12. Menyudahi Kisah

739 115 17
                                    

Bab 12. Menyudahi Kisah

Tiga hari dirawat di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa aku sudah bisa pulang. Luka-lukaku sudah membaik, tinggal melakukan kontrol rawat jalan saja. Setelah beberapa hari beristirahat di rumah aku bersiap untuk menyelesaikan urusanku yang tertunda. 

Di Minggu pagi ini kupakai baju terbaikku. Gamis berwarna hijau lumut dipadukan dengan jilbab warna mocca, berdandan serapi mungkin dan memoleskan sedikit bedak di wajahku.

Dengan uang tunai di tangan kumantapkan langkahku menuju rumah Haikal. Kumasukkan rapi ke dalam amplop uang 25 juta rupiah yang ditagih kembali oleh Haikal. Semula ibu ingin ikut serta lantaran khawatir padaku yang baru pulih jika harus berangkat sendiri, tetapi aku meyakinkan dan meminta kepercayaannya bahwa aku bisa.  Tidak ingin mereka menyemburkan kata-kata yang melukai hati ibuku nantinya. Biar aku saja yang menghadapinya. Aku tidak rela jika ibu sampai mendengar kalimat-kalimat merendahkan dari keluarga Haikal terlontar kepada wanita yang paling kuhormati di muka bumi.

Kuayunkan kaki dengan butiran bacaan tasbih membasahi lisanku. Berdo’a agar diberi kekuatan dan kelapangan hati menghadapi mereka. Tak dipungkiri, nafsu angkara murka dalam diriku memberontak dan berteriak supaya bibir ini memanjatkan do'a yang buruk untuk Haikal dan keluarganya. 

Namun, do’a bekerja memiliki mekanismenya. Maka dari itu kita sering mendengar tausiah dari para guru, berdo’alah yang baik untuk siapapun meski kau disakiti. Karena esensinya setiap do’a akan kembali pada si pemohon do’a. Do’a baik yang kau panjatkan untuk orang lain, maka akan berimbas baik juga padamu karena para malaikat akan mengaminkan setiap do'a dan mengatakan untukmu juga. Sekarang, coba bayangkan jika kita berdo’a yang buruk lantaran rasa dendam terhadap seseorang. Maka do’a buruk tersebut juga akan berbalik pada si pengucap do’a serupa bumerang. 

Sepanjang kakiku melangkah menuju depan gang aku berpapasan dengan banyak orang. Ada yang menyapa ramah, ada juga yang berbisik-bisik. Samar-samar kudengar mereka membicarakanku, tentu saja pernikahanku yang batal seumpama daging empuk lezat sebagai santapan bahan gosip. Aku tak ingin ambil pusing dan memilih tidak peduli. 

Saat keluar dari gang aku dikejutkan dengan suara klakson dari Range Rover warna putih yang berhenti di depan gang. Kaca jendelanya yang berwarna hitam perlahan turun dan seseorang  yang selalu membuatku terkena serangan canggung ada di dalam sana. Yang mengendarai mobil tersebut adalah Althar. Ia memakai kaos oblong putih dan trening hitam dilengkapi topi, sepertinya habis berolahraga. 

“Ehm. Azalia, kamu mau pergi ke mana?” tanyanya. 

“Eh, P-Pak. Ma-maaf maksudku Kak Althar. Saya mau pergi ke daerah Warung Jambu. Ada perlu,” sahutku pelan, kurundukkan pandanganku sambil meremas ujung kerudungku yang menjuntai. Setelah negosiasi yang cukup alot sewaktu di rumah sakit, akhirnya kami mencapai kesepakatan, bahwa panggilanku padanya adalah kakak. 

“Mau diantar sekalian? Saya juga mau ke daerah sana. Mau beli bubur ayam yang terkenal dekat Plaza Jambu Dua. Sudah lama nggak nyicip,” ujarnya.

“Nggak usah ngerepotin, Kak. Saya naik angkot saja,” tolakku halus. Lagi pula aku pasti merasa canggung luar biasa jika hanya berdua saja di dalam mobil dengannya. Bagaimana pun juga aku tak menampik. Aura Duda beranak satu ini tidak main-main, mampu membuat jantung para kaum hawa berdebar-debar tak karuan.

“Kamu yakin mau naik angkot dengan luka lututmu yang baru sembuh itu? Memangnya bisa ditekuk? Duduk di angkot pasti kurang nyaman dengan kondisimu yang belum pulih benar.” 

Ucapan Althar memanglah benar adanya. Aku lupa, kalau dia juga sangat tahu akan perkembangan penyembuhan luka-lukaku. Selama di rumah sakit Althar dan Bu Husna tak pernah absen untuk berkunjung. 

“Tak mengapa, saya sudah biasa naik angkot, Kak. Silakan dilanjutkan perjalanannya,” jawabku sopan padanya dengan satu tangan terangkat ke udara, mempersilakan dia untuk meneruskan perjalanan. Lagi pula jika hanya berdua saja di dalam mobil takut menimbulkan fitnah.

“Kamu takut kalau kita hanya berduaan saja iya kan? Jangan kahwatir, ada Nada di belakang.” Dia mengarahkan telunjuknya ke jok penumpang sambil tersenyum geli ke arahku, dia ini sepertinya dapat membaca pikiranku. Kurasakan pipiku menghangat karena malu. “Saya juga tidak mungkin mengajakmu pergi kalau cuma berdua saja kecuali dalam kondisi darurat. Saya pun khawatir timbul fitnah. Ayo, naik. Nggak ada alasan lagi bukan? Tidak baik menolak rezeki." 

Aku melongokkan kepala lewat jendela depan melihat ke jok penumpang untuk memastikan. Benar saja di belakang ada Nada yang sedang menonton kartun dari televisi portable yang terpasang di badan kursi kemudi bagian belakang. Nada juga memakai headset, pantas saja bocah itu tidak ikut merecoki. 

“Ba-baiklah, Kak.” Walaupun sungkan, kubuka pintu mobilnya dan naik. Lalu aku tersentak kaget lantaran lengan kecil Nada memeluk leherku dari belakang. “Asik, ada Kak Azalia,” pekiknya senang lalu setelahnya bocah itu kembali fokus dengan film kartunnya dan mobil pun melaju.

“Saya turut prihatin.” Althar membuka pembicaraan setelah tadi hanya hening yang membentang. 

“Terima kasih,” sahutku pelan. Aku paham maksud ucapan Althar, sudah pasti dia prihatin akan kandasnya rencana pernikahanku. 

“Tapi kamu beruntung. Hanya rencana pernikahanmu yang batal, bukan rumah tanggamu yang tercerai-berai." Althar berkata sambil tetap lurus fokus menatap jalanan. Entah mengapa dia tiba-tiba membuka topik semacam ini.

“Kenapa Kak Althar bercerai?” Ingin sekali kutampar mulutku, aku malah jadi penasaran akan kisah cinta orang lain sementara kisahku sendiri sudah tak berbentuk. 

Althar menoleh sekilas ke belakang lalu kembali fokus ke depan. “Dia … selingkuh,” jawabnya pelan. Sepertinya tadi Althar melirik ke arah Nada untuk memastikan bocah itu masih memakai headset di telinganya. 

“Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali pasangan yang gemar berselingkuh!” decakku kesal. Namun, sepersekian detik mataku membulat dan kubekap mulutku sendiri. “Maaf,” cicitku tak enak hati, merasa lancang. 

“Sepertinya nasib kita sama.” Althar terkekeh dan itu menular padaku. 

“Azalia, pada faktanya dalam setiap hubungan diuji dengan munculnya satu kali celah kesempatan untuk berselingkuh. Ada yang mengambil godaan itu ada juga yang lulus ujian. Hanya orang-orang yang menghargai komitmen lah, yang tidak akan tergiur akan hal itu.” Althar menyambung lagi kalimatnya dan aku memilih mendengarkan saja, takut mulut ini kembali lancang dan terlalu ingin tahu akan urusan orang lain.

Tak terasa aku sudah sampai di daerah Warung Jambu di mana rumah Haikal berada. Kuucapkan terima kasih dan segera turun, bergegas masuk ke gang besar yang terdapat di sebelah kanan jalan, letak rumah Haikal masuk ke dalam gang tersebut sekitar seratus meter dari jalan utama.

Kuambil dan kubuang napas begitu sampai di depan pintu rumah yang dulu pernah membuatku berdebar bahagia. Kuketuk tiga kali dan kuucapkan salam. Tak lama kemudian penghuni rumah membukakan pintu dan ibunya Haikal lah yang muncul.

Aku duduk setelah dipersilakan. Tanpa berbasa basi lagi langsung kuserahkan amplop berisi uang. Aku tetap berusaha berbicara sesopan mungkin meski respons wanita yang dulu akan menjadi mertuaku ini kini berubah sikap seratus delapan puluh derajat. 

Tak ingin berlama-lama aku segera berpamitan, setengah berlari keluar dari sana. Kakiku terasa lemas tak bertenaga. Dadaku sesak, mataku memanas dan sumber airnya kembali terurai.

Kalimat-kalimat ibunya Haikal memang tidak ramah juga sinis, tetapi untuk semua itu aku sudah menyiapkan mentalku. Hanya saja pemandangan lain yang terlihat dari ruang tamu rumah Haikal lah yang membuat luka hatiku terasa kembali disayat silet. Di sana aku melihat, mantan calon suamiku tengah memeluk sambil mengelus perut seorang wanita dengan mesra. 

Bersambung.

Author note:

Halo para pembacaku tersayang. Terima kasih sudah membaca kisah Althar dan Azalia. Jangan lupa tekan bintang dan komentarnya ya 🥰 . Tekan bintang gratis lho.

Bagi yang ingin membaca lebih cepat, silakan mampir ke KBM App dengan judul yang sama. Sudah tamat di sana. Happy reading.

Thank you 💕💜

Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang