10. Panggil Papa

993 126 7
                                    

10. Panggil Papa

Bau desinfektan menguar kuat menyambut indera penciumanku. Kepalaku terasa berat, tangan dan kakiku seakan kaku untuk digerakkan juga ada sesuatu yang berdenyut mengganggu di kaki kananku. Kucoba membuka mata, seperti ada beban yang bergelayut di kelopak mataku sehingga aku cukup kesulitan untuk membukanya, butuh usaha dan tekad, sepertinya sesuatu dalam diriku ingin terus menarikku ke dalam pelukan gelapnya. Atau, lebih tepatnya aku yang enggan terbangun.

Cahaya lampu menyambut netraku. Aku mengerjap kemudian memejam kembali cukup lama setelah kurasakan hantaman sinar lampu yang berhasil membuat kepalaku berdenyut nyeri, padahal hanya cahaya temaram dari lampu tidur di atas kepalaku.

Aku meringis dan merintih pelan, kala kurasa seluruh tubuhku remuk redam. Sakit dan berdenyut di mana-mana. Kembali kubuka mata perlahan, kuedarkan pandanganku yang mulai menyesuaikan. Kuamati sekitar, ruangan ini serba putih dan di samping kiriku terdapat selang infus yang setelah kuperhatikan dengan saksama ternyata langsung tersambung ke punggung tanganku.

“Azalia, kamu sudah sadar, Nak.” 

Ibuku ternyata berada di sisi kanan ranjangku. Ia tampak kacau. Wajahnya sendu dengan jejak basah air mata yang masih menyisakan sembapnya. 

“Ibu, aku kenapa?” panggilku lirih, tenggorokanku terasa serak dan kering. 

Alhamdulillah, syukurlah kamu benar-benar sudah siuman, Azalia.” Ibu mengecupi wajahku sambil terisak.

“Bukankah ini rumah sakit?” keningku berkerut samar mengiringi pertanyaanku.

“Iya, Nak. ini rumah sakit. Ibu amat terkejut saat orang-orang datang ke rumah, mengabarkan bahwa kamu tertabrak motor dan dilarikan ke rumah sakit. Seharusnya Ibu melarangmu pergi bekerja, seharusnya ibu lebih memahami bahwa kamu masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Ibu merasa lalai hingga akhirnya kamu terbaring di sini.” Bibir wanita yang melahirkanku bergetar sambil tak henti membelai kepalaku penuh sayang dengan genangan air mata di pelupuk.

Aku menarik kedua sudut bibirku sedikit ke atas. “Maaf, membuat Ibu cemas. Ini bukan salah Ibu. Aku lah yang kurang berhati-hati hingga membuatku terbaring di sini. Ini jam berapa, Bu?” 

“Jam sebelas malam. Apakah ada yang kamu inginkan?” tanya ibu padaku.

“Hanya haus. Siapa yang membawaku kemari, Bu? Sebelum kesadaranku hilang aku hanya ingat jeritan orang-orang dan seperti ada yang menangkap tubuhku sebelum membentur tanah.”

“Nak Althar yang membawamu ke sini. Dia berada di tempat kejadian dan langsung melarikanmu ke rumah sakit padahal waktu itu dia juga sedang sibuk diburu waktu. Nak Althar sampai mengabaikan pekerjaannya demi membawamu ke rumah sakit. Ibu sangat berterima kasih padanya. Kamu sama sekali tidak ingat?” jelas ibuku seraya mengambil sebotol air mineral. Membuka tutupnya lalu memasukkan sedotan plastik ke dalamnya kemudian didekatkannya ke mulutku. Aku segera menyambut air tersebut ingin segera membasahi tenggorokanku yang kering kerontang.

Aku menyudahi minumku, lalu menggeleng atas respon dari penjelasan ibu. “Aku tidak ingat dan tidak tahu. Sampaikan terima kasihku untuknya ya, Bu. semoga Allah membalas segala kebaikannya."

“Sebelum kamu meminta Ibu sudah melakukannya. Beruntung kamu hanya mengalami luka-luka luar dan memar. Tidak ada cedera di dalam yang parah. Cuma luka di kaki kananmu yang harus dijahit. Ibu nyaris pingsan mengetahui kamu menjadi korban kecelakaan.”

Aku mengulas senyumku dan mengangguk lemah. Namun, jantungku tiba-tiba melompat-lompat kecil ketika mengetahui siapa sosok yang menolongku. Ah, mungkin jantungku begini efek dari lelahnya jiwa dan ragaku. Sesaat kemudian aku terkesiap mengingat sesuatu. Ingin bangun dari baringanku, tetapi ditahan oleh ibu. 

“Ada apa, Nak?” 

“Bu, di mana tasku?” cecarku panik. “Apa uangnya ada? Tidak hilang kan?”

“Tas beserta isinya utuh ada di atas meja, Nak Althar juga yang mengamankannya untukmu beserta sebuah jinjingan berisi ga_”

Ucapan ibu terhenti. Beliau rupanya enggan menyambung kalimatnya dan aku pun paham. Pasti ibu takut aku kembali bersedih jika menyebutkan perihal gaun penikahan. 

“Tapi dari mana kamu punya uang sebanyak itu  di dalam tasmu?” ibu kembali bersuara.

“Maaf, tanpa persetujuan Ibu aku melakukan pembatalan pada semua pihak yang berkaitan dengan rencana pernikahanku. Aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan Haikal. Tadi pagi dia datang ke tempat kerjaku dan meminta kembali uang yang pernah diberikan keluarganya sewaktu pertunangan. 

Aku bercerita panjang lebar pada ibu dan menjelaskan alasanku mengambil tindakan tanpa perundingan. Bersyukur ibu memahami keputusanku. 

“Seharusnya kita pergi bersama-sama melakukan pembatalan. Tapi kamu hebat, Nak. berani menerjang rasa yang membelenggumu. Kamu harus semangat lagi, Azalia. Tabungan ibu juga masih ada meskipun tinggal sisa-sisa. Kita selesaikan urusan dengan keluarga Haikal secepat mungkin. Lupakan dan kubur masa lalu. Dan songsong masa depan dengan menjadi insan yang lebih baik lagi, tak bosan memperbaiki diri. Selalu berprasangka baik pada Allah. Di balik kepedihan yang kamu alami, insyaallah, Allah sudah menyiapkan kado terindah untukmu, asalkan kamu iklhas dan bersabar."

*****

Sore hari berikutnya Bu Husna datang menjenguk bersama Nada. Bocah itu kembali memberiku permen. Lalu Bu Husna menceritakan tentang kronologi musibah yang menimpaku berdasarkan keterangan dari Papanya Nada. 

Tak lama kemudian pintu kamar perawatanku kembali terbuka dan masuklah sosok tinggi tegap dalam balutan kemeja dan celana formal dengan sekeranjang besar buah di tangan. Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku akan kedatangannya. Terlebih lagi melihatnya dalam busana resmi dan rapi membuatku cukup terkesima. 

“Papa.” Nada yang duduk di tepian ranjangku beringsut turun dan menyambut kedatangan Althar. Pria itu langsung menggendong anaknya dan menghampiri Bu Husna. 

Ibuku menyapa Althar dan berbincang bersama dengan Bu Husna. Kemudian kedua orang wanita paruh baya itu izin keluar sebentar untuk meminjam pisau di kantin demi mengupaskan buah untukku, padahal aku sudah mengatakan ditunda nanti saja. Mereka bersikeras, memintaku harus banyak makan makanan bergizi supaya lekas pulih. Mereka berujar, jika ingin hatiku segera sembuh maka harus diawali dari tubuhku terlebih dahulu. Bu Husna bahkan berpesan pada Althar untuk menjagaku selama mereka mencari pisau. 

“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya dengan suara baritonnya yang khas dan begitu jantan setelah ibuku juga Bu Husna keluar dari kamar perawatanku

Alhamdulillah sudah mendingan. Makasih sudah menolong s-saya, Pak.” Aku sedikit tergeragap sungkan. Aura Althar tidak biasa, begitu mendominasi meski dia hanya diam tak bersuara.

“Jangan panggil saya Bapak. Saya bukan Bapakmu,” jawabnya dengan ekspresi wajah yang sulit dipahami. 

“Hah? A-apa?” Aku sedikit terkejut dengan reaksinya. Aku berusaha bersikap sopan karena usianya sudah sangatlah matang, seingatku berselisih sepuluh tahun denganku. Lantas, aku harus memanggilnya apa?

“La-lalu, saya harus panggil apa?” tanyaku kebingungan. “Bagaimana dengan Om?” Hei entah kenapa mulutku tak ingin berhenti berkomentar.

“Saya nggak menikah sama Tantemu.” 

“Kalau Abang?” Pria tengil ini membuatku tak ingin berhenti berbicara. 

“Saya bukan tukang bakso,” jawabnya lagi. 

“Semuanya salah!" timpal bocah cantik yang sore ini rambutnya dikuncir dua. 

“Yang benar apa?” tanyaku pada Nada penasaran bukannya berhenti. 

“Harusnya panggilnya Papa. Iya kan, Pa?" celotehnya riang sambil berjingkrak senang.

Mulutku langsung terkatup rapat dan kulihat Althar pun menjadi salah tingkah. Ucapan Nada sukses membuat kami berdua menutup mulut dalam kecanggungan yang nyata.

Bersambung.

Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang