1. Asa yang Terkoyak

2.4K 179 19
                                    

Gelegar sambaran petir menyambar memekakkan telinga. Gemuruh angin yang cukup kencang disertai derasnya guyuran air hujan sore ini rata menyapu Bumi. Membasahi setiap jengkal tanah tanpa kecuali. 

Embusan hawa dinginnya cukup kencang merasuk ke dalam kedai kopi tempatku berada hingga membuatku menggigil. Setelan tunik dan celana kulot dari bahan katun rayon yang kupakai tak cukup melindungi tubuhku. Begitulah cuaca Bogor yang memang curah hujannya lebih tinggi dari kota lainnya, sesuai dengan julukannya yakni Bogor si Kota Hujan.

Sebenarnya aku menggigil bukanlah sepenuhnya karena dinginnya udara, melainkan penyebab utamanya adalah pria yang duduk berhadapan terhalang meja denganku. Usianya lima tahun lebih tua dariku, pria yang sudah enam bulan ini bertunangan denganku dan dua bulan lagi akan menjadi suamiku sesuai rencana para orang tua.

“Azalia, aku sungguh minta maaf,” ucap Haikal lagi padaku. Terhitung sudah ke lima kalinya dia mengatakan hal yang sama. 

Aku masih belum mampu merespons. Tubuhku beku, lidahku kelu. Kembali kuresapi kalimat yang sebelumnya Haikal utarakan padaku meski aku tak mau. 

Azalia, aku ingin membatalkan pertunangan kita. Aku tidak bisa meneruskan lagi hubungan ini karena aku menghamili Stella, anak atasanku. Dia lebih membutuhkanku. Sebagai ayah dari anak yang dikandungnya aku harus bertanggung jawab. 

Itulah kalimat yang diungkapkan pria berambut lurus berwajah rupawan itu di acara pertemuanku dengannya yang hampir dua bulan ini tak bersua lantaran kesibukan masing-masing. Untaian kata demi kata yang meluncur dengan lugas dari bibirnya. Gaungnya berdenging melebihi gelegar petir, juga seumpama ribuan pedang tajam yang langsung dihujamkan tepat di jantungku tanpa ampun, ditikamkan sekuat tenaga, terasa luar biasa sakit dan sesak. Seolah rongga dadaku menyempit, menghimpit segumpal daging di dalamnya dan membuatku nyaris kesulitan bernapas.

Haikal bekerja di Hotel bintang lima yang berada di kota ini, Kota Bogor. Dan lima bulan yang lalu dia dipindah tugaskan ke Hotel pusat yang berlokasi di Bali tepat satu bulan setelah acara pertunangan. Haikal begitu gembira, tentu saja aku pun ikut senang lantaran mutasi tersebut berefek baik pada jabatannya, yang asalnya supervisor naik menjadi manager.

Sebagai calon istrinya aku mendukung penuh keputusan yang diambilnya, bagaimana pun juga semua yang dikerjakan Haikal adalah demi masa depan kami. Kendati semua itu berimbas pada rencana pernikahan yang awalnya akan digelar tiga bulan setelah pertunangan menjadi lebih mundur lagi beberapa bulan sesuai permintaan Haikal yang ingin fokus terlebih dahulu pada jabatan barunya. 

“Azalia,” cicitnya lagi.

“I-ini pasti bohong kan? Mas cu-cuma pengen ngerjain aku kan?” sahutku tergeragap masih berusaha menyangkal. Tak ingin memercayai pendengaranku sebelumnya. 

“Jangan bercanda kayak gini, Mas. Nggak lucu. Pernikahan kita tinggal dua bulan lagi, tepat setelah lebaran kita akan sah menjadi suami istri dan aku akan ikut ke Bali. Aku sudah bicara dengan pemilik toko kue tempatku bekerja dan bosku mengizinkanku berhenti bekerja setelah menikah. Ibuku juga sudah menyetujui keinginanku nanti, meskipun awalnya sulit untuk membujuknya," tuturku dengan suara rendah. Berusaha tetap tenang dalam kabut menakutkan yang mulai melingkupi. 

Haikal tampak menghela napas dalam-dalam dan kembali menatapku. Tatapan yang baru kali ini kudapatkan. Dingin dan datar. Kehangatan yang selalu menguar dari iris netra hitam itu kini punah, menguap ke udara lalu tersapu angin dan terbang entah ke mana. 

“Azalia, aku yakin telingamu tidak tuli. Rencana kita tidak bisa dilanjutkan lagi karena aku akan menikahi gadis yang kuhamili! Juga tentang rasaku padamu, kini sudah tak ada lagi,” jelasnya lebih tegas tanpa kelembutan padaku yang tengah disuguhkan secawan racun pahit getir darinya dan dipaksa meneguknya. 

Kupejamkan mata merasakan tusukan nyeri di dada. Kuremas ujung kerudungku mencari kekuatan di sana. Nelangsa menyeruak begitu saja memenuhi ruang kalbuku tanpa permisi. Ingin kutahan air bening yang mulai mendesak di pelupuk, tetapi akhirnya terjatuh juga. 

“Apa salahku, Mas? Kenapa kamu setega ini padaku!” jeritku penuh kepedihan seraya terisak. 

Haikal mencondongkan tubuh padaku dengan kedua tangan bersedekap di meja. 

“Kamu sendiri yang menyebakan semua ini terjadi. Rasaku padamu telah pudar, karena selama kebersamaan kita kamu tak pernah bisa memberi seperti yang Stella berikan padaku! Mulutmu berkata cinta padaku, tapi seujung kuku pun aku tak pernah diizinkan untuk sekadar memelukmu. Berbeda dengan Stella, yang memahami kebutuhan pria dewasa sepertiku. Orang tuaku sudah kuberi tahu tentang hal ini dan mereka akan segera menemui ibumu untuk membatalkan pertunangan kita!” sembur Haikal lantang tanpa perasaan. 

Author note.

Ramaikan dengan bintang dan komentar ya, biar author update lagi. Thank you 🤗






Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang