"Aku tak setuju dengan demokrasi," katanya kepada temannya. Ia meletakkan koran pagi di atas meja. Headline halaman depan: "Partai Nasional bersaing dengan Partai Lokal". Kemudian menyeruput teh susu dingin yang baru diantarkan pelayan kedai kopi.
"Mengapa?" tanya lawan bicaranya.
"Demokrasi adalah tirani mayoritas terrhadap minoritas," jawabnya sambil mengusap sisa teh susu yang menempel di ujung kumis.
"Tidak selalu. Demokrasi merupakan cara satu-satunya untuk memilih wakil atau pemimpin. Pihak yang kalah harus menerima dengan legowo, Itu namanya sportivitas," lawan bicaranya berargumen sambil mengocok telur setengah matang dalam gelas dengan sendok kecil.
"Bagaimana jika di negeri yang mayoritas penduduknya terdiri dari pencuri, dan karena sistem demokrasi maka terpilih pemimpin yang juga pencuri? Siapa yang akan melindungi minoritas non-pencuri?"
"Metafora yang absurd. Bahkan seorang percuri mikir dua belas kali untuk milih sesama maling sebagai pemimpin. Karena ia tahu bahwa harta miliknya tidak aman jika pemimpin kleptomania," sanggah kawannya sambil terus mengaduk telor.
"Tidak juga. Maling akan berpikir jika yang menjadi leader bukan dari kaumnya, maka leader itu akan membatasi usaha permalingan," ngotot orang pertama.
"Dan jika -hanya jika- yang terpilih ternyata non-pencuri, toh dalam waktu yang tidak terlalu lama ia akan menjadi pencuri juga, karena sadar bahwa konstituennya mayoritas pencuri. Seorang leader tidak dapat menjadi pemimpin tanpa pengikut yang mendukungnya," sambungnya. Ia berhenti untuk menyalakan rokok.
Setelah yakin bahwa telor setengah matang rata terkocok, pembicara kedua menghabiskannya dengan sekali teguk.
Pertanyaannya kepada orang pertama:
"Jadi kalau bukan dengan demokrasi, bagaimana caranya memilih pemimpin?
Kepemimpinan saat ini bukan jabatan turun-temurun seperti harta warisan. Jaman raja-raja sudah tidak mungkin diterapkan di era moderen ini. Sudah kadaluwarsa.."
"Yang terbaik adalah seperti 'Republik' Plato. Pemimpin ditentukan oleh segelintir elite jenius—c crème de la societe—yang bertanggungjawab terhadap hal-hal penting penyelenggaraan negara serta tidak memiliki kepentingan pribadi," jawab orang pertama, meskipun sebenarnya ia belum pernah membaca hasil pemikiran Plato, hanya mengutip dari artikel majalah tentang filsafat Yunani kuno.
"Tapi di negara modern yang menganut paham tiga pilar institusi menurut Adam Smith dalam Wealth of Nations, pembagian tugas antara pembuat kebijakan, pengambil keputusan dan penyelenggara keadilan membuat demokrasi layak dipertahankan," ngotot pembicara kedua yang juga mengetahui tentang Wealth of Nations dari pelajaran ilmu sosial semasa sekolah menengah.
"Pembuat kebijakan membuat undang-undang berdasarkan kebutuhan kelompok maling, pengambil keputusan berdasarkan rampasan yang dapat diraup, dan penyelenggara keadilan atas dasar jumlah uang sogok. Bagian mana yang layak dipertahankan?" sahut orang pertama.
"Baiklah. Jika pemimpin dipilih oleh sekelompok elite jenius, siapakah yang akan memilih para elite tersebut?" pembicara kedua bertanya.
Orang pertama itu diam. Ibarat bermain catur, maka pertanyaan tadi adalah schakmaat.
Alih-alih pembicaraan berganti haluan.
"Tahun depan pilih partai mana?"
"Aku memilih untuk jalan-jalan ke Pattaya. Kau?"
"Aku akan datang ke tempat pemilihan dan masuk ke bilik pencoblosan, tapi golput."
Orang pertama kemudian menjelaskan karena melihat dahi pembicara kedua yang berkerut:
"Kalau nggak milih nggak enak dengan si Fulan, si Fulin, si Fulun dan si Filun. Aku sudah janji untuk milih mereka semua, tapi kan nggak mungkin. Makanya perlu pura-pura. Jadi, siapapun yang menang nanti tetap punya backing vocal di parlemen," jawab orang pertama sambil nyengir.
"Sudah dapat paket proyek untuk tahun ini?" topik pembicaraan berganti lagi.
"Belum," desah pembicara kedua.
"Kalau kau?"
"Masih negosiasi dengan panitia dan pimpro untuk pengadaan korek kuping di dinas A. Mereka minta fee lebih besar lima persen dari yang biasanya.
Ada juga tawaran untuk proyek pengadaan tusuk gigi dan tisu wc dari pejabat kantor B. Nanti malam janji jumpa di lobby Hotel M," jawab kawannya tadi sambil menghabiskan teh susu dingin.
"Kalau butuh perusahaan pendamping, pakai saja punyaku," usul yang kedua.
"Beres, semua bisa diatur" sahut orang pertama.
Tak lama kemudian mereka bubar meninggalkan kedai kopi yang penuh dengan orang berseragam pegawai negara itu.
Banda Aceh, 9 Mei 2008
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (telah terbit)
Short StoryKumpulan flash fiction dengan berbagai rasa ini diterbitkan oleh Peniti Media berisi 45 flashfiction. Softcover, 125 pages (108+vii) Published September 16th 2016 by Peniti Media ISBN: 978-602-74796-1-6 Foto sampul hak cipta Ra Benlantara. Bebera...