ON GOING
Terbangun dari tidur panjang dengan situasi berbeda. Setelah mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu, entah mengapa Ghassani berada disini, di rumah bak istana. Seluruh keluarga dan identitasnya masih sama. Ayah dan ibu, serta adik perempu...
Ghassani masih memperhatikan ketiga bayi yang mondar mandir di hadapannya sambil tertawa. Senyum Davin perlahan terukir tanpa izin di wajahnya. Mungkin ia melihat sosok sang putri yang ia cintai di dalam Ghassani. Namun segera Peri itu menggelengkan kepalanya. Dia kemudian berdiri dan hendak berjalan. Ghassani yang melihat itu lantas ikut berdiri berniat mengikuti Davin. Namun saat melangkah, tempat itu berubah... Lagi.
"Sekarang kita dimana?" Tanya Ghassani. Namun rupanya Davin sudah tak ada disana.
"Sial, aku bicara sendiri." Umpat Ghassani pada dirinya sendiri.
Ghassani melihat sekelilingnya. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah benda mirip roket, namun dengan ukuran mungil. Mungkin muat dimasuki satu bayi.
Ghassani melangkah cepat menuju roket mini tersebut, penasaran isi di dalamnya. Tampak sebuah pintu di bagian depannya. Ghassani menyentuh permukaan roket itu.
"Aaaaa benar. Aku bisa menyentuh orang dan benda-benda disini. Aku lupa. Oke! Mari kita lihat ada apa dibalik pintu ini!"
Ghassani membuka pintu roket itu. Di dalamnya tampak sangat nyaman. Setiap sudutnya menggunakan bantalan yang sangat empuk dengan satu bantal dan dua guling bayi. Apa mungkin ini alat untuk menidurkan bayi? Benar juga. Ghassani sempat berpikir begitu. Ruangan penuh alat-alat canggih ini pasti lab milik ayahnya Davin. Dia pasti membuat alat ini supaya mudah untuk menidurkan bayi-bayinya yang sangat aktif itu.
Seseorang membuka pintu masuk lab. Itu adalah pria yang Ghassani lihat di rumah sakit. Benar. Ayah dari Paman Peri.
"Apa pintunya rusak? Kurasa tadi aku sudah menutupnya. Atau mungkin aku lupa?" Ucap pria itu sambil berjalan menuju mesin roket mininya. Dia menutup pintu roket itu, kemudian pergi mengambil alat-alatnya di laci meja agak jauh di sampingnya.
Ghassani berkedip, namun ia kini berada di tempat lain. Tempat yang lumayan seram menurutnya. Tempat yang tidak memiliki banyak cahaya, namun cukup untuk melihat ada apa di sekitarnya.
"Astaga... Padahal aku hanya berkedip." Ucap Ghassani heran.
***
Terdengar percakapan samar. Ghassani melangkahkah kakinya ke depan. Ia yakin suara itu berasal dari depannya. Dan memang benar. Ghassani melihat dua pria disana. Satu pria menghadap ke arahnya dengan mengenakan kalung dan gelang bermutiara hitam serta pakaian yang serba putih itu tampak memejamkan matanya sambil menggoyang-goyangkan sebuah benda mirip ponsel yang super duper tipis bak kartu remi. Satu pria lagi membelakanginya, mengenakan jaket kulit hitam dan bucket hat di kepalanya. Ghassani tentu penasaran siapa dia. Tanpa ragu, gadis itu berjalan ke hadapan pria itu. Ia kemudian memutar tubuhnya untuk melihat wajah pria itu dengan jelas. Dan ternyata pria berpakaian hitam itu adalah ayah Davin.
"Kau harus membuang anak pembawa sial itu!" Ucap pria berkalung mutiara hitam sambil melihat ponsel tipisnya.
Ghassani menghampiri pria itu, menengok apa yang ada di layar benda pipih tersebut. Terdapat gambar 3 bayi. Kedua bayi tampak normal. Namun satu bayi paling ujung kiri nampak memegang sesuatu berbentuk bulat di tangan kirinya yang mungil. Setelah di perhatikan baik-baik bola tersebut terlihat seperti bumi.
"Kau lihat ini? Dia memegang tempat ia hidup seharusnya." Lanjut pria berkalung mutiara.
"Apa maksudnya itu?" Tanya ayah Davin.
"Kau harus membuangnya ke tempat itu."
"Yang benar saja! Mereka semua anak-anakku, peninggalan terakhir istriku. Aku tidak mungkin membuang salah satu dari mereka!"
"Hei, tuan. Aku ini seorang peramal legendaris. Semua orang mempercayaiku dan melakukan apa yang aku sarankan. Jika tidak, mereka akan mengalami kesialan seperti yang aku ramalkan."
Jadi ayah Davin mendatangi seorang peramal? Peramal legenderis pula? Tapi untuk alasan apa? Zaman sekarang masih percaya ramalan? Ghassani tak habis pikir. Ah, tapi benar juga. Ini masa lalu, bukan masa yang ditinggali Ghassani.
Ayah Davin termenung sesaat menahan air matanya.
"Dengar. Anak bungsumu itu benar-benar membawa malapetaka. Bencana pertama yang ia bawa adalah kematian ibunya. Dia yang lahir paling akhir bukan?" Lanjut peramal. Ayah Davin mengangguk pelan. Kemudian, peramal itu kembali melanjutkan,
"Selanjutnya dia tidak mewarisi apapun dari kedua orang tuanya. Dia terlahir normal namun tidak memiliki otak yang normal."
"Apa maksudnya?!" Marah ayah Davin.
"Tenang dulu, profesor. Maksudku dia tampak seperti anak-anak seusianya. Tapi dalam hal belajar, dia memiliki masalah. Dia tidak akan sanggup menyetarai kakak-kakaknya, benar-benar terbelakang, tidak akan mendapat juara di kelasnya. Dia bayi yang terlalu aktif sehingga membuatmu kewalahan mengurusnya. Namun sayang sekali, perjuanganmu itu akan sia-sia karena dia tak akan pernah membuatmu bangga. Selain itu, dia juga akan mati muda. Mungkin sekitar...." Peramal itu lalu tampak menghitung menggunakan jari-jarinya.
"Ck, SMA? Sangat muda. Sekitar... 18 tahun!" Tegas peramal itu kemudian.
"Jaga bicaramu, ya!" Ayah Davin semakin naik pitam. Ia berdiri dan menarik kerah pak peramal. Sedang Peramal itu hanya tersenyum miring dan berkata,
"Hei, hei. Anda datang secara berkala dan tidak pernah bersikap begini. Tak apa jika tidak percaya padaku. Tapi aku tahu kau akan melakukan sesuai perintahku. Ingatlah. Nama planet itu 'Bumi', dunia paralel kita. Namun berhati-hatilah. Kau bisa menggila jika salah mengirim anak. Mereka kembar bukan? Kau dan aku bisa mati jika sampai salah."
Ayah Davin melepas kerah peramal itu dan berlalu begitu saja bersama tangis yang tak sanggup ia bendung lagi.
"Ck ck ck, sungguh ramalan yang menakutkan." Ghassani merinding ketakutan.
"Anak bungsu itu bukannya... Davin!" Ghassani amat terkejut. Ia ingat Davin mengatakan bahwa dirinya adalah anak bungsu dari tiga saudara kembar itu.
"Benar, seharusnya aku yang ada disana. Mengerikan bukan? Sepertinya aku masih hidup dan tinggal di planet bernama bumi itu jika ayah membuang bayi yang benar. Peramal itu tidak akan mati. Ayah, David dan Delmar akan hidup bahagia sampai sekarang..." Davin tiba-tiba muncul di samping Ghassani, membuat Ghassani yang semula terkejut semakin terkejut setengah mati.
"Kau mengagetka... Tunggu! Delmar?!"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.