Penjaja Doa

116 19 0
                                    

Kapan terakhir kali aku berdoa secara benar? Dulu sekali, ketika suci adalah aku. Waktu aku masih lugu, sungguh teguh.

Kini terlupa sudah. Eon berlalu dan doaku terpuruk di pelimbahan.

Suatu ketika lugu itu luruh, maka doaku berganti menjadi komoditi dagangan. Di tahlilan kematian, upacara pelantikan, pentas ketidaksenonohan. Untuk setiap baris doa yang kulafalkan ada tarifnya.

Aku masih menyebut nama-Nya. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, lewat tengah malam, dini hari. Sampai kemarin malam aku masih yakin Dia selalu mendengarkan doaku. Orang mati yang kudoakan akan tenang di alam kuburnya, takkan disiksa himpitan bumi biarpun bejat luar biasa. Penguasa yang dilantik akan amanah sampai esok harinya, matipun akan masuk sorga. Pentas topeng hura-hura akan membawa berkah bagi manusia yang lupa.

Sampai kemarin malam, sebelum tiba-tiba Malaikat Kematian menepuk pundakku, membuatku terbatuk-batuk nafas sesak, padahal tak mengidap asma. Lucu—atau justru tak lucu, ketika tangannya menjulur hendak meremas jantungku, aku malah terlupa semua lirik-lirik doa yang biasanya mudah saja kurapal dengan ludah berbusa-busa mirip mantra di wajah-wajah para pendusta. Aku masih melihat Tuhan saat itu, tapi hanya berupa bayang-bayang buram yang semakin menjauh, serupa kerdip lilin di kelam sunyi.

Kini aku termangu, terpisah dari jasad, menunggu, berharap ada yang mendoakan arwahku. Sungguh.


Bandung, 1 Maret 2016

Terdampar (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang