Dapur

88 9 1
                                    

Map berisi akta cerai yang kuambil siang tadi dari pengadilan kulemparkan ke atas meja makan. Ini bukan mimpi. Aku resmi duda.

Kantong plastik belanjaan dari mall kubawa ke depan kulkas. Terakhir aku ke mall empat bulan tiga minggu dua malam yang lalu. Saat Liana masih istriku. Seharusnya malam itu aku tahu sesuatu akan terjadi. Atau mungkin sebetulnya aku tahu namun pura-pura tak tahu. Berharap semuanya baik-baik saja.

Ia beralih ke ruangan lain, bahkan keluar ke halaman, saat gawainya berbunyi. Bicaranya berbisik-bisik. Berbisik bukanlah kebiasaan Liana. Bicaranya lepas. Tawanya bebas. Aku masih berharap semuanya baik-baik saja, meski firasatku mengirim sinyal berbeda.

***

Empat bulan dua minggu lima hari yang lalu seseorang mengetuk pintu. Liana sedang keluar.

"Aku pergi," hanya itu yang dikatakannya. Biasanya ia selalu menyebut ke mana. Aku tak pernah melarang, termasuk ketika ia memperpanjang tugas luar kota karena ingin bertemu keluarganya. Aku tak pernah melarang. Janji suci kami diikat dengan bersumpah untuk selalu jujur terbuka. Dan aku tak ingin jadi lelaki pencemburu.

Orang itu menyebut namaku.

"Betul, saya sendiri," jawabku.

Ia menyebutkan namanya, yang sengaja kulupa. Ia menyebutkan tujuannya, tak mungkin kulupa.

"Saya petugas pengadilan." Sebuah amplop berpindah ke tanganku.

"Tolong tanda tangan bukti penerimaan," ujarnya menyodorkan buku ekspedisi.

Firasatku menjadi realita.

***

Empat bulan dua minggu lima hari aku lalui dalam mimpi surealis pelukis di bawah pengaruh narkoba. Suara-suara persis musik perusak pikiran. Wajah-wajah bertopeng seperti karnaval Mardi Gras atau Rio de Janeiro yang kulihat di film-film horor.

"Sudah tak ada lagi kecocokan."

"Aku doakan kamu mendapat yang lebih baik."

Diikuti sederet dusta, sehitam jelaga kerak neraka.

"Hakim....memutuskan..."

***

Siang tadi aku mengambil akta cerai dari pengadilan, dalam map yang tergeletak di meja makan.

Kubuka pintu kulkas. Kosong. Empat bulan dua minggu lima hari, meja makanku berpindah-pindah. Di warung, cafe atau restoran. Entah mengapa, tadi aku belanja daging, telur, sosis, ikan, sayur, bumbu, dan lain-lain berdasarkan resep yang aku temukan di internet.

Kupindahkan isi kantong plastik yang harus disimpan dalam suhu rendah agar awet. Rumahku bersih. Sejak Liana pergi, setiap pagi ada yang datang hanya untuk menyapu, mengepel, mencuci pakaianku dan menyetrika jika sudah kering. Kunci rumah duplikat milik Liana kutinggalkan di bawah pot bunga dekat pintu. Aku biasa pulang saat matahari sudah lama tenggelam, menemukan rumah bersih dan rapi.

Kupandangi dapur mungil. Liana suka memasak. Malam ini aku ingin memasak. Itulah sebabnya aku tadi ke mall.

Tiga puluh menit kemudian, di samping map berisi akta cerai, terhidang sepiring spaghetti bolognese yang masih panas. Liana suka memasak spaghetti bolognese untukku.

Aku menikmati makan malamku dengan tenang. Spaghetti terenak yang pernah kurasakan sejak menikah dengan Liana enam tahun lalu.

Selesai makan, piring kotor kuletakkan di bak cucian. Dapur yang tadinya bersih kini seperti habis kena bom, berantakan. Panci, sendok, entah apalagi yang namanya aku tak tahu berserakan berlepotan. Kompor gas bernoda tumpahan saos.

Liana akan sangat marah, bahkan mungkin membunuhku. Dapur adalah tempat sucinya. Aku dilarang menginjakkan kaki di situ.

Saat mengambil botol minuman soda dari kulkas, aku melihat foto kecil kami berdua pada magnet tempel berbentuk pigura di sisi kulkas. Kucopot dan kulemparkan ke dalam keranjang sampah di bawah bak cuci. Bidikanku meleset. Pigura magnet itu masuk ke dalam panci saos berisi kornet.

Aku bahagia.


Bandung, 22 April 2016

Terdampar (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang