11. Kamu Istimewa

742 125 11
                                    


Ibuku dan Bu Husna getol menyumpalkan potongan buah ke mulutku. Mereka begitu bersemangat mengupas dan memotong berbagai macam buah-buahan lezat yang dibawakan Althar. Dua wanita paruh baya itu kompak, sesekali bercanda menggodaku dan menjauhi pembahasan yang menyinggung mengenai batalnya pernikahanku. Kendati aku menerka, Bu Husna pasti sudah mengetahui kandasnya rencana janji suciku. Terlihat dari bagaimana dia berusaha menghibur dan menguatkanku meski melalui cara yang tersirat.

Althar lebih banyak diam dan duduk di sofa ruang perawatan dengan Nada di pangkuannya, mengobrol dengan putri kecilnya entah membahas apa. Sesekali sudut mataku mencuri pandang ke arah pria berkemeja biru tua itu. Terkadang sorot matanya seakan menyimpan kesepian yang disembunyikan dibalik sikap tenang dan datarnya.

Perutku sudah hampir meledak rasanya. Kunyahanku kali ini adalah potongan terakhir dari buah apel yang dimasukkan ibuku ke mulutku. Kuucapkan hamdalah setelah membasuh mulut dengan air mineral dan tak terasa adzan Magrib pun berkumandang.

Althar pamit untuk melaksanakan salat di masjid rumah sakit, sedangkan ibuku, Bu Husna dan Nada memilih salat berjamaah di ruang perawatanku. Ibuku sengaja membawa tikar bersih untuk digelar di sudut ruangan setiap kali hendak menunaikan salat. Aku pun ingin ikut menuanaikan ibadah wajibku meski masih belum bisa bergerak leluasa. Saking wajibnya bahkan salat harus tetap dilakukan meski dengan kedipan mata saja saat kita sedang sakit.

Ibuku membantuku berwudhu dengan cara tayamum, mengingat banyak bagian kulitku yang belum boleh terkena air. Masih terbungkus perban di mana-mana. Mukena dipakaikan, dan aku salat dengan posisi duduk bersandar ke tempat tidur yang diatur agar bagian belakangnya menjadi lebih tegak.

Setelah salam terakhir, aku berdizikir dan bertasbih dari hati juga lisanku. Memuja Sang Pencipta pemilik seluruh alam beserta isinya. Lantunan sholawat tak lupa kucurahkan juga pada jungjunan alam nabi akhir zaman.

Kupanjatkan do'a, memohon diberi ketentraman serta ketenangan batin. Semoga rasa sakit yang mendera jiwa dan ragaku menjadi kifarat akan dosa-dosaku yang telah lalu, baik yang disengaja maupun tidak. Seperti pepatah yang berbunyi, Al Insaan mahalul khatha' wan Nisyaan, yang artinya bahwasanya manusia memanglah tempatnya salah dan lupa.

Di penghujung do'a, aku berseru pada hatiku agar ikhlas melepas semua beban yang bergelayut menyiksa di dada. Tak ingin larut terjebak dalam kubangan beracun penuh luka.

"Jadi bagaimana? Apakah Bu Rahma ingin mambawa kasus kecelakaan yang menimpa Azalia ke jalur hukum atau tidak? Jika ingin melalui prosedur hukum yang berlaku maupun jalur damai, saya dan Althar siap membantu. Anggap saja sebagai ungkapan kecil terima kasih saya, karena bersama Bu Rahma juga Azalia, Nada jadi lebih bersemangat belajar mengaji. Selama ini saya susah menemukan guru yang bisa mengayomi cucu semata wayang saya. Nada termasuk anak yang tidak mudah akrab dengan orang baru. Persis seperti Papanya sewaktu kecil."

Bu Husna menawarkan bantuan dengan tulus, dapat kurasakan dari nada bicara juga dari raut wajahnya. Kami tengah membahas tentang pelaku yang menabrakku. Dari cerita ibu, ternyata tersangkanya adalah anak di bawah umur berjumlah tiga orang. Mereka membawa motor ugal-ugalan tanpa sepengetahuan orang tuanya, bahkan tidak memakai helm dan belum memiliki SIM.

"Seharusnya para orang tua bisa mengawasi anak-anak mereka yang masih di bawah umur dan menindak tegas jika melanggar. Belum sepatutnya diberi kuasa membawa kendaraan. Karena apa yang mereka lakukan bisa membahayakan nyawa, merugikan diri sendiri juga orang lain. Beruntung Azalia hanya mengalami luka luar, jika tidak, mungkin sudah kugiring mereka ke penjara supaya mendapat hukuman setimpal."

Althar berucap geram. Kalimatnya kali ini tidak singkat seperti sebelumnya. Aku sampai melongo saat dia tampak emosi. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Hei, kenapa yang di dalam sana malah ingin melompat-lopmpat lagi, memangnya jantungku ini pocong?

"Azalia, bagaimana menurutmu? Sebagai korban, langkah apa yang ingin kamu ambil? Ibu juga marah terhadap mereka, tetapi orang tuanya menunjukkan itikad baik dan langsung datang ke rumah meminta maaf. Bahkan bersedia bertanggung jawab membiayai semua perawatan rumah sakitmu meskipun mereka hanya buruh pabrik. Mereka juga menyerahkan semua keputusan padamu dan siap menerima segala konsekuensinya." Ibu meminta pendapatku. Aku terdiam dan bepikir cukup lama sebelum akhirnya memutuskan.

"Bagaimana kalau kita selesaikan secara kekeluargaan saja, Bu? Anak-anak itu memang salah, tapi aku juga tidak terluka terlalu parah. Lagi pula bisa jadi aku pun kurang berhati-hati saat itu. Yang kuinginkan agar orang tuanya lebih perhatian, menasehati anak-anak itu dan jangan dibiarkan lagi membawa kendaraan sebelum cukup usia dan paham akan tanggung jawab di jalanan. Jangan sampai ada korban lainnya lagi, cukup aku saja."

"Jadi, kamu memilih untuk berdamai saja?" Ibuku kembali bersuara dan Althar menatap lurus padaku membuatku refleks segera menundukkan wajahku karena gugup.

"Iya, Bu. Menjelang Ramadhan ini, aku ingin mereka bisa berkumpul beribadah puasa dengan keluarga. Sedih pastinya, baik orang tua maupun anaknya jika mereka terpisah di bulan suci yang sebentar lagi tiba. Orang tuanya di rumah sedang anaknya di kantor polisi. Jika masih bisa diselesaikan dengan cara yang mudah, kenapa memlilih jalan yang susah? Berharap semoga Allah pun memudahkan jalan kehidupanku ke depannya."

Bu Husna dan ibu mengelus lenganku seraya mengulas senyum. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Ibu akan mendukungmu, Nak," ucap ibuku kemudian disusul Bu Husna yang juga meyambung kata. "Jangan pernah bosan untuk tetap berbuat baik, Azalia. Tetaplah menjadi bunga yang indah dan semerbak mewangi, kamu istimewa."

"Terima kasih, Bu. Terima kasih Bu Hajjah."

"Kakak, ini dibacanya bagaimana?" Nada menarik-narik lengan bajuku dengan buku iqra di tangan. Rupanya bocah itu sejak tadi sibuk sendiri sementara kami berempat bertukar kata.

"Nada bawa Iqra rupanya. Ayo, naik ke sini." Aku menepuk-nepuk sisi ranjangku dan Althar memangku Nada mendudukannya di sebelahku.

"Iya, Nada bilang tetap ingin mengaji bersamamu, Azalia. Makanya tadi saat diajak ke sini dia bersikeras membawa mukena dan buku Iqranya. Sudah dilarang pun tetap saja merengek."

"Tak mengapa, Bu Hajjah. Ayo, Nada. Kita baca bareng-bareng," ajakku dan bocah itu mengangguk patuh.

Nada begitu antusias. Bicaranya memang masih sedikit cadel. Akan tetapi Nada tetap serius mengikuti setiap arahanku. Kutuntun dengan sabar, tak lupa mulai mengajarkan makhorijul huruf agar Nada terbiasa nantinya, berlatih supaya fasih membaca huruf hijaiyah secara keseluruhan.

Ibuku dan Bu Husna menyambung berbincang tentang hal lain. Sedangkan Althar kembali duduk bersandar di sofa dengan ponsel di tangan. Sudut mataku dapat menangkap, sesekali Althar memaku pandangan padaku juga Nada. Membuat bulu kudukku sedikit meremang. Dan tanpa diduga Nada bersuara mengucapkan kalimat yang membuat seisi ruangan tercengang.

"Papa, kenapa liatin Kak Azalia terus? Cantik ya, kayak Nada?" ujarnya polos.

Bersambung.

Author note:

Halo para pembacaku tersayang. Terima kasih sudah membaca kisah Althar dan Azalia. Jangan lupa tekan bintang dan komentarnya ya 🥰 . Kalau bintangnya sudah 50, akan aku up bab berikutnya 🤗.

Bagi yang ingin membaca lebih cepat, silakan mampir ke KBM App dengan judul yang sama. Sudah tamat di sana. Happy reading.

Thank you 💕💜

Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang