basah oleh rintik hujan yang mulai reda. Berbahaya sebenarnya, apalagi sebelumnya ia menuang bensin ke mobil yang bagasinya terisi dua mayat itu. Mungkin ia tak sengaja ketika detik berikutnya menjatuhkan pemantik yang masih menyala ke bawah mobil tersebut, apinya menyambar uap bensin dan berkobar menghangatkan malam. Tapi siapa yang tahu?
Bandung, 11 April 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (telah terbit)
Storie breviKumpulan flash fiction dengan berbagai rasa ini diterbitkan oleh Peniti Media berisi 45 flashfiction. Softcover, 125 pages (108+vii) Published September 16th 2016 by Peniti Media ISBN: 978-602-74796-1-6 Foto sampul hak cipta Ra Benlantara. Bebera...