15 - Identitasnya

19 7 0
                                    

"Jadi benar dugaanku, kan? David itu kau?"

"Bukan."

"Lalu siapa David?"

"Kau lihat saja sendiri nanti."

"Kudengar kak Zayyan akan mati di tangan temannya. Apa itu benar? Jika iya, aku tidak ingin melihat kematian seseorang. Aku tidak sanggup melihat darah, luka, rasa sakit atau semacamnya." Ucap Ghassani bergidik.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu kelas. Tampak keringat bercucuran menghiasi wajah tampannya.

"Maaf atas keterlambatan saya, bu."

"Biasanya kau datang paling awal. Sudahlah, tidak apa-apa. Sekarang kau cepatlah duduk di kursimu. Tapi lain kali kau tidak boleh terlambat, ya."

"Iya, bu."

Ghassani melongo. Matanya membulat sempurna. Itu Delmar? Ataukah Paman Peri?

"I... Itu kau, kan, Paman Peri?"

"Menurutmu?" Jawab Paman Peri sedikit tersenyum.

Lelaki yang tampak seperti Paman Peri itu duduk di samping bangku yang tadi di tempati Zayyan. Ia melihat kedua kursi kosong di sampingnya itu. Dia kemudian mengacungkan tangannya.

"Bu, kemana Zayyan dan David?"

"Tadi Zayyan tampak terburu-buru. Mungkin ada sesuatu yang tertinggal. Kalau David... Seharusnya kau yang lebih tahu, bukan?"

"David sudah berangkat sejak saya masih tidur, bu. Dia meninggalkan catatan di pintu kamarnya." Jawab lelaki itu.

"Tapi tadi Zayyan membawa tasnya, bu." Sahut siswa yang lain.

Jadi benar. David itu bukan Paman Peri.

"Sebenarnya. Kau ini siapa, Paman Peri?"

Tak lama, lelaki serupa Paman Peri itu bergegas keluar dari kelas sembari menggendong tasnya. Ia berlari terburu-buru.

"Kau mau kemana, Davin?"
Teriak guru di depannya.

Namun lelaki itu tak menjawabnya, ia malah berlari semakin kencang.

"Davin? Jadi itu namamu, Paman Peri?"

Paman Peri mengangguk.

"Tunggu apa lagi?" Tanya Paman Peri. Ah, tidak! Davin.

"Haruskah aku mengejar Davin, Paman Davin?"

Davin yang berwujud peri itu tertawa kecil. Ghassani pun segera berlari, mengejar Davin yang masih berwujud manusia itu.

Seperti sebelumnya, tidak ada rasa lelah sedikit pun untuk Ghassani. Terlihat Davin yang tampak sangat kelelahan, namun Ghassani masih setia mengejarnya sampai kini ia berada tepat di samping Davin.

"Ada apa denganmu, paman? Mengapa setelah mendengar kak Zayyan dan David tidak masuk kau langsung berlari? Kau mau kemana?" Tanya Ghassani. Namun Davin tentu tidak dapat mendengarnya.

"TAKSI!"

Davin melambaikan tangannya, berusaha menghentikan taksi yang hendak lewat. Taksi itu pun berhenti. Davin bergegas masuk diikuti Ghassani di belakangnya. Ghassani tak sengaja menyentuh lengan Davin. Lelaki itu lantas mengusap lengannya sambil celingak-celinguk ke kanan dan kirinya.

"Maaf..." Ucap Ghassani pelan.

"Jadi kau yang menyentuhku waktu itu?" Peri Davin tiba-tiba berada di kursi depan, di samping supir taksi.

"Sejak kapan kau ada disana?"

"Aku mengikutimu."

"Sejak kapan?"

"Sejak awal."

Ghassani hanya bisa terdiam. Dunia ini memang sangat aneh.

***

Davin menyuruh pak supir untuk berhenti.

"Tempat apa ini?"

"Ini hari eksekusi ayah kami." Ujar Peri Davin.

"Kami?"

Paman Peri itu hanya tersenyum. Namun Ghassani dapat menebak bahwa ia menutupi wajah sedihnya itu. Terlihat jelas dari matanya.

Davin lagi-lagi berlari, hendak masuk ke dalam tempat yang tampak mengerikan itu. Di depan pintu gerbang, terdapat beberapa penjaga yang berusaha menghalanginya. Namun Davin bersikeras ingin masuk kesana.

"AKU ANAK DARI CAVERO! SEKARANG KALIAN DALAM BAHAYA!" Teriak Davin.

"Ku mohon, aku ingin menyelamatkan kalian semua. Aku tahu ayahku bersalah. Aku ikhlas jika dia harus dihukum karena dia memang pantas mendapatkannya. Tapi sungguh! Kalian benar-benar dalam bahaya saat ini. Terutama raja dan ratu." Lanjut Davin terus memohon pada para penjaga.

"Apa yang kau bicarakan, nak? Jika kau memang mengikhlaskan ayahmu, sudah! Pulanglah! Kau tidak akan sanggup melihatnya mati!" Jawab salah satu penjaga.

"Kalian tahu David saudaraku bukan?"

Kedua penjaga itu mengangguk.

"Dia telah merencanakan sesuatu untuk membebaskan ayah sekaligus menghancurkan raja dan ratu."

Para penjaga itu kini membulatkan mata, terkejut dengan pernyataan Davin.

"Benar! Aku tidak ingat David itu anak dari Cavero. Kalau begitu kita harus membantunya." Para penjaga kemudian membukakan pintu gerbang istana, mempersilakan Davin masuk.

"Tidak! Biar aku saja yang menghentikannya. Kalian tetaplah menjaga gerbangnya. Aku tidak ingin ada yang terluka."

"Tapi..."

Davin tak menghiraukan perkataan penjaga itu. Dia berlari sekuat tenaganya untuk menghentikan kekacauan yang akan terjadi.

"David? Davin? Kalian bersaudara?"

Paman peri mengangguk.

Aku bakalan mulai aktif lagi mulai sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bakalan mulai aktif lagi mulai sekarang. Baca terus kelanjutannya ya supaya ga penasaran. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen supaya author lebih semangat lagi lanjutin ceritanya. Hatur nuhun ^_^

- MY UNIVERSE -

My UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang