Bab 14. Calon Istri
Cepat-cepat aku kembali berbalik pada posisiku semula, memunggungi tempat duduk di belakangku. Namun nahas, Haikal sempat melirik dan beradu pandang denganku.
Kudengar derit kaki kursi yang bergesekkan dengan lantai pertanda seseorang di belakangku menggeser tempat duduknya. Aku sampai menahan napas dan berharap Haikal tidak usah menyapaku, aku sudah enggan bertegur sapa dengannya terlebih lagi kini ada orang lain di sampingnya.
Aku makin menunduk dan memilih menjatuhkan pandangan pada mangkuk es krimku. Haikal kini berdiri tepat di samping tempat dudukku dengan satu tangan masuk di saku celananya. Tanpa perlu melihat wajahnya pun, aku tahu dia pasti tengah menyeringai miring sekarang.
“Azalia, tak kusangka kita bertemu di sini.” Nada sapaannya terdengar begitu renyah dan ringan namun menusuk, terpaksa kuangkat kepalaku dan menoleh ke arahnya.
“Hmm, iya.” Kujawab dengan anggukan dan gumaman singkat.
“Sedang apa kamu di sini?” tanyanya.
“Lihat, aku sedang makan es krim,” sahutku dengan nada sebiasa mungkin sambil menunjuk gelas es krim di mejaku.
Haikal tampak mengamatiku, lalu matanya beralih pada Nada dan terakhir ke arah Althar yang duduk bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada. Althar balas menatap pada Haikal dan mengulas senyum tipis sekilas.
Wanita cantik berambut sebahu dengan perut yang mulai membuncit kini ikut berdiri di sebelah Haikal dan merangkul lengannya. Ada nyeri yang kembali berdenyut di relung hatiku kala netraku menyaksikannya.
“Siapa dia, Mas?” tanyanya pada Haikal.
“Bukan orang penting, cuma masa lalu yang gak berarti.” Haikal balas merangkul wanita itu, sengaja mempertontonkan kemesraan. “Aku ingin menyapa kenalan lamaku sebentar. Kamu bukannya ngidam pengen otak-otak goreng? Pesanlah dulu nanti aku menyusul,” ucapnya lembut dan wanita itu beranjak pergi.
Haikal kembali memindaiku bukannya pergi. “Kamu … kamu jadi pengasuh?” Dia menyemburkan kalimatnya begitu gembira nyaris terbahak setelah puas mengamati.
“Maksudmu?” Aku semakin tak nyaman. Sepertinya Haikal memang sengaja ingin mengusikku, tak bosan melakukannya lagi dan lagi.
“Itu, kamu lagi ngasuh anak kecil, pasti anaknya Tuan ini kan?” Haikal mengarahkan telunjuknya pada Althar.
Tentu saja dia akan mengira Althar yang perlente dan maskulin dengan aura dominan itu adalah majikanku. Sedang aku hanya memakai gamis dan khimar sederhana. Aku selalu berpenampilan sesuai dengan kemampuanku, yang penting rapi, bersih dan menutup aurat. Tak ingin menjadi pribadi konsumtif mengakibatkan besar pasak daripada tiang hanya demi tampilan luar saja lantaran masih banyak kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi.
“Sepertinya keuangan keluargamu sedang sulit sampai-sampai kamu mencari mata pencaharian lain. Aku merasa makin beruntung tak jadi menikah denganmu yang kini malah memilih pekerjaan sampingan yang tidak berkelas,” ujarnya mencibir.
“Berpikirlah sesuka hatimu. Aku tidak punya kewajiban apapun lagi untuk menjelaskan padamu tentang kehidupanku. Mari jalani hidup masing-masing. Silakan lanjutkan urusanmu, aku ingin menikmati es krimku dengan tenang.” Aku memilih kembali fokus pada mangkuk di depanku sedang Althar sejak tadi bergeming sembari menatapku dan Haikal bergantian.
“Setelah ditinggal olehku kamu bukannya mengubah penampilan kampunganmu itu. Kuakui kamu memang cantik tapi kurang bersolek. Kalau cuma bermodalkan tabir surya dan lipbalm saja, kamu pikir masih ada laki-laki seganteng dan semapan aku yang bakal mau lagi sama kamu?” Haikal bukannya pergi tapi masih betah mencemoohku dengan menyambung kalimatnya, kurasa dia memang sengaja ingin menyulut amarahku.
“Maaf, Anda sepertinya salah mengira.” Althar membuka mulut setelah tadi diam tak bersuara. Bangkit dari kursinya berdiri menjulang. “Perkenalkan, saya Althar. Azalia bukan pengasuh, tapi guru mengaji anak saya juga calon istri saya.”
Kata-kata Althar membuatku menjatuhkan sendok yang kupegang hingga berdenting menimbulkan bunyi ketika mendarat di meja. Aku mengerjap terkena serangan kaget. Bukan hanya aku yang dilanda olahraga jantung, justru Haikal yang kini tampak luar biasa terkejut.
“Apa!"
Dia melihatku dan Althar secara bergantian dengan raut tak percaya.
"Azalia … tak kusangka kamu yang kukira polos ternyata perayu ulung. Kita putus belum lama, tapi secepat itu kamu mendapat penggantiku!” Haikal tampak tak terima, mungkin karena Althar lebih memesona dibandingkan dirinya, sedangkan aku masih mengerjap bingung.
“Aku tak percaya ini! Seharusnya kamu masih bersedih bukan?” Entah mengapa Haikal malah marah dan emosi. Seharusnya dia enyah saja dan mengurusi istrinya yang sedang hamil.
“Saya rasa itu tidak salah. Kalian sudah memiliki jalan masing-masing bukan? Kamu dengan istrimu dan Azalia dengan saya. Lebih baik kamu menjaga istrimu yang sedang mengandung. Tak perlu lagi khawatir tentang Azalia, karena sudah ada saya yang menjaganya. Dan sebaiknya jangan mengganggunya Azalia lagi."
Althar meraup Nada yang baru selesai melahap es krimnya lalu menelengkan kepala padaku. “Ayo, Sayang, kita ke tempat lain. Bukannya ada barang yang ingin kamu beli?”
Althar mengulurkan tangannya padaku. Aku yang masih berada dalam pusaran kebingungan menerima uluran tangannya begitu saja. Pergi dari sana meninggalkan Haikal yang menekuk wajahnya buram laksana awan kelabu.
Kami masuk ke dalam lift dan barulah Althar melepaskan genggamannya. Memencet tombol angka satu dan membiarkan benda kotak berlapis besi itu membawa kami turun. Atmosfer begitu canggung karena hanya ada kami bertiga di dalamnya.
“Sekali lagi maaf Azalia, karena saya lancang. Tapi kamu tidak pantas diperlakukan seperti tadi,” ucap Althar dengan pandangan lurus ke depan. “Sepertinya mata dia buta, karena melepasmu yang istimewa, yang lebih mampu membimbing pada cinta yang sesungguhnya. Semoga dia tidak mengalami jalan sesal seperti kisah saya karena keliru menelaah rasa. Dulu saya terlalu mencintai ciptaan-Nya, mata dan hati ini buta oleh keindahan duniawi meski buruk akhlaknya, sehingga lupa bahwa ada yang lebih berhak atas cinta dalam diri ini, yaitu Dzat Penciptanya.”
Itulah kalimat yang Althar deraikan sesaat sebelum pintu lift terbuka.
Jalanan begitu padat. Dibanjiri kendaraan yang melaju pelan penuh sesak. Di hari ini tampaknya semua warga Kota Bogor keluar dari rumah masing-masing. Kemacetan tebentang nyata, begitu panjang dan luas seperti lautan.Aku duduk di kursi depan karena Bu Husna memaksa. Dia ingin duduk dengan ibuku di jok belakang begitu juga Nada, mengatakan ada hal penting yang harus dibahas. Aku lebih banyak menunduk diam dan Althar fokus ke jalanan. Dua wanita paruh baya di jok belakang benar-benar membahas banyak hal, dari mulai jadwal taklim, mengatur menu takjil untuk jemaah yang biasa berbuka bersama di masjid, juga hal lainnya seperti pembicaraan seputar resep kue lebaran.
Di tengah-tengah obrolan, suara Nada menyela kemudian bertanya.
“Nenek, calon istri itu apa?” tanya Nada pada Bu Husna dengan suara khas anak-anaknya yang menggemaskan.
“Calon istri? Memangnya ada apa?” Bu Husna terdengar bingung.
“Tadi, Papa ngobrol sama om-om dan bilang kalau Kak Azalia itu guru ngaji Nada juga calon istri.”
“Benarkah!” pekik Bu Husna juga ibuku.
Sontak, aku dan Althar terbatuk. Refleks kepalaku menoleh ke belakang. Dua wanita paruh baya di belakangku saling bertukar pandang sambil membekap mulut, dan Nada tampak kebingungan akan reaksi kami berempat.
Bersambung.
Author note:
Halo para pembacaku tersayang. Terima kasih sudah menyempatkan membaca cerita Azalia. Cerita ini sudah pernah di upload di sini sampai End, untuk sekarang hanya tersisa separuhnya saja di Wattpad. Dan bagi yang ketinggalan dan ingin membaca kelanjutannya sampai Tamat beserta bonchap, bisa membaca karya ini di Karyakarsa dan KBM App. Pilih salah satu saja ya. Terima kasih banyak 😘🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM)
RomanceRank# 1 kategori romantis-15 Maret 2022 Rank# 2 kategori pernikahan-15 Maret 2022 Rank# 4 kategori cinta-15 Maret 2022 Rank# 6 kategori ramadhan- 18 Maret 2022 Kisah ini kutulis sepenuh hati dengan membubuhkan banyak cinta juga pesan-pesan tersirat...