4. Penculik

827 114 7
                                    

Bab 4. Penculik

Orang-orang satu-persatu meninggalkan masjid setelah rangkaian acara Nisfu Sya'ban selesai. Aku sengaja berlama-lama duduk diam sembari menunduk dalam, tak ingin ada yang melihat wajah sembap dan mata bengkakku, menunggu hingga para jamaah lainnya pulang lebih dulu.

Kulirik bocah cantik di sebelahku. Dadanya turun naik teratur pertanda tidurnya pulas. Pipi bulat membingkai wajah lucunya dengan mata terpejam begitu damai. Mampu sedikit melegakan himpitan berat di kalbuku.

Kurasakan usapan lembut di pundakku dan ternyata itu ibuku. Aku meliriknya sekilas dan kembali menunduk, berpura-pura melipat rok mukenaku lantaran tidak ingin ibu melihat jejak-jejak air mataku. Beruntung ibu tidak memakai kacamata rabun dekatnya, sehingga penampakkan wajahku takkan begitu kentara di matanya.

"Azalia, Ibu mau ke rumah Bu RT sebentar. Mau berembuk dengan ibu-ibu pengurus masjid lainya, membahas tentang kegiatan taklim dan tadarus untuk bulan Ramadhan nanti. Bu RT sudah menunggu. Kamu bisa pulang sendiri kan? Tentang Nada, nanti pembantunya Bu Hajjah Husna yang akan menjemput ke rumah. Tapi Nadanya tidur ya? Dibangunkan saja, khawatir kamu tidak kuat menggendongnya."

Ibuku hendak membangunkan pelan bocah lucu yang terlelap itu. Secepat mungkin kutahan tangan beliau.

"Tidak usah dibangunkan, Bu. Kasihan, tidurnya pules banget. Jangan khawatir, aku kuat kok menggendongnya. Ibu pergilah, aku bisa pulang sendiri. Umurku sudah 22 tahun, bukan anak remaja lagi," ujarku. Kupaksakan diiringi kekehan di akhir kalimatku dengan tangan sibuk melipat sajadah kini.

"Iya, anak ibu sudah bukan remaja lagi. Tidak terasa, sebentar lagi sudah mau menikah. Ibu pergi dulu ya, sudah di tunggu di teras rumah Bu RT.

Gerakan tanganku melipat sajadah terhenti setelah ibu beranjak keluar menuju rumah Bu RT yang letaknya berhadapan dengan masjid. Ucapannya yang begitu gembira tentang pernikahanku seumpama hantaman gelombang pasang menyerbu memporak-porandakan kalbuku. Bersarang serupa peluru tepat di jantungku. Begitu nyeri di ulu hati. Isi rongga dadaku terasa seperti diremas oleh tangan-tangan tak kasat mata hingga tak berbentuk. Andai ibu tahu bahwa mahligai pernikahan yang akan kusongsong hanya tinggal kenangan, entah akan seperti apa responsnya.

Kutarik dan kubuang napas teratur berusaha mengenyahkan sesak di dada. Menahan gejolak kesedihanku agar tidak mencuri kesempatan untuk merebak di mataku yang kembali memanas. Kuputuskan membasuh wajahku di keran-keran tempat berwudhu sebelum pulang, berharap bisa membantu menghapus jejak-jejak tangisanku sedikit saja.

Saat masuk kembali ke dalam masjid, aku terkesiap dan terkejut bukan main. Seorang pria berbaju koko warna biru muda sedang berjongkok hendak meraup Nada yang terlelap. Aku berlari, menyambar sebuah sajadah yang tergeletak di dekat pintu masuk dan kuayunkan ke arah punggung pria tersebut sekencang yang kubisa.

"Hei siapa kamu? Ini di masjid. Bisa-bisanya malah mau menculik anak-anak!" jeritku sambil memukulinya membabi buta bersenjatakan sajadah yang entah milik siapa. "Tolong, ada penculik. Tolong!" teriakku tanpa menghentikan seranganku.

Dua orang bapak-bapak yang salah satunya adalah pengurus kebersihan yang masih berada di sekitar masjid menghambur masuk. Orang yang kupukuli mengaduh, tetapi aku terus menghantamkan sajadah yang kupegang.

"Ini ada apa?" tanya Bah Diman si pengurus kebersihan masjid dengan napas ngos-ngosan setelah menghentikan adegan aksiku.

"Ini, Pak. Orang ini mau nyulik Nada! Tadi saya tinggalkan Nada sebentar untuk mencuci muka dulu. Saat saya kembali orang ini tengah berjongkok mau mengambil Nada yang sedang tidur," selorohku tanpa jeda dengan tatapan galakku.

"Astaghfirullahala'zim, segeralah bertaubat! Jangan mengotori tempat suci ini dengan berbuat kejahatan!" tegur Bah Diman tegas.

"Tunggu dulu, ini salah paham. Saya bukan penculik," sahut si pria yang berjongok itu tenang. Ia berdiri, membetulkan pakaian dan rambut acak-acakannya kemudian memakai kembali pecinya yang terpental.

Napasnya tampak tersengal naik turun. Aku tertegun dan untuk sejenak malah terpesona. Pria di hadapanku ini sangat amatlah tampan. Kulit bersih, alis tebal, hidung mancung dan sedikit jambang halus membingkai wajahnya. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Sepertinya karena terlalu banyak menangis kewarasanku agak berkurang, aku malah terpesona di situasi darurat, jelas-jelas dia itu penculik. Sadarlah Azalia, sadar! seruku dalam hati.

Segera Kuraup Nada yang tertidur ke dalam dekapanku. "Kalau bukan penculik, lantas apa namanya? Jelas-jelas tadi saya melihat Abang ini mau membawa Nada!" Tudingku padanya berapi-api.

Aku baru pertama kalinya melihat pria ini di daerah tempat tinggalku. Dan sepertinya bukan hanya aku, Bah Diman dan satu orang bapak-bapak yang berdiri di sampingnya juga tampak tidak mengenali.

Namun, tak lama ibuku datang disusul ibu-ibu yang lain lalu menepuk bahuku kencang. Sepertinya keributan di dalam masjid terdengar sampai ke teras rumah Bu RT.

"Astaghfirullahala'zim, Azalia!" Ibuku melotot padaku. Kini aku kebingungan apa salahku.

"Bapak-bapak ini bukan penculik. Tapi Nak Althar, putranya Bu Hajjah Husna," jelas ibu.

Seketika mataku membulat sempurna bersamaan dengan Nada yang terbangun di gendonganku. Bocah itu melihat ke arah pria berhidung mancung di hadapanku lalu berkata, "Papa?"

Apa? Papa? pekik batinku, terkejut juga malu.

Bersambung











Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang