"Kamu yakin?", sang wanita bertanya.
Pria itu memandang mata yang berbinar di hadapannya. Mencoba menangkap setitik ragu, jika ada.
Tapi mata itu adalah lautan teduh yang menelan seluruh dukanya. Duka yang dibenamkan dalam-dalam dan telah dicoba untuk dilupakan. Tapi kini lenyap begitu saja dalam samudera tenang yang menatapnya seakan membisik lembut: "menyelamlah ke dasarku....."Ia menghela nafas perlahan. Apakah ia yakin?
Perasaan ini bukanlah hadir untuk membunuh sepi.
Tidak!
Setelah perjuangan usai, sepi bukanlah temannya lagi. Perasaan ini otentik, bukan artifisial.
Tapi apa yang harus dilakukan untuk meyakinkan sebuah hati yang juga pernah terluka?
Ya, ia percaya dan yakin.
Perasaannya kepada wanita itu bukanlah karena pelarian, tidak pula sebagai pelampiasan. Perasaan yang ada karena wanita itu sendiri, yang kini berdiri dengan anggun di sisinya.
Keberadaannya yang singkat telah memberikan kehangatan bagi hatinya yang dingin membeku. Gelak tawanya menjadi oase subur bagi jiwanya yang kerontang. Dan tatapan matanya—kerling yang membasuh luka.
Dan ia tahu sang wanita menandai keyakinannya, karena pertanyaan berlanjut:
"Apakah ia setuju?"
Tanpa ragu-ragu ia menjawab:
"Ya, ia setuju."
Mataharinya, rembulannya, telah menyetujui dari awal mula. Tentu saja ia takkan meminta tanpa approval dari satu-satunya buah hati yang menjadi alasan ia tetap tegar setelah dihantam badai. Persetujuan yang tanpa paksaan, malahan disambut dengan suka cita.
Ia telah bersumpah takkan mengeluh sebagai pelindung tunggal cahaya hidupnya. Jika izin tak diperoleh, sekuat apapun perasaannya terhadap wanita itu, solitaire akan menjadi permainannya abadi. Kebahagiaan buah hatinya adalah mutlak.
Dan kata setuju diucapkan tanpa keraguan. Hal yang mestinya tak perlu ditakutkan lagi.
Dalam pertemuan singkat mereka bertiga, ia bisa merasakan hangatnya pertalian antara buah hatinya dengan wanita itu, sehingga seharusnya kebahagiaan mereka menjadi sempurna.
Tapi apa yang harus dilakukan untuk meyakinkan sebuah hati yang juga pernah terluka?
Angin berhembus membawa aroma asin ombak dari tepi pantai. Meniup lembut ujung jarum cemara yang melambai malas menggayut di ranting-ranting yang tertidur pulas.
Sang wanita tersenyum. Senyum tanpa suara yang terdengar di telinganya bagai orkestra filharmoni memainkan seluruh opus Frédéric François Chopin tanpa cacat.
"Bagaimana jika kita mencoba dulu sebelum yakin?", tiba-tiba sang wanita berujar lirih.
Adakah yang salah dengan pendengarannya? Ini jauh melampaui pengharapan, menembus awan dan menggapai bintang di galaksi terjauh! Sekecil apapun kesempatan akan diraihnya, dan pertanyaan sekaligus jawaban ini mungkin takkan datang dua kali!
"Okay," jawabnya. Mudah-mudahan wanita itu tak menangkap getar gemuruh jiwanya dalam jawaban sesingkat itu.
Langit semburat jingga berpadu jutaan warna menjelang senja, bagaikan foto polaroid yang diplintir sehingga menghasilkan lukisan abstrak adikarya.
Benih-benih itu telah bersemi, tinggal dirawat dan dijaga. Selintas asa dalam relung dadanya.
Perjuangan baru sudah dimulai.
Ia berbisik lirih—sangat lirih— sehingga tak terdengar oleh sang wanita:
"Janjiku untuk membahagiakanmu akan dibuktikan oleh waktu."
Matahari memburu ke balik gunung, meninggalkan rona chromakey di langit senja. Dan burung-burung terbang melayang berputar-putar dimabuk pesona cinta.
Kutaradja, 22 Januari 2011
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (telah terbit)
Short StoryKumpulan flash fiction dengan berbagai rasa ini diterbitkan oleh Peniti Media berisi 45 flashfiction. Softcover, 125 pages (108+vii) Published September 16th 2016 by Peniti Media ISBN: 978-602-74796-1-6 Foto sampul hak cipta Ra Benlantara. Bebera...